«3»

3.7K 173 1
                                    

Dering alarm menggugah tidur siang puan gendut yang terbaring di lantai beralas tikar plastik usai maraton nonton drama. Tangan gempal itu meraba-raba mencari letak gawainya. Dering berhenti, ia lantas bangkit duduk. Mengumpulkan nyawa yang sebagian terbawa keseruan petualangan di dunia mimpi.

Saemi bawa tubuhnya berdiri, berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Mengusir sisa kantuk dengan guyuran air, ia tak ingin mengingkari janji temunya dengan seseorang. Sang puan gendut tidak banyak berdandan, hanya mengenakan pakaian pantas untuk keluar dan sedikit krim pencerah agar wajahnya sedikit lebih berseri. Gawainya kembali berdering, kali ini muncul panggilan dari seseorang yang mengajak bersua.

"Oh, udah nyampe. Ini Aku mau otw," balasan Saemi ketika sang pengajak mengabarkan dirinya sudah tiba di titik temu. Panggilan berlangsung singkat, Saemi bergegas pergi biar sang pengajak tidak lama menunggu.

Kira-kira lima menit berjalan, jangkah Saemi tiba di sebuah warung makan mi instan yang memiliki slogan terkenal 'seleraku'. Sang pengajak melambai serta mengembangkan senyuman ke arah datangnya Saemi.

"Revisi bab 1 lagi Aku, Sae." sambutan pertama ketika Saemi hadir dihadapan sang pengajak.

"Ya ampun, perasaan kemarin oke-oke aja dan langsung ACC ke bab 2," tanggapan Saemi seraya mengambil duduk.

"Ga tau tuh Pak Guntur," sang pengajak menambahkan tawa di akhir kalimatnya dan hal itu menular ke Saemi. "Mau makan apa? Aku pesenin,"

"Mi kuah, tapi kuahnya jangan banyak-banyak." sebut Saemi tak ketinggalan menu minumannya.

Sang pengajak mengangguk paham, ia bangkit membuat pesanan sementara Saemi menyalakan laptop sang pengajak. Pemesanan tidak menghabiskan waktu lama, sang pengajak segera kembali ke meja yang mereka tempati dan melanjutkan kembali perbincangan.

"Kemarin pas Aku ngajuin bab 2, Pak Guntur malah ngoreksi bagian pendahuluan. Minta revisi bagian grafik sama tabel." adu sang pengajak sembari mengotak-atik laptopnya.

"Terus yang bab duanya?"

Sang pengajak yang sedang membuka file dokumen skripsinya itu menggeleng, "Bab 1 suruh benerin dulu, baru mau ngoreksi bab 2."

Saemi mendecih, sang dosen tidak berubah meski waktu berlalu. Ia banyak bersyukur kala itu tak mendapatkan dosen pembimbing konservatif seperti Pak Guntur. Begitupun ketika sidang skripsi. Betapa Maha Baiknya Tuhan pada mahluk seperti Saemi.

"Aku denger-denger mahasiswa bisa ngajuin ganti dospem ke prodi, Mas Dian ga nyoba?"

Perhatian sang pengajak bernama lengkap Dian Ranu beralih penuh ke arah Saemi, "Ganti dospem?"

"Mas Dian belum denger?" dilihat dari respon mahasiswa semester 14 di sampingnya ini, Saemi bisa menebak.

"Aku jarang konsul bareng yang lain, jadi aku kurang update." jawaban Dian membenarkan dugaan Saemi.

Saemi dapat memahami, katingnya ini terlalu sibuk dengan dunia aktivisme hingga melalaikan tugas pokok sebagai mahasiswa. Baru berniat mengambil skripsi pada semester ini pun usai mendapat pukulan telak dari sang ibu yang divonis kanker stadium empat. Ibu Dian berharap sebelum Tuhan memanggilnya, ia bisa melihat sang anak mengenakan toga dengan gelar di belakang nama.

"Aku denger dari adek-adek tingkat, sih, boleh. Tapi entah prosedurnya gimana. Entar kutanyain lagi ke salah satu dari mereka." informasi Saemi seketika mencerahkan air muka Dian yang semula keruh.

"Aku bakal nunggu banget updateanmu, Sae. Berapun Kamu butuh, Aku siap transfer."

Beralih, kini wajah Saemi yang cemerlang mendengar perkataan sang kakak tingkat. Lagi-lagi Tuhan begitu baik mempertemukan Saemi dengan orang seroyal Dian. Di mana cuan mengalir sampai jauh.

››♣‹‹

"Permisi, boleh minta waktunya sebentar?" Asta menyetop langkah pasangan ibu dan anak yang baru saja menyeberang jalan bergandengan tangan. Ia sempat mengabadikan momen kecil nan indah itu dan kini ia berharap dapat memotret mereka dengan leluasa.

"Ya?" ibu itu menyediakan waktu terbatasnya, menanggapi Asta serta menuruti permintaan sang pemimpin kantor cabang bank untuk dipotret.

"Terima kasih, maaf telah mengganggu waktunya." ujar Asta usai memotret beberapa kali pasangan ibu dan sang putra. Tak lupa ia memberitahu alamat hubung agar hasil pemotretan tadi dapat mereka miliki.

Kaki Asta bergerak lagi menemukan objek-objek menarik. Menjelajah salah satu sudut pinggiran kota sambil terus mengabadikan setiap momen dalam bentuk foto maupun video. Sore sabtu ini begitu indah, cakrawala biru membentang tiada kapas-kapas tergantung. Angin berembus lirih menyejukkan tiap titian. Bibir tipisnya pun terus melengkung ke atas di balik masker yang ia kenakan. Sesekali ia berhenti memotret objek yang mengizinkannya mengambil gambar.

"Sekali lagi, dong, Mas?" pinta seorang mahasiswi mewakili ketiga temannya.

Dengan senang hati Asta bersedia, mengarahkan gaya keempat mahasiswi itu dan mulai membidik.

"Makasih, Mas..." ujar mereka kompak usai perbincangan singkat, kemudian keempat agen perubahan bangsa itu meneruskan tujuan.

Asta kembali bergerak, kali ini tanpa membidik objek tertentu. Ia fokus menyeberang jalan ke arah minimarket di seberang. Tiba ia langsung mengambil air minum kemasan botol, beberapa sumber pangan dan membayarnya. Ia meneguk air yang ia beli sembari mengistirahatkan raga pada kursi yang disiapkan pihak mini market.

Lama terdiam mengamati sekitar, sebuah pemandangan menarik perhatian. Seorang ayah muda membujuk putri kecilnya yang tampak merajuk usai keluar dari mini market yang sama dengan Asta. Sementara ibu dari putri kecil itu hanya pasrah mengikuti drama kecil sang anak.

Sang pimpinan cabang tak banyak reaksi, juga tak mengabadikan lewat bidikan kamera. Ia hanya geming, membiarkan benaknya menjelajah jauh. Menembus ingatan-ingatan semasa lampau. Terkadang juga melampaui angan masa depan. Ia lupa kapan terakir kali memikirkan pasangan dan membangun rumah bersama. Memomong seorang anak seperti pasutri di depannya.

Asta beranjak menanggalkan kursi, drama keluarga kecil tadi berakhir lebih cepat dari dugaan. Putri kecil yang merajuk berhasil diluluhkan oleh permohonan maaf sang ayah dan janji menuruti permintaan putri kecil selain membeli es krim. Sekarang ia mengayun kaki menyusuri jalan arteri yang dipadati bangunan pertokoan dan indekos. Tidak jauh dari tempatnya berjalan memang terdapat sebuah universitas swasta, maka bangunan seperti itu mendominasi.

Kamera dan gawai Asta kembali bekerja. Ia coba beradaptasi mengoperasikan keduanya dalam satu waktu walau sedikit merepotkan. Ia belum memikirkan asisten untuk membantu sebagaimana pekerjaannya di kantor. Mungkin akan lebih efektif bila si sekertaris berbadan lebar ada di sini. Meski sering membuatnya jengkel, tapi puan gendut itu sangat cekatan juga mendetail soal pekerjaan.

"Saemi?"

Baru saja dibicarakan, sang sekertaris tertangkap mata sedang duduk berdua dengan seorang pria. Mereka bersebelahan menghadap laptop sambil berdiskusi entah apa. Asta melihatnya dengan jelas, bahkan tanpa sadar gawainya turut merekam semua adegan yang tersuguh.

"Pacarnya?" Asta masih belum sadar dengan tindakannya bak seorang pria yang memergoki sang kekasih selingkuh.

"Apa urusanku memikirkan asmara jomblo premium itu, astaga..." rutuknya pascasadar. Ia memutar haluan mencari titik lain yang jauh lebih menarik. Meski tak merasai bahwa sang sekertaris sadar akan eksistensinya.

Pak Asta bukan, sih?

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang