Bab 38

890 51 1
                                    

"Kamu kenapa, Ba?" Ilham memandang Adiba penuh tanya.

Bukannya menjawab pertanyaan Ilham, Adiba justru menangis sesegukan.

"Ba, kok malah ... aduh kok nangis sih," ucap Ilham panik.

"Maafkan aku, Mas. Maafkan aku," lirih Adiba sembari menunduk.

"Maaf untuk apa? Salah kamu apa? Kamu tidak salah apa-apa, Ba." Balas Ilham.

"Apakah, Mas juga akan menganggap aku tidak bersalah, jika aku sudah membunuh Amara?" Adiba menatap kedua mata Ilham dengan tajam. Mencoba menyelam masuk ke dasar hati pemuda itu. Tentu saja, amarah yang akan ia terima. Mungkin, bahkan sebuah makian.

Namun, Ilham hanya diam membisu. Pandangannya sama sekali tak bisa ditebak. Bahkan dari kedipan mata.

"Mas ..." panggil Adiba.

"Aku sudah tahu, Ba. Bahkan jauh sebelum kamu mengatakannya."

Adiba terkejut mendengar ucapan Ilham. Bagaimana mungkin, Ilham mengetahuinya. Darimana ia mendapat berita tersebut. Padahal, jelas sekali pemuda itu selalu bersama dirinya untuk beberapa waktu lalu.

"Bagaimana kau tahu, Mas? Dari mana Ma–

"Dari Amara." Tandas Ilham.

"Amara?" Adiba mengernyit.

"Tak perlu harus kujelaskan, Ba. Kamu pasti sudah memahami keadaannya. Sekarang yang terpenting, bagaimana caranya kita bisa keluar dari sini, dan menyelesaikan semua masalah yang ada. Aku sudah lelah, Ba. Aku lelah," ucap Ilham dengan nada sendu.

Adiba tercengang mendengar ucapan Ilham. Sejak kapan pemuda itu tahu. Apa mungkin selama ini hanya berpura-pura? Atau benar-benar baru tahu?

BRAK!

Pintu di dobrak paksa oleh seseorang. Tentu saja Baskara terkejut, saat melihat siapa yang sudah mendobrak pintu rumah mertuanya.

"Bapak!" Seru Baskara.

"Tak pateni kowe! Mantu setan! (Tak bunuh kamu! Menantu setan)" Teriak Pak Usman sambil mengacungkan celurit yang berlumuran darah tepat di depan wajah Baskara.

"Sabar, Pak! Sabar! Salahe kulo nopo? (Salah saya apa)" Baskara mencoba menenangkan Pak Usman.

"Mati kowe! (Mati kamu)" Pak Usman mengayunkan celurit tepat ke arah perut Baskara, akan tetapi pria itu dengan cepat menangkis serangan mertuanya. Dan mengambil alih celurit, dengan sedikit melintir tangan pria tua tersebut.

"Kau!" Pak Usman melotot pada Baskara.

Slash!

Buk!

Baskara berdiri mematung tepat di depan tubuh Pak Usman. Kedua matanya tampak merah, akibat menahan amarah sejak tadi. Tapi, sedetik kemudian senyum lebar mengembang sempurna di bibirnya. Raut wajah itu tampak sangat puas.

"Saya suka aroma darah," ucapnya sambil menghirup aroma anyir yang terus menerus mengucur bahkan mengenai sisi wajahnya.

Dari dalam kamar, Adiba dan Ilham sama-sama menahan napas mereka. Keduanya tak sanggup berkedip melihat kejadian naas yang menimpa Pak Usman. Walaupun hanya terlihat dari celah lubang kayu, nyatanya pemandangan mengerikan itu, sudah dilihatnya beberapa detik lalu. Di mana, Baskara dengan sadis, telah menebas kepala Pak Usman yang kini kepala tersebut menggelinding dan berhenti tepat di depan pintu kamar Putri.

"Astaghfirullahaladzim," lirih Adiba segera memejamkan mata.

Sementara Ilham masih saja menyaksikan tingkah laku Baskara yang dianggapnya tak lazim. Pria itu meminum darah yang mengalir deras dari leher Pak Usman, bahkan Baskara seperti seseorang yang tengah haus berkepanjangan. Begitu rakusnya pria itu saat melihat darah.

JALAN PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang