Bab 35

937 49 1
                                    

"Adiba?"

"Minumkan air ini," titah Adiba kepada Amara. Jemari lentiknya memberikan sebotol kecil air sebagai penawar racun.

Amara bergegas menyambar botol tersebut, dan meminumkannya pada Ilham. Selang beberapa detik, Ilham berhenti kejang. Mulutnya tak lagi mengeluarkan busa putih. Dan hitungan detik, kedua matanya terpejam.

"Alhamdulillah," puji syukur dipanjatkan oleh Amara.

"Terima kasih, Ba." Imbuhnya.

Gadis itu tersenyum, terlihat dari kedua matanya yang menyipit. Kain yang hampir menutup seluruh wajahnya itu, terhembus angin. Amara tertegun memandang kecantikan Adiba. Gadis itu memang mempunyai aura yang berbeda dari gadis lain. Pantas saja jika Ahmad menaruh hati padanya, itulah yang terpikirkan oleh Amara saat ini.

"Kenapa kamu kembali lagi ke sini, Ba? Bukankah kamu tadi pulang ke desamu?" Tanya Amara, dia terduduk lemas di antara dedaunan kering dan tanah yang tandus.

"Aku takut, jika berlama-lama di sana, justru aku akan kehilangan dirimu, Ra. Kamu perlu tahu semuanya, karena ..." Adiba menatap Amara penuh linang air mata.

"Karena apa?" Tanya Amara penasaran.

"Kiai Sobirin sudah meninggal," jawab Adiba.

"Apa! Tidak mungkin, Bapak ..." tangis Amara pecah.

"Aku harap kamu jangan pernah menginjakkan kakimu di desa itu, Ra. Biarkan Ilham sendiri yang ke sana. Sebab, dia lah yang bisa menolong Ahmad sekarang," ucap Adiba mencoba memberi peringatan kepada Amara.

"Bapak, Ba ... Bapak," isak tangis Amara kian membuncah. Sesekali ia juga melirik ke arah Ilham yang tertidur.

"Jangan pernah tinggalkan aku seorang diri, Ham. Ayo, bangun! Kamu pasti menjagaku, Kan?" Gumamnya dalam hati.

"Setelah Ilham sadar, aku akan membawamu ke tempat yang aman. Tapi, tolong izinkan aku mengajak Ilham, biarkan dia menyelesaikan tugasnya,"

Kening Amara mengernyit. "Tugas? Tugas apa?" Tanyanya dengan spontan.

"Tugas untuk mengakhiri semua masalah yang terjadi di desa, karena tiga serangkai sangat diperlukan di sana." Jawab Adiba.

"Tiga serangkai?" Amara semakin bingung.

"Ya, tiga serangkai. Aku, Ahmad dan juga Ilham." Tegas Adiba.

"Apa maksudmu?" Amara semakin penasaran dengan jawaban Adiba.

Gadis cantik itu melirik ke arah Pak Asep, kondisinya memang terluka parah, akan tetapi itu sama sekali tidak menjamin jika Pak Asep dinyatakan meninggal. Mengingat, Pak Asep sudah hampir menguasai ilmu hitam setingkat dengan Nyai Sekar. Dia tidak akan mudah mati.

"Nanti setelah semuanya selesai, aku akan jelaskan padamu, Ra. Tolong, percayalah padaku." Pinta Adiba. Desir tatap mata itu tampak sendu, linangan air mata seakan hendak berontak andai saja sang pemilik mata mengizinkannya lepas.

"Baiklah. Aku tunggu jawaban kamu," balas Amara. Adiba seketika langsung menganggukan kepala, tak lupa jua ia mengulas senyum manis, walaupun Amara tak menyadarinya.

Waktu terus berlanjut, hampir setengah jam Amara dan Adiba menunggu Ilham sadar. Pemuda itu mencoba membuka mata. Matanya tampak menyipit, ketika melihat cahaya untuk pertama kali, setelah sekian lama pingsan.

"Alhamdulillah," lirih Amara saat melihat Ilham siuman.

"Ra ..." suara Ilham terdengar berat.

Amara membantu Ilham untuk bangkit, dan duduk bersandar di batang pohon besar yang tumbuh di sekitar mereka.

JALAN PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang