«15»

2.3K 130 19
                                    

"Kamu suka gambar?"

Seketika goresan tinta pulpen pada sebuah lembar buku kosong terhenti. Sang empu pulpen mengangkat wajah, menoleh ke bangku seberang yang diisi murid pindahan minggu lalu. Sebagai balasan sang empu mengangguk lalu kembali melanjutkan goresan.

"Gambar Kamu bagus, itu gambarnya tentang apa?" si murid baru kembali bertanya.

Sang empu yang merasa terganggu lantas beranjak, ia hendak ke kantin atau ke mana saja asal tak diganggu saat sedang ingin sendiri. Namun, pergerakannya dicegah oleh cekalan tangan.

"Namamu Saemi, kan?" si murid baru memastikan karena sejak kepindahannya di sekolah dan kelas ini, dia belum berinteraksi dengan sang penghuni bangku seberang.

"Saem!" panggilan dari arah pintu menyelamatkan Saemi yang malas meladeni basa-basi dari murid seberang bangku. Lewat panggilan itu juga cekalan di tangan Saemi otomatis terlepas.

"Kuy, ke kantin! Aku laper," lanjut si pemanggil sembari menghampiri Saemi yang masih tertahan di bangkunya. Tanpa penolakan Saemi segera beranjak.

"Yuda ngapain tadi?" tanya Fressa, si pemanggil Saemi sambil berjalan menuju kantin. Lengan berisi Saemi digandeng mesra bak akan menyeberangi jalan raya.

Saemi cuma mengangangkat bahu tak acuh, "Entah," sautnya.

Fressa yang pada dasarnya tak begitu ingin tahu akhirnya mengangguk saja. Toh, bukan urusannya.

Entah mengapa sejak kejadian di kelas yang sedikit lengang - lantaran para murid sibuk mempersiapkan lomba kebersihan kelas - hari itu, Saemi merasa sang murid baru terus menatapinya diam-diam. Sesekali bahkan menunjukkan atensi secara gamblang ketika sedang ramai berkumpul. Seperti mentraktirnya jajanan kantin walaupun berkedok mentraktir seluruh murid perempuan di kelas. Atau terkadang memuji serta mengomentari hal-hal kecil yang Saemi lakukan. Hingga lambat laun Saemi berhenti tidak mengacuhkan murid baru tersebut.

"Kamu penggemarnya Bigbang, ya? Aku tahu sedikit lagu-lagu dari mereka," selalu seperti ini cara Yuda membangun obrolan dengan Saemi si murid yang kalau tidak diajak bicara, tak akan mengajak bicara duluan. Kecuali sesuatu yang penting untuk dibahas, seperti materi presentasi misalnya.

"Lagu yang mana?" tanggapan Saemi kini jauh lebih baik ketimbang semula, meski tampang landainya tak pernah berubah.

"Aku lupa judul-judulnya, cuma inget yang Blues. Karena cuman lagu itu yang terniang-niang di kuping. Kalo Kamu pasti suka semuanya, ya, kan?"

Saemi mengangguki, ia mengakui apa yang Yuda sampaikan.

Interaksi antara Saemi dan Yuda berkembang sedikit demi sedikit lewat musik favorit sebagai pengantara. Juga dibantu Fressa yang terkadang ikut nimbrung dalam obrolan. Rekan sebangkunya itu memang pandai bergaul serta hebat dalam menghidupkan suasana. Meskipun, sering kali mulutnya lepas kontrol ketika amarahnya dipancing. Saemi saja sempat takut pada pertemuan pertama di kelas sepuluh dulu.

"Ya ampun Mas Chanyeol Kamu kok tiang banget, sih, jadi orang! Entar Aku dikira anakmu, lho, pas jalan bareng." selain tiga pembawaan yang disebut sebelumnya, Fressa juga dikenal seisi kelas sebagai K-popers kelas akut. Dialah racun utama yang mencekoki Saemi hingga ia juga tertular virus K-pop. Hanya saja sekarang mereka berbeda sekte pemujaan dan berseberangan pula. Tak jarang mereka saling menjatuhkan junjungan artis K-pop masing-masing atau bahkan sampai berdebat panas mengalahkan debat capres. Apabila dirasa mengganggu kedamian kelas, maka Yuda akan mengambil posisi sebagai penengah.

Saemi tak pernah mengira meladeni pertanyaan-pertanyaan sederhana dari seorang murid pindahan yang duduk di seberang bangkunya itu akan merubahnya sejauh ini. Ia yang tak suka ranah pribadinya ditelisik orang lain -kecuali ia berkenan- mesti belajar menyesuaikan diri. Memberi akses masuk pada sang murid pindahan, merogoh serta menjamah satu tempat di hatinya yang tak pernah tersentuh sebuah perasaan bernama 'jatuh cinta'. Hingga akhirnya sang puan gendut mengalami apa yang remaja lain rasakan, romansa SMA.

"Sial!"

Tuhan patut melaknat umat seperti Saemi. Bukannya berdoa serta berucap syukur telah diberi kesempatan membuka mata setelah semalaman beristirahat, puan gendut ini malah mengumpat begitu tergugah dari lelap.

"Mimpi sialan!"

Saemi membuka mata sempurna, menatap nyalang langit-langit kamar seolah dinding atas itu sedang menampilkan reka ulang kejadian di mimpinya. Suasana batinnya seketika memburuk hanya karena sebuah mimpi; yang barang tentu bukan mimpi sembarangan. Sangat diakui, sang sekertaris Asta teramat benci bila kembali diingatkan dengan kenangan semasa SMA.

Saemi bangun, meraih botol minum di bawah kasur lalu meneguknya rakus. Ia berharap suasana batinnya segera membaik agar tak merusak agenda bertemu calon keluarga (pengakuan sepihak) sepulang kerja nanti. Kemarin ia begitu bungah ketika Asta memperbolehkan ia ikut serta pulang ke rumah sang nenek yang ada di kabupaten sebelah. Namun sial, kesenangan itu berlangsung sementara gara-gara mimpi semalam.

"Deg-degan, euy!" suasana batin Saemi kini membaik berkat diguyur air. Mungkin efek mimpi tadi hanyut terbawa aliran yang sang puan gendut guyurkan ke badan. Sehingga euforia akan diajak ke kediaman keluarga sang pimpinan lebih terasa mendominasi.

Segala macam perlengkapan untuk bertamu telah Saemi siapkan hari lalu. Tentu tidak perlu ditanyakan bagaimana hebohnya sang puan gendut memilah apa yang perlu dibawa dan tidak. Ia merasa sedang melakukan simulasi mengunjungi keluarga calon pasangan. Sensasinya bikin jantung berdebar tak karuan.

Sarapan selesai, Saemi bergegas memesan ojek online guna mengantarnya ke kantor. Sang pimpinan kemarin memang telah berpesan tidak usah bawa kendaraan pribadi agar menghemat waktu.

"Atas nama Kak Saemi?"

"Benar, Mas."

Tumpangan Saemi datang, lekas membawa ia sampai ke tujuan.

Asta baru saja memarkir kendaraan ketika sang sekertaris terpantau dari spion juga baru sampai diantar ojek online. Ia keluar dan sang sekertaris sudah dalam jangkauan siap menyapa seperti biasa.

"Selamat pagi, Pak Asta..."

"Pagi,"

Mata Asta memicing, melihat barang bawaan Saemi seperti orang yang pulang merantau bertahun-tahun.

"Sebenarnya yang pulang Saya atau Kamu?"

Menyadari apa yang dilihat sang pimpinan Saemi pun meringis lebar. "Saya ga enak kalo bertamu ga bawa apa-apa. Kata mendiang ibu Saya, minimal bawa gula sama teh." sampai Saemi menjawab keheranan si kembaran ketujuh Chef Juno.

"Kita bisa membelinya diperjalanan nanti," saut sang pimpinan bukan bermaksud menyalahkan iktikad baik sang sekertaris, melainkan semata tak ingin sang puan sampai seribet itu.

Lagi-lagi Saemi meringis, dalam hati kepalang girang lantaran sematan kata 'kita' yang Asta bilang. Kepalanya jadi lancang berandai-andai berpasangan dengan sang pimpinan lalu mengunjungi keluarga besar guna meminta restu.

"Hei!"

Saking betahnya berandai-andai, panggilan sang pimpinan sukses menyentaknya kembali ke dunia nyata. Matanya mengerjab bingung menatap ke arah sang pimpinan yang menghela napas kasar.

"Masukkan barang-barangmu ke mobil Saya," Asta ulang instruksinya yang diabaikan sang sekertaris.

"Oh, siap!" Saemi patuh melaksanakan sebelum banyak pegawai menyaksikan dan menarik perhatian mereka.

"Sudah semua?" Asta perlu memastikan sekali lagi sebelum mengunci mobil.

"Ada satu yang belum, Pak!" balas sang sekertaris dengan tampang serius.

"Apalagi?"

"Balasan i love you yang pernah Saya bilang tempo lalu!" rampung mengutarakan Saemi langsung kabur sebelum dilempar sepatu oleh sang pimpinan.

Asta sontak termangu, tapi kemudian merasakan hangat di pipi yang menjalar ke telinga hingga menimbulkan rona kemerah-merahan. Ia yang semestinya menyusul masuk ke kantor, tapi malah membuka pintu mobil dan hampir masuk saking salah tingkah.

"Cewek ini benar-benar..."

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang