Bab 31

971 55 0
                                    

Indah segera berdiri tegap. Pandangannya kosong. Berjalan menuju tempat pisau yang dilemparnya tadi. Memungut benda runcing itu, dan menggenggamnya dengan kencang.

Sekian detik kemudian, Indah sudah berjalan meninggalkan Nyai Sekar seorang diri.

"Sampai kapan kau akan seperti ini, Nah. Kau sudah jauh dari ajaran agama. Apakah kamu tidak ingin segera bertaubat?"

Nyai Sekar segera memutar badan. Di belakang tempat ia berdiri, ada seseorang yang mengajaknya bicara. Seseorang yang sangat tidak asing lagi baginya. Seseorang yang benar-benar sudah ia tunggu.

"Kamu ..."

***

Adiba terus berjalan menuju rumahnya. Ia begitu penasaran dengan sesuatu yang diucapkan oleh Kiai Sobirin. Benda seperti apakah yang bisa digunakan untuk melawan Nyai Sekar? Siapa Nyai Sekar? Kenapa sang bapak begitu tahu kelemahan wanita itu? Adiba terus saja terjebak dalam pikirannya sendiri. Hingga tak sadar, langkahnya sudah terlalu jauh dari tujuan.

"Astaghfirullahaladzim," Adiba beristighfar sambil mengembus napas pelan. Ia berencana memutar arah, namun tiba-tiba saja ia melihat sesuatu. Sesuatu yang bersinar di tengah rindangnya pohon bambu yang tumbuh liar di tepi hutan.

Adiba berjalan mendekat, entah apa yang terjadi padanya. Ia melupakan apa yang telah diperintahkan oleh sang bapak. Ia justru penasaran dengan cahaya tersebut.

Sayup-sayup terdengar seseorang tengah bercakap-cakap di dalam rumah tersebut. Adiba juga baru tahu, jika di tengah kebun yang terbengkalai ternyata terdapat sebuah rumah kecil. Seluruh bangunannya terbuat dari bambu. Sepertinya itu hanya sekadar persinggahan bagi sang pemilik. Mungkin saja untuk berteduh di saat sedang menggarap ladang.

"Sebentar lagi, semua mimpi kita akan terwujud. Sabar ya sayang, saya akan senantiasa di sampingmu."

Hanya kalimat itu yang didengar oleh Adiba di saat dirinya tiba di belakang rumah tersebut. Selanjutnya, suasana rumah itu kembali sunyi. Bahkan cahaya dalam rumah pun ikut menghilang. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki. Langkah kaki tersebut semakin menjauh. Gesekan dan suara tapak kaki menyapu dedaunan dan ranting yang berserakan di atas tanah. Setelahnya, suara langkah kaki itu lenyap ditelan gelapnya langit dini hari.

Adiba segera berjalan menuju depan. Sesekali ia mengedarkan pandangan guna memastikan tempat itu sudah aman. Dengan langkah hati-hati, Adiba mencoba membuka pintu. Namun sayangnya pintu tersebut terkunci.

Adiba menutup mata. Menghirup napas dengan pelan, menahannya sekejap kemudian mengembusnya. Dengan hitungan detik, pintu itu terbuka hanya dengan satu kali sentuh dibagian gagang.

Baru saja hendak masuk, Adiba mencium aroma yang sangat busuk. Kedua matanya berair karena baunya begitu menyengat. Dalam keadaan gelap, Adiba bergegas masuk ke dalam rumah tersebut. Adiba mencoba mencari sesuatu untuk bisa menerangi ruangan, namun langkahnya terhenti.

Kakinya terhalang sesuatu. Sesuatu yang panjang, dan terbuat dari kayu. Tangannya mulai meraba-raba, namun seketika bulu kuduknya meremang. Ada sesuatu yang lengket di sana. Seperti lendir yang menggelembir.

Adiba berusaha berpikir jernih. Mungkin saja itu bekas darah hewan atau pun tumpahan air minum. Ia kembali berjalan menyusuri benda yang ia duga sebagai dipan kayu. Tangannya meraba sesuatu, sebisa mungkin ia mencari lilin atau lampu minyak untuk penerangan.

JALAN PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang