Ahmad masih menangis sesegukan. Berulang kali ia juga mengucap istighfar. Semua orang yang berada di kamar terlihat bingung. Terlebih Ilham, ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa.
"Mas, bagaimana kalau kita tanya pada Pak Heru, mungkin beliau punya saran, untuk membantu keadaan Mas Ahmad." Usul Yudi.
Ilham menggeleng. "Kita tidak perlu merepotkan Pak Heru dengan hal seperti ini. Beliau sudah terlalu banyak pikiran, masalah semalam saja sudah membuat beliau resah, apalagi nanti jika ditambah dengan urusan ini, saya tidak mau membuat beliau semakin khawatir."
"Ambilkan air minum, Yud. Saya akan mencoba membantu, siapa tahu berhasil." Titah Pak Parta.
"Ya, Pak." Yudi bergegas ke dapur mengambil air minum.
Pak Parta menatap lekat wajah Ahmad. Pemuda itu mengernyit, melihat sikap Pak Parta yang aneh menurutnya.
"Matamu dipenuhi kegelapan, kamu salah tempat." Lirih Pak Parta.
"Apa maksud Bapak?" Tanya Ahmad penasaran.
"Tidak ada maksud apa-apa, Mas. Saya hanya mencoba melihat lebih dalam, mencoba memahami apa yang sedang Mas Ahmad rasakan. Tapi, saya tidak bisa," jawab Pak Parta.
Ahmad mengembus napas kasar. Ia sedikit menyesal dengan keputusannya sendiri. Menerima permintaan Kiai Sobirin sepertinya memang sebuah kesalahan. Harusnya ia menolak, namun ia justru nekat mengambil risiko demi membantu sang Kiai.
Yudi datang dengan membawa segelas air. Kemudian memberikannya pada Pak Parta. Pak Parta segera merapalkan doa, beberapa menit kemudian meniup gelas berisi air tersebut, lalu menyuruh Ahmad untuk meminumnya.
Ahmad hanya berdiam diri. Enggan menyentuh segelas air yang diberikan oleh Pak Parta. Melihat keraguan pada wajah Ahmad, Pak Parta segera mengulas senyum manis.
"Ini hanya air yang sudah saya bacakan ayat suci, Mas. Minumlah, supaya Mas Ahmad lebih tenang."
"Minum saja, Mad. Itu cuma air," titah Ilham.
Meskipun ragu, Ahmad mengambil gelas di tangan Pak Parta. Kemudian meminum airnya.
"Sstt ..." Ahmad merasa ada yang aneh pada dirinya. Ia merasa ada hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Tiba-tiba saja perutnya terasa mual.
"Huek, huek!" Ahmad muntah. Ia sudah tak bisa lagi menahan mual yang sedari menggocok perut.
"Astaghfirullahaladzim! Mad!" Seru Ilham syok melihat muntahan Ahmad.
"Astaghfirullahaladzim," Ahmad sendiri terkejut melihat apa yang telah ia keluarkan dari perut. Segumpal darah berwarna hitam pekat dengan beberapa belatung yang menggeliat kini tercecer di lantai.
Yudi segera menutup hidung. Muntahan Ahmad mengeluarkan bau busuk yang sangat menyengat, hingga mencemari udara di sekeliling kamar.
"Sepertinya ada yang tak suka dengan kedatanganmu di desa ini, Mas Ahmad. Lebih baik, hal ini dirahasiakan dulu. Jangan sampai ada warga yang tahu. Saya takut, jika nanti akan menimbulkan berita tidak sedap di masyarakat." Ujar Pak Parta. Raut wajahnya tampak tegang.
"Yud, apa yang kamu lihat semalam? Kenapa kamu tiba-tiba pingsan?" Imbuh Pak Parta sekaligus bertanya pada Yudi.
"S-saya ... lihat ... anu Pak," Yudi menjeda kalimat.
"Anu apa? Kalau ngomong yang jelas," ketus Pak Parta.
"Saya lihat Pak Soleh menjadi hantu!" Seru Yudi.
"Hantu!" Ucap Pak Parta, Ilham dan juga Ahmad secara serentak.
Yudi mengangguk. "Waktu saya mau memukul beduk, tiba-tiba Pak Soleh datang. Tapi sebelumnya, saya mendengar sesuatu yang jatuh di antara semak-semak. Pak Soleh menyuruh saya melihat ke semak, namun setelah saya berpaling, Pak Soleh sudah menjadi hantu dengan wajah seram," terang Yudi dengan tubuh bergemetar. Bulu tengkuknya terasa merinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
JALAN PULANG
HorrorSetelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan Hawiyah muncul di luar jendela. Saat hendak memastikan, bayangan Hawiyah mendadak hilang. Setelah kepergian Hawiyah, hidup Ahmad menjadi ta...