Kiai Sobirin bergegas menuju tempat yang di perintahkan oleh Suparta. Pria sepuh itu berjalan tertatih sambil membawa tongkat. Kejadian di desa cukup menguras tenaganya. Belum lagi, ia begitu khawatir dengan keadaan sang putri. Dalam hati seakan menyesal telah menyuruh sang putri untuk mengambil benda yang dimaksud. Namun, jika mengandalkan dirinya, belum tentu sang waktu akan berhenti sejenak. Tentu saja, malam akan segera berganti pagi. Dan semua warga yang masih tersisa, belum tentu bisa diselamatkan.
"Kau tidak bisa mengecoh saya, Sobirin!"
Kiai Sobirin menghentikan langkah dengan cepat, menghirup udara dengan hidung, dan mengembus perlahan lewat mulut.
"Apa yang kau mau, Ta? Mengapa kau kembali lagi ke sini? Bukankah kau bilang bah-
"Jangan bergurau denganku, Sobirin! Saya kemari bukan untuk melawan atau menolong warga di sini. Saya hanya ingin mengajak anak saya pergi dari sini, sebelum istrimu itu membunuhnya." Sela Suparta.
"Anak? Anak yang mana? Kedua anakmu sudah mati, Suparta. Apa kau lupa, kau sendiri yang membunuh janin yang dikandung Lastri. Dan sekarang, kau datang di saat desa sedang dalam kekacauan, sungguh lucu hidupmu, Parta!" Sindir Kiai Sobirin.
"Membunuh? Lastri? Hahahaha!" Suparta tertawa terbahak-bahak. Hal itu membuat Kiai Sobirin terheran-heran.
"Saya tidak pernah membunuh Lastri, justru dia yang membunuh dirinya sendiri. Saya tahu semuanya, Sobirin. Kamu adalah ayah dari janin itu kan?" Lanjut Suparta, dengan senyum menyeringai.
Kiai Sobirin terdiam. Raut wajahnya tegang. Tubuhnya terasa kaku sejenak. Hanya buliran keringat yang meluncur deras di pelipis.
"Di mana anak saya, Sobirin! Kau sembunyikan di mana dia?" Tanya Suparta.
"Anakmu sudah mati!" Jawab Kiai Sobirin dengan lantang.
"Jangan membuat saya marah, Sobirin!" Suparta dengan cepat menarik kerah kemeja yang di pakai Kiai Sobirin. Usianya memang sudah tak lagi muda, namun sedari dulu Suparta memang memiliki fisik yang cukup kuat. Cengkeraman di kerahnya, membuat Kiai Sobirin kesulitan bernapas.
"Cepat katakan! Di mana anak saya!" Gertak Suparta.
"Dia sudah mati!" Seru Kiai Sobirin.
BLES!
Suparta menusuk perut Kiai Sobirin dengan sebilah pisau. Kiai Sobirin terkulai, perlahan tubuhnya ambruk. Kiai Sobirin mulai ada sesuatu di dalam dirinya. Sesuatu yang tak biasa. Hawa panas mulai menjalar dari luka akibat tusukan tersebut. Dadanya dirasa semakin sesak. Belum lagi rasa mual di perut yang sedari tadi mengganggu.
"Ini pertanyaan terakhir saya, di mana anak saya, Sobirin?" Suparta mendekatkan wajahnya ke wajah Kiai Sobirin. Tiap katanya penuh penekanan.
"Saya sudah berulang kali men ... uhuk! Uhuk!" Kiai Sobirin terbatuk. Dari mulutnya keluar darah kental yang berbusa. Tentu saja Kiai itu terkejut.
"Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, li-
"Anakmu sudah mati, Parta! Saya sendiri yang menguburnya." Potong Kiai Sobirin. Pria sepuh itu berusaha berkata jujur, meskipun selalu dianggap berbohong oleh Suparta.
Bles! Bles! Bles!
Suparta yang naik pitam, kembali menusuk perut Kiai Sobirin berulang kali. Ia tak peduli berapa banyak racun yang akan menggerogoti tubuh pria renta itu.
Di saat dirinya sudah puas, Suparta menendang tubuh Kiai Sobirin. Pria sepuh itu hanya berguling di tanah tanpa perlawanan. Darah mengalir deras dari perutnya. Kiai Sobirin kehabisan tenaga. Ia memandang Suparta dengan tatapan iba.
KAMU SEDANG MEMBACA
JALAN PULANG
HorrorSetelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan Hawiyah muncul di luar jendela. Saat hendak memastikan, bayangan Hawiyah mendadak hilang. Setelah kepergian Hawiyah, hidup Ahmad menjadi ta...