«22»

2.1K 116 12
                                    

Kenduri baru saja berakhir, tapi Asta tak mendapati sang ibu dan sang sekertaris ada bersama para kaum hawa lainnya. Ia melesat ke lantai atas usai Uti memberi tahu di mana kemungkinan sang ibu berada. Dan benar, sayup-sayup ia dengar suara sang ibu tengah menyebut-nyebut namanya.

"Asta itu–"

"Mama," panggil Asta memenggal perkataan sang ibu yang ingin membagi kisah sang anak kepada Saemi. Tepat sekali sang anak menghampiri ketika pembicaraan inti dengan Saemi telah terlewati. Berdoa saja semoga upayanya ini berhasil, agar tahun ini ia dapat memiliki menantu dari sang anak sulung.

"Udah selesai, Kak?" Winarti menanggalkan kursi, mengayun kaki ke arah pintu di mana sang anak berdiri.

"Baru saja, Ma." Asta menatap balik sang ibu yang seolah tengah bicara padanya lewat sorot mata. Namun ia tak memahami arti maksud tatapan tersebut. "Mama membicarakan sesuatu?" Bisik Asta merasakan firasat tidak enak terkait arti tatapan itu, pun air muka sang sekertaris yang tampak beda usai perbincangan. Sang ibu tidak mungkin menyakiti Saemi dengan kata-katanya, kan? Asta coba berbaik sangka pada sang ibu.

Bukan memberi jawaban, Winarti malah menampilkan senyuman yang mengandung teka-teki. Ia melenggang begitu saja tanpa menyauti pertanyaan Asta barang sepenggal kata pun.

"Apa yang kalian bicarakan tadi?" Asta kini ganti mendesak sang sekertaris yang tampak lebih diam dan murung dari sebelum kenduri. Wajah cerah Saemi ketika berkumpul dengan anggota keluarga, apalagi pas mengobrol dengan sang adik seakan diselimuti awan kelabu. Keceriaan itu pudar meski sang sekertaris menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman khas.

"Gibahan perempuan, Pak Asta ga perlu tau!" Tutur Saemi jelas itu dusta, Asta pun dapat mengendus kedustaan tersebut.

"Benar, tidak ada pembicaraan tertentu?" Asta menahan lengan Saemi ketika puan tersebut hendak berlalu membantu kerepotan di bawah.

Saemi menggeleng tanpa ragu, kemudian melepas cekalan di tangan dan segera turun. Ia tak ingin diam saja sementara yang lain sibuk berbenah.

Asta mengembuskan napas kasar, mengusap rambut ke belakang seraya melempar pandangan sembarang arah. Fokus matanya terhenti ketika tak sengaja memindai sekitaran kabinet tempat ia menata buku-buku zaman sekolah. Ada yang menyembul dari celah dua buku yang tertata paling pojok. Tangan Asta pun bergerak meraih benda atau lebih pasnya selembaran kertas. Ketika ditarik keluar, kedua obsidian di mata sang kembaran ketujuh Chef Juno pun membola.

"Kenapa foto ini masih ada di sini?" gumam sang pimpinan kantor cabang heran. Seingatnya benda-benda kenangan dari sang mantan telah ia lenyapkan. Namun bukan masalah eksistensi benda tersebut yang kini jadi pikiran. Akan tetapi, apakah penguasa sementara kamarnya telah mengetahui foto tersebut? Jika digabungkan dengan pembicaraan empat mata tadi, apakah ada sangkut pautnya?

Asta menghela napas berat, ada kemungkinan bahwa foto tersebut telah dilihat oleh sang penguasa sementara kamarnya. Entah apa yang Saemi pikirkan, Asta merasa perlu menjelaskan. Sudah waktunya ia lebih terbuka pada sang sekertaris. Tidak lagi menyekat diri dalam hubungan formalitas di tempat kerja, melainkan lebih dari itu. Karena waktu kian waktu Asta merasa ... ingin Saemi terus ada dalam setiap harinya.

"Kamu sibuk?" suara tersebut kontan menarik Asta ke dunia asli. Ia pun menoleh ke belakang, mendapati sang ayah berdiri di ambang pintu.

Asta memutar hadap, membalasnya dengan kata tidak. "Bantu Ayah angkatin sofa, ya." Pinta sang lelaki paruh usia yang merupakan ayah sambungnya tersebut.

"Iya," saut Asta kemudian mengikuti jejak sang ayah sambung, meninggalkan kamar beserta segala pikiran mengenai selembar foto dan Saemi.

Bahu-membahu anggota keluarga Uti merapikan bekas acara supaya ruangan terasa lebih lega dan rapi. Pun memang keluarga mereka terbiasa untuk tidak menunda-nunda suatu pekerjaan. Sehingga dalam rentang waktu yang tidak begitu lama, ruangan serta peralatan penunjang acara kembali sedia kala. Pukul sepuluh malam, mereka berpencar ke ruang istirahat masing-masing setelah mengobrol sebentar di ruang tamu.

"Kamu sudah ngantuk?" Asta melongok dari celah pintu yang ia buka sedikit. Sebelumnya ia telah mengetuk pintu kamar yang kini sementara dihuni Saemi, dan puan gendut tersebut menyauti.

"Lumayan, Pak. Badan Saya pegel-pegel efek jarang olahraga, entah nanti bisa tidur apa enggak." Saemi malah curhat pada sang pimpinan yang kini mengambil duduk di sisinya.

"Kebetulan Saya bawa ini," Asta mengeluarkan empat saset cairan herbal beda rasa.

"Kebetulan atau emang Pak Asta siapin?" goda Saemi sengaja ingin mengetes, apakah sekadar modus atau memang sang pimpinan perhatian.

"Mungkin yang kedua. Saya tadi mampir ke minimarket dan lihat ini. Katanya di iklan bagus untuk meredakan pegal, jadi Saya beli." Beber Asta panjang lebar. Terkesan seperti anak kecil yang menceritakan eksperimennya kepada sang ibu. Lucu, Saemi suka sekali dengan sisi lain Asta selain dua sisi biasa ia kenal di kantor. Sang puan gendut melihat ada kepolosan di sana, seolah usia Asta saat ini hanyalah angka. Jiwa sang pimpinan tetaplah seorang anak kecil.

"Ada yang salah dengan wajah Saya?"

Saemi terjaga, menyelami wajah Asta terlalu dalam hingga tak sadar tangan sang pimpinan kini hinggap di kepala. Asta, sang kembaran ketujuh Chef Juno tengah merapikan anak rambut yang menjalar sampai ke dekat kelopak mata sang sekertaris. Ia tak ingin helaian itu mengganggu penglihatan sang puan.

Sang puan menegang, menahan napas sebisa mungkin untuk menetralkan gestur serta ekspresi. Jarak mereka terbentang pendek, sangat tidak aman bagi kinerja organ pemompa darah Saemi.

Tangan Asta menjauh, "Kamu mau yang mana?" Asta menunjukkan dua rasa dari saset cairan herbal yang ia beli siang tadi saat membagi makanan.

Saemi melepas napas yang ia tahan, kemudian mengambil saset cairan herbal berwarna cokelat. "Saya suka yang ini, kalo yang ijo pedes, Pak."

"Benarkah? Saya belum pernah coba," tutur Asta, lagi-lagi menunjukkan kepolosannya.

"Pak Asta coba aja kalo mau," saran Saemi seraya meneguk saset cairan herbal. Rasa jamu seketika memenuhi rongga mulut serta kerongkongan sang puan gendut.

Asta menggeleng, "Saya tidak suka obat," imbuhnya.

"Oh, iya, Pak Asta kan ga suka pahit," saut Saemi setengah mengolok kebiasaan sang pimpinan. Anggota keluarga Asta banyak membocorkan aib sang pimpinan, terutama sang adik sendiri. Dari mereka ia tahu bahwa kesan kekanak-kanakan Asta sudah mendarah daging.

"Memang harusnya Saya tidak bawa Kamu ke mari," ujar Asta seraya menghela napas pendek. Keputusan membawa Saemi hanya membuat semua keburukannya dibongkar keluarga. Sehingga mudah bagi Saemi untuk menggodanya dengan aib-aib tersebut.

Saemi tergelak, senang sekali dapat membalaskan perlakuan Asta selama di kantor. Meskipun agak menjengkelkan, tapi Asta bahagia melihat Saemi sesenang ini menggodanya. Lihatlah, mata sang puan sampai menyipit akibat puas menertawakan wajah kesal sang kembaran ketujuh Chef Juno.









Bolehkah Saya melihat wajah bahagia itu untuk waktu yang lama?

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang