Dari kejauhan, Baskara terlihat sedang mengobrol dengan seseorang. Raut wajahnya tampak cemas, entah sedang memikirkan apa menantu dari Pak Usman tersebut.
"Ba, kita harus bagaimana sekarang? Itu satu-satunya jalan menuju desa. Kalau kita tak segera ke sana, pasti semuanya akan terlambat," ucap Ilham, setengah panik.
Adiba melirik ke arah Ilham, ada sesuatu yang janggal di sana. Tetapi, Adiba berusaha menepis prasangkanya.
"Sebaiknya, Kita tunggu saja mereka pergi. Aku tidak tahu, Mas. Apa yang akan mereka lakukan jika melihat kita ada di sini," ujar Adiba. Hatinya mulai tak tenang. Ia mulai sedikit ragu terhadap Ilham. Entah, sejak kapan perasaan itu muncul.
"Sebenarnya apa yang sedang mereka kerjakan, dan mengapa harus desa Giung Agung yang mereka incar," lirih Ilham. Sayangnya, meskipun suaranya cukup pelan, Adiba masih saja bisa mendengar.
"Apa yang kamu tahu tentang mereka, Mas?" Tanya Adiba. Ilham hanya menggeleng. Lagi-lagi, Adiba harus menelan rasa penasaran.
Matahari kian mengujung di ufuk barat. Kilaunya tak lagi terik. Hembusan angin pun berlalu lalang meniup dedaunan. Adiba menengadahkan wajah, dilihatnya langit sebentar lagi menjingga. Entah mengapa, waktu berjalan terlalu cepat hari ini. Untuk kembali ke desa saja memakan waktu hampir seharian di hutan. Berbeda sekali dengan dirinya saat berpergian sendiri. Seakan ada yang sengaja mengulur waktu. Tetapi, Adiba masih berbaik sangka terhadap Ilham.
"Mas, apakah kita harus terus menunggu? Hari mulai gelap, Mas." Ucap Adiba.
"Aku tahu, Ba. Tapi, bagaimana caranya kita bisa ke sana tanpa diketahui orang-orang Bapak? Aku juga tidak mau, kita akan bernasib sama seperti kejadian dengan Bapak." Ujar Ilham. Keringat sebesar biji jagung tertahan di keningnya. Raut wajah itu benar-benar ketakutan.
Adiba melirik ke tempat Baskara dan juga rekan-rekannya. Jumlah mereka bertambah banyak. Akan sulit jika memaksa untuk melawan. Tetapi jika terus menunggu pun, keduanya akan semakin kehabisan waktu.
"Ya Allah, tolong beri hamba petunjuk," lirih Adiba sambil menengadahkan kedua tangannya.
"Ba, ada yang datang," panggil Ilham sambil menunjuk ke suatu tempat. Adiba mengekori ke mana jari telunjuk itu berhenti, dan betapa terkejutnya dia saat melihat sosok wanita yang sangat ia kenali.
"Mbok Inah," cetus Adiba.
Maimunah atau Nyai Sekar tiba-tiba datang, walaupun tubuhnya penuh dengan luka, akan tetapi wanita cantik tersebut masih terlihat anggun dan berwibawa.
Adiba melangkah dengan pelan, guna mendengar pembicaraan mereka. Ilham yang merasa Adiba melakukan kesalahan, segera mencegah langkahnya.
"Ba, jangan gegabah!" Tegas Ilham.
Adiba tak menggubris ucapan Ilham, ia juga menepis tangan Ilham yang menyentuh pundaknya. Ia melanjutkan langkah dengan mengendap-endap menuju area terdekat dengan lokasi Mbok Inah dan yang lain.
"Ba, Adiba!" Panggil Ilham dengan nada lirih. Sayang, suara Ilham justru di dengar oleh Nyai Sekar. Wanita cantik itu hanya tersenyum kecil, dan mengedipkan salah satu bola matanya kepada pemuda yang bernama Joko. Segera Joko bertindak sesuai dengan perintah Nyai Sekar.
Adiba yang menyadari ada gerak-gerik mencurigakan, bergegas bersembunyi di balik semak belukar dan merebahkan tubuh, menutupinya dengan beberapa helai daun kering.
Saat hendak menyusul Adiba, pemuda bernama Joko sudah terlebih dahulu memergoki Ilham. Sempat terjadi perlawanan sengit dari keduanya. Dan pada akhirnya, Ilham kehabisan tenaga.
"Kamu itu kenapa to, Ham? Saya ini orangnya Bapak, bukan orang jahat, kok ya mbok hajar," gerutu Joko sambil memegang kedua tangan Ilham, dan menyilangkannya ke belakang punggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
JALAN PULANG
HorrorSetelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan Hawiyah muncul di luar jendela. Saat hendak memastikan, bayangan Hawiyah mendadak hilang. Setelah kepergian Hawiyah, hidup Ahmad menjadi ta...