Bab 23

959 56 6
                                    

"Bagaimana kau tahu, kalau dia anaknya Nunung? Bukankah waktu itu semuanya sudah tewas? Atau jangan-jangan, kau hanya mengarang cerita saja," tanya Pak Sulaiman. Mendadak, hatinya mulai ragu. Entah, hati nuraninya mengatakan jika rekannya itu sudah salah orang.

"Waktu pertama kali Ahmad datang, wajahnya sudah tak asing lagi bagi saya. Ia benar-benar mirip dengan Ki Alif. Sudah lama saya menantikan hari ini, tidak sia-sia saya mengacaukan keadaan desa. Ternyata, si Heru memang benar, Ahmad lah orangnya. Kasihan sekali dia, sudah memercayai orang yang salah. Dasar Ketua RT bodoh!"

Yudi kesulitan menelan saliva. Ia merasa lidahnya benar-benar kering. Sedikit air liur pun terasa kosong. Keringat mengucur deras di kening. Hanya napasnya yang terdengar memburu. Percakapan antara dua orang di luar sungguh membuatnya sangat terkejut. Ia tak menduga jika Pak Sulaiman terlibat dalam masalah ini. Padahal, ia cukup mengenal pria tua itu. Menurut pandangannya, Pak Sulaiman adalah orang yang baik hati. Selain Pak Heru, Pak Sulaiman lah orang yang sering membantunya di kala sedang kesusahan. Hari ini, semua dugaan itu ternyata salah. Dibalik kebaikannya, ternyata Pak Sulaiman adalah orang jahat.

"Sungguh tega!" Rutuk Yudi dalam hati.

"Aarrggh!" Ahmad mulai mendapatkan kembali kesadarannya, namun baru hendak mengerjapkan mata, rekan Pak Sulaiman kembali memukul kepalanya, hingga Ahmad pingsan kedua kali.

"Kenapa kau pukul dia! Kau tak takut dia mati! Lihat, darah di kepalanya sudah begitu banyak! Bisa-bisa, sang pemimpin marah dengan kita!" Seru Pak Sulaiman.

"Kau tak ingat, apa perintah sang pemimpin? Kita hanya perlu kepalanya saja, selain itu semuanya sudah tak begitu penting!" Tukas sang rekan.

Pak Sulaiman hanya mendengus kesal. Ia benar-benar tak menyangka jika sang rekan sudah berubah. Ia terlalu serakah, keinginannya untuk tetap hidup sungguh membuatnya lupa diri. Bahkan, rela bersekutu dengan iblis.

"Saya sudah tidak tahu lagi, Pon. Terserah kau saja!" Gerutu Pak Sulaiman sambil melangkah pergi, meninggalkan Popon yang sedang tersenyum puas.

"Popon? Ba-bagaimana mungkin? Di-dia sudah meninggal? Kok bisa ..." gumam Yudi dalam hati. Semuanya sungguh diluar nalar. Popon sudah meninggal kemarin. Bahkan ia juga ikut memakamkan jasadnya. Bagaimana mungkin orang mati bisa hidup kembali?

"Jangan panggil saya Popon, Man. Panggil saya Ipul!" Teriak Ipul alias Popon.

"Tapi, kamu di sini dikenal sebagai Popon, Pul! Mana mungkin saya memanggilmu seperti itu? Bisa-bisa, Heru dan Usman curiga! Kau lupa, siapa mereka?" Tandas Pak Sulaiman dari kejauhan.

"Saya tidak peduli. Bagi saya, mereka hanya cecunguk yang ditumbalkan oleh Sobirin. Pria tua itu, benar-benar penipu. Dukun seperti dia tidak pantas menyandang gelar Kiai. Dasar, orang-orang bodoh. Mau saja percaya kalau dia pemimpin pesantren. Cuih! Najis!" Kata Ipul sambil meludah ke sembarang tempat.

Bagai disambar petir di siang bolong. Kata-kata Ipul  membuat Yudi terkejut hebat. Kiai Sobirin yang terkenal sebagai pemilik Pesantren terbesar di Kota, ternyata hanyalah seorang dukun. Ia benar-benar tidak menyangka jika kebenaran ini justru dibongkar oleh sang pelaku itu sendiri.

"Ya Allah, apa ini? Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Ahmad, kalau dia tahu yang sebenarnya. Dia pasti sangat terpukul," gumam Yudi dalam hati. Hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini. Ia tak berani sedikit pun mengeluarkan suara. Takut, jika kedua orang tersebut mendengarnya. Yudi memang sengaja membiarkan orang tersebut berpikir jika dirinya masih pingsan. Jadi, ia bisa lebih leluasa mengorek kebenaran yang selama ini menjadi misteri.

"Lalu, bagaimana kau tahu kalau sang pemimpin mempunyai anak perempuan, bukankah dia hanya punya seorang anak laki-laki? Apalagi yang kau mau, Pul? Apa tak cukup dengan kesaktian yang kau dapat selama ini? Ingat Pul, kau sudah melangkah terlalu jauh. Saya takut, kau tidak akan bisa kembali lagi menjadi Ipul yang dulu, Ipul yang saya kenal baik dan juga taat beribadah." Ucap Pak Sulaiman. Ia memandang sendu kepada pria itu. Wajah itu sama sekali tak pernah menua, walaupun usianya sudah menginjak kepala empat.

"Jangan bawa-bawa ibadah, Man. Semua ini tidak ada hubungannya dengan itu. Saya melakukan ini semua untuk keabadian. Saya tidak mau mati! Saya ingin terus hidup, dengan orang yang saya cintai. Saya tidak akan melewatkan kesempatan ini, saya harus segera melakukan ritual itu, demi Lastri hidup kembali dan juga demi membalaskan dendamku pada Suparta!" Tegas Ipul. Raut wajahnya memerah, ia begitu marah ketika tak sengaja mengingat peristiwa kelam di masa lalu. Di mana, Lastri tewas ditangan Suparta suaminya sendiri.

Pak Sulaiman hanya memandang iba Ipul dari jauh. Pria itu sudah dikuasai hawa nafsu. Sebanyak apa pun ia menasehatinya, pasti tidak akan di dengar. Hatinya sekeras batu. Mana mungkin bisa luluh hanya dengan sepatah dua patah kata.

"Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan?" Rintih Yudi dalam hati. Ia merasa sangat terbebani dengan kebenaran yang ia dengar. Keputusannya menetap di kampung halaman sang kakek, ternyata membawanya ke dalam masalah besar. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu, kapan masalah itu terjadi.

Sementara Ahmad masih tak sadarkan diri. Darah segar mengalir deras dari bagian kepalanya. Wajahnya mulai terlihat pucat. Jika terus dibiarkan, bisa-bisa nyawa Ahmad terancam. Ipul berdiri di hadapan Ahmad yang tengah diikat di sebuah tiang kayu. Pria itu memandang wajah Ahmad dengan seksama.

"Bagaimana mungkin kau yang begitu lugu, bisa menjadi penghalang bagi kami? Apa karena kau anak Ki Alif, atau memang ada sesuatu di dalam dirimu?" Lirih Ipul sambil memiringkan kepala. Melihat Ahmad dari jarak dekat.

"Kau dengan Adiba saja masih kuat Adiba. Saya tidak percaya kalau kau itu sakti," imbuhnya.

"Pul," Pak Sulaiman tiba-tiba datang menepuk bahu Ipul.

"Ada apa?" Tanya Ipul sedikit terkejut.

"Saya ingin melihat kondisi Adiba, tolong jangan melakukan tindakan diluar rencana. Saya akan segera kembali." Jawan Pak Sulaiman dengan langkah cepat menuju pintu depan.

"Baiklah. Saya titip Adiba, jaga dia supaya tidak keluar rumah. Saya sudah terlalu direpotkan dengan kepulangannya." Pinta Ipul. Pak Sulaiman hanya menganggukkan kepala, setelah itu berjalan keluar rumah dan segera mengunci pintu.

"Entah darimana gadis kecil itu bisa mendapatkan kekuatan. Parta memang harus diberi pelajaran! Berani sekali dia menyembunyikan bakat anaknya. Padahal, kekuatan itu sangat berpengaruh untuk tujuan sang pemimpin." Gumam Ipul.

"Adiba ... ya Allah jadi inilah alasan Pak Parta memintaku untuk menjaganya? Apa yang harus aku lakukan," ucap Yudi.

Prang!

Tanpa sengaja, kaki kiri Yudi menendang ujung meja, menyebabkan vas bunga di atasnya oleng, kemudian terjatuh ke lantai. Mendengar hal itu, Ipul alias Popon segera masuk ke dalam kamar, di mana ia menyekap Yudi.

"Sudah sadar rupanya,"

Kedua mata Yudi terbeliak lebar ketika melihat Ipul tiba-tiba sudah berada di sampingnya.

"Bagaimana dia bisa masuk ke sini?" Tanya Yudi dalam hati.

"Pian nguping kah?" Ipul berjalan mendekati Yudi. Yudi hanya menggeleng. Pemuda itu beringsut ke belakang dengan sekuat tenaga. Kedua kakinya dipaksa untuk mengesot, meskipun hanya bergerak beberapa inci saja.

"Yudi, Yudi. Kasihan sekali nasibmu. Sudah sebatang kara, masih saja tertimpa masalah. Sedih sekali perjalanan hidupmu. Mending ikut saya, kamu bisa hidup enak, harta banyak, kamu bisa memilih gadis mana pun yang kau suka, semua itu bisa kau dapatkan dengan mudah, asal kau mau bergabung dengan kami." Ucap Ipul sambil merayu Yudi. Pemuda itu terlihat panik. Raut wajahnya tegang. Detak jantungnya pun berdegup kencang. Ia ketakutan melihat Popon atau Ipul tengah berdiri di hadapannya. Ia ingat betul, bagaimana kain kafan itu membalut tubuhnya saat di pemakaman. Tak sadar, sarung yang dikenakan Yudi perlahan basah.

"Kau terkencing?" Ipul melompat ke belakang, saat melihat ada air yang mengalir dari sarung Yudi.

"Maap, ulun wedi (takut)," ucap Yudi sambil menahan malu.

"Bungul ikam, nih!" Umpat Ipul.

JALAN PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang