«17»

2.1K 108 14
                                    

Kelopak matanya mengerjab sekadar menjernihkan pandangan buram lepas tidur. Suguhan indah menyapa netra kala kabut di pelupuk menghilang. Asta, sang pimpinan menarik garis lengkung pada bibir membentuk senyuman yang Saemi pikir semata bawaan mimpi. Meski dalam temaran, lengkung tersebut tetap menawan. Memikat sang puan gendut selama beberapa saat sebelum sang pimpinan bersuara.

"Kita sudah sampai," ujar Asta.

Saemi mengangguk, kemudian meregangkan badan dari kekakuan dan tak lupa membersihkan wajah menggunakan tisu basah. Memastikan penampilannya memberi kesan pertama yang baik.

"Kamu bisa membersihkan diri di dalam. Lihat, mereka telah menunggu."

Gerakan Saemi di wajah terhenti, fokusnya berganti lurus ke depan. Satu wanita lansia bersama wanita lain yang sedikit lebih muda tampak menunggu di depan pagar rumah. Lekas sang puan gendut mengakhiri sesi bersih wajah dan menyusul sang pimpinan yang pamit keluar lebih dulu.

"Tole..."

"Uti..."

Asta menghambur ke pelukan wanita lansia yang senantiasa merawatnya sejak bayi. Tubuh sang nenek yang makin rapuh termakan waktu ia dekap dengan kuat. Menyalurkan kerinduan serta kasih yang tak mungkin bisa menandingi limpahan kasih sayang sang wanita lansia.

Saemi menyaksikan pertemuan suka cita itu dapat menaksir seberapa besar kasih dan perhatian yang tertuang di antara mereka, tentunya tak terbatas. Ia juga turut merasakan euforia kerinduan sang pimpinan dan neneknya. Dilihat dari erat pelukan mereka, Saemi mengira pertemuan mereka tidak begitu intens. Sehingga bisa dirasakan luapan kerinduan tersebut.

"Katanya pulang bawa temen, lha, kok yang dibawa malah calon mantu?" celetukan itu terlontar dari sang nenek selepas mereka mengurai peluk. Asta yang kini tengah menyalimi wanita lain di sisi sang nenek pun menoleh, teringat eksistensi sang sekertaris yang berdiri di belakang sembari mengukir senyum.

"Dia Saemi, Uti. Sekertaris Asta di kantor," jelas sang pimpinan mengenalkan teman yang dia katakan akan dia ajak tempo hari.

"Malam, Nek, Buk." Saemi serta-merta menyalimi kedua wanita dari keluarga sang pimpinan.

"Malem, Nduk ayu..." sang nenek menyambut ramah kehadiran Saemi. "Panggil Uti, ya, biar sama seperti Asta," pinta sang nenek.

"Siap, Uti!" diinstruksikan demikian Saemi spontan menunjukkan kesiapan bak prajurit militer. Kembali bertingkah ajaib dan bikin Asta mengelus dada.

"Saya Bude Suci, keponakannya Uti." kini giliran wanita baya yang tampak sedikit lebih muda dari sang nenek. Serupa dengan yang tadi, Saemi juga menunjukkan sikap seorang prajurit. Asta memang kudu besar hati memiliki sekertaris dengan segala kelakuan ajaibnya.

Basa basi di depan rumah segera ditutup, nenek mengarahkan mereka untuk masuk. Namun Asta dan Saemi kembali sebentar ke mobil, mengambil barang bawaan masing-masing baru menyusul.

"Mau mandi dulu atau makan dulu?" tanya Asta dalam perjalanan menginjakkan kaki ke ruang tamu.

"Mandi dulu, boleh?" Saemi balik mengumpan pertanyaan, sekadar ingin mendengar pendapat sang atasan.

Asta memberi pendapatnya melalui anggukan, lalu menunjukkan letak kamar mandi pada sang sekertaris.

"Saya ngasih ini abis mandi gapapa, kan, Pak?" barang yang Saemi tenteng agak ia angkat sebagai isyarat.

"Tidak apa-apa," balas Asta. Mereka kini sudah ada di depan bilik kamar mandi dekat dengan lorong yang menghubungkan ruang makan serta dapur. Di sana terlihat Uti dan Bude Suci tengah menyiapkan hidangan di meja sembari bercakap-cakap. Samar-samar Saemi menangkap pembicaraan mereka yang tak mengira Asta bakal membawa calon pasangannya ke rumah ini.

"Kamu bawa handuk?" perkataan Asta kontan mengembalikan kesadaran Saemi yang hampir lupa memijak daratan. Sejak tadi ia fokus mendengarkan percakapan dua wanita baya itu sambil berteriak kegirangan di kepala. Siapa yang tidak senang dapat lampu hijau dari pihak calon keluarga? Astaga, Saemi hampir lupa diri lagi!

"Saemi," Asta memanggil ulang sang sekertaris yang belum menyaut meski sempat ia tangkap sang puan telah sadar dari lamunan.

"Bawa, Pak." Saemi akhirnya terkoneksi juga.

"Ya sudah," ungkap Asta seraya meminta sang sekertaris menyerahkan barang yang tidak ia perlukan di kamar mandi, agar ia taruh ke tempat lain. Saemi menurut, menyerahkan barang yang bakal ia serahkan sebagai pengganti ucapan 'permisi' seperti yang telah mendiang sang ibu ajarkan kepada Asta.

Sembari menunggu Saemi mandi, Asta berjalan menghampiri dua wanita baya di ruang makan. Mereka masih terlihat bercakap-cakap mendiskusikan sesuatu.

"Ada apa, Uti?" tanyanya begitu mendekat dan ada di antara kedua wanita baya tersebut.

"Gini, Uti ga tau kalo temen yang Kamu maksud itu calonmu, jadi Uti cuma nyiapin satu kamar. Itu kamarmu, karna Uti pikir kalian bisa tidur berdua." Uti menyampaikan garis besar diskusinya bersama Bude Suci.

"Kalo calonmu bobok di tempat Bude, gimana?" usul Bude Suci, mereka sudah mendiskusikan hal itu dan meraih kesepakatan.

"Tidak perlu, Bude. Nanti biar Saemi tidur di kamar Asta aja dan Asta bisa tidur di depan TV atau bobok sama Uti," terang Asta tak ingin merepotkan sang bude dan mengesankan Saemi seperti diungsikan.

"Udah gede masak mau bobok sama Uti, malulah sama calonmu!" timpal sang nenek menyertakan seulas senyum mengejek. Tentu dalam ranah bercanda.

"Asta kangen bobok sama Uti..." Asta seperti lupa umur jika sudah di hadapan sang nenek, sikap aslinya pasti akan nampak. Dia akan kembali menjadi anak-anak yang manja dan haus perhatian. Lihatlah bagaimana pimpinan kantor cabang itu memeluk sang nenek sambil mendusal-dusalkan kepala ke kepala wanita lansia. Mirip anjing yang minta elusan kepada sang majikan. Saemi pasti akan menjerit gemas apabila bisa menyaksikan keaslian sikap sang kembaran ketujuh Chef Juno. Sayang sekali Saemi masih mengurung diri di kamar mandi lantaran belum selesai membersihkan badan. Ditambah tiba-tiba ada panggilan alam.

Saemi keluar dari pertapaan kamar mandi setelah lima belas menit, Asta nampak menunggunya di meja makan.

"Uti sama Bude Suci di mana, Pak?"

"Bude pulang dan Uti di kamar. Kita bisa beristirahat setelah makan," lontar sang pimpinan tak tahu kenapa menjalarkan rasa hangat di kedua pipi Saemi. Di kepala sang puan diksi 'kita' menggambarkan ia dan Asta sebagai pasangan sungguhan.

"Terima kasih, Pak." Bersama Asta, malam ini Saemi diperlakukan laksana ratu. Pimpinan yang biasa mengandalkannya di kantor, kini berganti melayaninya. Ia hanya perlu menduduki kursi di samping sang pimpinan dan makanan tersaji siap santap. Terlihat seperti pasangan yang baru menikah, bukan?

"Rencananya besok Saya akan mengantar Uti ke pasar, mau ikut?" Ditengah santap Asta mengutarakan ajakan.

Saemi yang tengah mengunyah daging ayam kecap lantas mengngguk antusias, "mau banget, Pak!" serunya usai menelan.

Senyum asta mengembang tipis, begitu bahagia melihat respon aktif sang sekertaris. Hingga tidak sadar tangannya bergerak mengambil bulir nasi di sudut bibir Saemi.

Beku,

Kaku,

Mendadak dunia berhenti berotasi. Tatapan mereka saling terkunci, menyelam manik kelam masing-masing. Jarak yang semula membentang satu lengan mengikis perlahan. Tangan yang semula sekadar memumut sebulir nasi kini dengan lancang bertengger di pipi kiri sang puan. Bentang memendek, makin rapat, dan...














OMAIGAT OMAIGAT APA INI?!

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang