Bab 37

878 52 1
                                    

"Kalau Mas Yudi enggan menjawab juga tidak apa-apa, Mas. Itu hak Mas," ujar Ahmad tak berhenti tersenyum. Sedikit demi sedikit ia mulai memahami sesuatu yang dianggapnya sebuah petunjuk.

Yudi hanya terdiam. Entah sejak kapan kedua tangannya bergemetar. Padahal Ahmad hanya mempertanyakan perihal usia.

"Tidurlah, Mas. Mas Ahmad memerlukan banyak waktu untuk istirahat. Saya mau ke bekalang sebentar," ucap Yudi beranjak dari tempat duduk meninggalkan Ahmad yang sedari tadi mengamati setiap gerak geriknya.

Yudi berjalan dengan langkah pelan, sesekali ia melirik ke arah Ahmad. Pemuda itu masih bertahan dengan senyumnya yang lebar.

"Aduh, bagaimana ini?" Gumam Yudi dalam hati. Tiba-tiba terbesit ide untuk mengakali Ahmad. Setelah ia melihat dari kejauhan, ada dua orang sedang berlari di jalan belakang rumahnya.

"Tunggu sebentar, Ba!" Seru Ilham yang kewalahan menata pernapasannya.

Adiba ikut serta berhenti. Ia juga berusaha mengatur ritme pernapasan.

"Ada apa, Mas?" Tanya Adiba. Cadar yang ia kenakan basah oleh keringat yang sedari tadi mengalir deras dari pelipisnya.

"Kita mau ke mana? Ke rumah siapa? Kamu tidak lihat, tadi di sana ba-

"Ikut saja! Tidak perlu banyak tanya!" Tegas Adiba.

Ilham seketika terdiam. Baru kali ini, ia melihat sikap Adiba yang berbeda. Bahkan, bulu kuduknya tak berhenti meremang, ketika mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Di mana, Adiba yang cekatan menumbangkan para anak buah Nyai Sekar dengan tangan kosong.

"Sebenarnya, siapa kamu Ba?" Gumam Ilham dalam hati.

Adiba berdiri tegap, sambil terus melihat sekitar. Pandangannya terus tertuju ke rumah Yudi. Ia merasa ada sesuatu yang memaksanya untuk ke sana. Tak sadar, langkah kakinya berjalan menuju halaman belakang rumah pemuda tersebut.

"Ba, ini bukannya rumah Mas Yudi?" Tanya Ilham lagi.

Adiba hanya mengangguk. Tapi, tiba-tiba ia berhenti. Lalu memutar tubuh, kemudian berjalan ke arah jalan yang berbeda.

"Loh, kenapa tidak jadi, Ba?" Tanya Ilham, lagi-lagi pemuda itu tak berhenti melontarkan pertanyaan kepada gadis lima belas tahun itu.

"Bukan di sana tujuan kita, Mas. Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Aku tidak ingin ikut campur," jawab Adiba sambil terus berjalan. Ilham yang sedari tadi mengekori langkah Adiba hanya bisa garuk-garuk kepala. Ia sama sekali tidak paham, dengan apa yang sebenarnya Adiba lakukan. Ia hanya bisa pasrah, menuruti semua keinginan gadis cantik itu.

Dari jauh, bayangan seseorang yang berdiri mematung, tampak mengepalkan tangan. Ada amarah yang berusaha ia tahan.

"Adiba ..." hanya itu kata yang keluar dari mulutnya.

***

Malam semakin larut, Adiba memutuskan untuk bermalam di rumah Pak Usman. Ia tak lagi bisa menemukan tempat teraman di desa. Bahkan, di rumahnya sendiri sekali pun. Rumah Pak Usman tampak kosong. Entah ke mana pemiliknya. Adiba sengaja memilih rumah tersebut, karena ia juga ingin menemukan petunjuk terkait dengan menantu Pak Usman, Baskara.

Krucuuuk!

Adiba menoleh, di sana Ilham yang sedang duduk, memandangnya dengan tersenyum sambil memegang perut.

"Maaf, Ba. Aku lapar," ucap Ilham sambil meringis, memamerkan giginya yang putih.

Adiba menghela napas, ia terlalu fokus dengan masalah, sampai lupa bahwa ada perut yang harus ia isi. Apalagi sekarang, ia tidak sendirian.

JALAN PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang