Bab 14

1K 66 8
                                    

Amara masih diam mematung. Nuraninya masih bertarung dengan logika. Sebenarnya, belum ada celah untuk Ilham di hatinya. Namun, kali ini sedikit berbeda. Ada iba yang meruang, ada sesal yang mengganjal.

"Ham!" Panggil Amara saat pemuda tampan itu hendak berlalu.

"Apa lagi," Ilham hanya menjawab, namun sama sekali tak menoleh.

"Kalau memang kamu benar-benar serius, bicara saja dengan Abah. Apa pun keputusan beliau, akan aku terima asal kau bisa kupercaya." Ucap Amara. Jantungnya berdebar, entah perasaan apa yang sedang menyelimuti hatinya. Meskipun hambar, namun Amara berusaha memberi harapan kepada Ilham. Tidak ada salahnya mencoba memberi ruang, daripada harus memperjuangkan yang belum tentu bisa dimiliki.

Ada senyum yang mengembang lebar. Muka tak lagi merah. Ilham tersenyum bahagia mendengar ucapan Amara. Ilham berusaha setenang mungkin, ia tak mau kelihatan sumringah di depan gadis yang sudah lama ia sukai.

"Baiklah! Akan ku buktikan padamu, bahwa aku benar-benar serius. Nanti malam aku akan ke ruangan Pak Kiai. Tunggu saja, Ra." Tukas Ilham melangkah pergi.

Amara tak bergeming. Tanpa sadar obrolan mereka didengar seseorang. Seseorang tersebut langsung pergi ke suatu tempat.

"Nanti malam, santri itu mau menemui sang Kiai. Sepertinya, dia serius ingin menikahi anaknya." Seseorang tersebut langsung mengadu ke orang yang memberinya perintah.

"Biarkan saja. Gadis itu tidak memiliki apa-apa. Tidak akan mempengaruhi misi kita," balas sang pemberi perintah.

"Baiklah kalau begitu."

***

Malam datang menggeser senja. Matahari di ufuk barat masih tampak menjingga. Suara tonggeret terdengar kian nyaring, kala waktu maghrib hampir tiba. Suasana desa Giung Agung kali ini lebih sunyi. Semua pintu-pintu rumah tertutup rapat. Bahkan lampu teras pun dibiarkan padam. Setelah kejadian kesurupan yang menewaskan cucu Pak Usman, para warga melarang anak-anak mereka untuk keluar rumah. Mushola tampak lebih sepi, hanya ada Ahmad dan juga Yudi.

Yudi memang ditunjuk oleh Pak Heru untuk mengurus kebersihan mushola. Sebenarnya, Yudi sudah mencoba mencari pekerjaan di Kota. Namun, belum ada satu pun panggilan dari beberapa pabrik yang ia kunjungi. Daripada menganggur, Yudi dengan senang hati menerima tawaran Pak Heru. Setidaknya, ia punya uang untuk hidup, meskipun hanya mengandalkan iuran dari warga yang tak seberapa.

"Sebenarnya, saya takut keluar rumah Mas. Tapi, mau bagaimana lagi. Ini sudah menjadi tanggung jawab saya, untuk berada di mushola." Curhat Yudi kepada Ahmad.

"Kenapa harus takut Mas? Kita sebagai manusia harus yakin dengan takdir Allah. Apa pun yang akan terjadi nanti, itu sudah menjadi kehendakNYA." Ucap Ahmad.

Yudi menggeser posisi duduknya, yang semula menghadap ke jalanan. Agak merinding jika lama-lama memandang ke arah luar. Apalagi, ia masih mengingat jelas, sosok yang menyerupai Pak Soleh waktu itu.

"Bagaimana, Mas? Sudah bicara belum dengan Pak Heru?" Yudi menanyakan perihal Ahmad yang diminta untuk tinggal bersamanya.

"Belum, Mas. Tadi, Pak Heru masih sibuk mengurus Indah. Saya belum berani mengajak bicara. Takut mengganggu. Apalagi, kondisi Indah juga masih syok." Jawab Ahmad. Ia mengulas senyum manis.

Dengan raut wajah kecewa, Yudi hanya mengembus napas panjang. Tidak ada pilihan lain, malam ini ia harus kembali tidur sendirian di rumah.

"Mas, Mas Yudi berani kan, pulang sendiri? Sehabis shalat isya saya mau pergi sebentar, ada urusan." Tanya Ahmad. Ia baru ingat jika harus menemui Mbok Inah.

JALAN PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang