«9»

2.3K 124 0
                                    

Poetretpoetret?

Wah ... Saemi menggeleng-geleng, memandang tak percaya sosok sang pimpinan yang ternyata sosok di balik akun sombong itu. Dan sekarang, ia dilibatkan dalam proses pemfilmannya.

"Kenapa dengan reaksimu?" Asta ikut menghadap sang sekertaris yang seperti baru saja menguak sebuah fakta mengejutkan.

"Pak Asta jahat banget selama ini," penggalan Saemi menciptakan kerut di kening Asta.

"Saya pengikut akun Pak Asta, pengelike pertama, pengomen pertama, tapi boro-boro direspon," terus Saemi mengeluarkan semua unek-uneknya mumpung di depan sang pemilik konten. "Pak Asta cuma ngerespon beberapa akun yang pemiliknya cewek dan cantik-cantik! Saya kesel banget, tau gak!" sembur si puan gendut selagi ada kesempatan.

Asta terperanjat dapat komplain dadakan langsung dari sang pengikut yang tak bukan sekertarisnya sendiri. Takdir macam apa ini?

Saemi menggeser posisi duduk sedikit menjauh, menghindari percikan api yang barangkali tercipta dari luapan emosinya.

"Apa salahnya dengan itu?" Asta mencari duduk masalah dari apa yang ia lakukan. Bukankah untuk merespon atau tidak adalah haknya sebagai pemilik akun?

"Itu berarti Pak Asta ga menghargai pengikut Pak Asta!" respon Saemi meluap-luap. Sang pimpinan di sampingnya ini seperti tidak merasa berdosa sama sekali.

"Saya tidak minta diikuti," balasan yang luar biasa dari sang pimpinan kantor cabang bank dan sukses bikin kepala sang sekertaris mendidih.

"Pak Asta nih bener-bener..." Saemi tak tahan lagi, ia bangun beranjak pergi. "Saya mau pulang aja, bodo amat dengan konsekuensi itu!" tapi seketika tas selempangnya ditarik sang pimpinan sampai ia kembali duduk.

"Maaf, Saya tidak tahu itu akun Kamu." meski tak merasa ada yang salah, Asta legawa meminta maaf. Sebagai orang yang lebih tua sebaiknya memang mengalah dalam menghadapi sang sekertaris yang terpaut usia cukup jauh.

"Maaf saja tidak menyelesaikan masalah," Saemi makin melunjak setelah diberi hati.

"Lalu apa maumu?" Asta menyabar-nyabarkan hatinya, apalagi yang dihadapi saat ini ialah mahluk bernama perempuan. Mahluk dengan strata tinggi menyoal kebenaran.

"Follow balik akun Saya dan kasih respon kalo Saya komen." pinta si puan gendut.

Asta dengan legawanya mengabulkan permintaan sederhana itu. Dia tidak sadar mengapa jadi sepenurut ini dengan sang sekertaris. Apakah hatinya tiba-tiba melunak oleh kelakuan Saemi? Hanya pencatat amal manusia yang tahu.

"Ini, lakukan sendiri." Asta menyerahkan gawainya kepada Saemi, memberi akses untuk sang sekertaris melakukan apa yang dimau.

Saemi bungah bukan kepalang, serasa mimpi dapat memegang gawai berkelas dari si pemilik akun yang telah ia omeli kapan hari.

"Makasih Pak Asta yang baik..." Saemi membaik-baiki sang pimpinan setelah komplainnya ditanggapi sesuai harapan.

Menggeleng-geleng, Asta tidak mengerti dengan tingkah sang sekertaris juga perubahan suasana batin yang drastis.

"Satu sesi lagi setelah itu kita pulang,"

"Siap, Pak Asta!"

Semangat Saemi berkobar, tanggap mengikuti arahan dari sang pimpinan.

Meninggalkan kursi panjang tempat rehat, kini mereka kembali berburu objek-objek foto. Sampai mentari pulang ke peraduan menyisakan mega merah, mereka baru menyelesaikan perekaman. Asta mengantar sang sekertaris ke indekos lalu melanjutkan ke huniannya sendiri.

Saemi menyeret langkah meniti anak tangga menuju kamar di lantai dua. Sesekali menyapa penghuni indekos- yang baru pulang beraktivitas atau yang akan keluar mencari makan atau mungkin kencan- yang berpapasan dengannya. Meski rata-rata penghuni indekos sini sedikit introver- minim bergaul dan berkumpul- mereka tak meninggalkan budaya bertegur sapa. Paling tidak mereka saling mengangguk sambil tersenyum tipis ketika papasan.

"Pulang kencan, Saem?" salah satu penghuni lantai atas yang kamarnya Saemi lintasi menegur. Mereka seumuran dan terkadang berburu makanan bareng.

Saemi tergelak lebih dulu, "Pinginnya sih gitu, Yas." timpalnya pada puan berbadan ramping dengan bekas jerawat memenuhi kedua pipi. Yasmin namanya.

"Nasib jomblo, yak." Yasmin tergelak, menertawai diri mereka yang senasib seperantauan.

"Mau cari makan?" tanya Saemi menggulir bahasan pernasiban.

Yasmin mengangguk, "Mau bareng?"

"Aku mandi dulu gapapa?"

Yasmin mengangguki, mengatakan bahwa ia akan menunggu di kamar. Lekas-lekas Saemi menuju biliknya. Mengguyur badan, memakai pakaian santai, dan segera mendatangi kamar Yasmin. Berangkatlah mereka meninggalkan persemedian, berburu makan malam sambil menikmati masa kesendirian. Berbaur dengan pasangan-pasangan yang sedang meluangkan waktu bersama. Atau sebuah keluarga yang berkumpul merayakan salah satu anggota yang berulang tahun-seperti yang Asta lakukan.

Asta tadi hanya mampir ke rumah sebentar-sekedar membersihkan diri dan ganti pakaian- kemudian memenuhi permintaan hadir dari si yang punya acara.

"Selamat ulang tahun, Mama..." ujar empat orang dewasa yang duduk mengelilingi meja, serta tambahan satu balita perempuan yang cuma mengoceh sebisanya. Sang empu acara menyunggingkan senyum lebar, menerima kecupan di kening dari sang suami. Kemudian mendapat peluk bergantian dari kedua anak beserta mantu dan cucu.

"Kalo Mama ga ulang tahun, mesti Kamu ga pulang!" omel sang empu acara kepada sang anak sulung.

Asta membalas dengan senyum, memeluk lagi sang ibu dan memberi kado yang telah ia siapkan seminggu sebelumnya.

"Pekerjaanmu lancar?" suami dari sang ibu memancing obrolan dengan sang pimpinan cabang.

Asta mengangguk, menjawab semestinya dan balas menanyakan kesehatan sang ayah sambung. Membangun pembicaraan meski sesederhana dan sesingkat apapun agar kebekuan tak merusak momen bahagia sang mama.

"Kak, Kamu kapan mau nyusul adikmu, hum? Mama juga mau nimang cucumu," celetuk sang mama ketika Asta dan sang ayah sambung membahas pertandingan bola kemarin malam.

"Asta belum nemu calon yang pas, Ma." jawaban Asta masih sama seperti yang ia berikan sebelum-sebelum ini. Membuat wanita yang kini tepat menginjak usia 69 tahun itu merengut kesal.

"Kak Asta mau gak, kalo kukenalin sama temen-temenku?" saut sang adik seibu menawari.

"Mereka terlalu muda buatku," tolak halus Asta yang sebenarnya memang sedang tidak ingin menjalin hubungan percintaan. Dia bukan pria yang terlalu banyak kriteria menyoal calon pendamping.

"Cuma beda 15 tahunan, kok. Tetangga Mama ada yang nikahin anak sahabatnya. Gapapa, tuh. Langgeng-langgeng aja sampai sekarang udah beranak tiga." sambar sang mama tahu sang anak berkilah lagi. Entahlah, semenjak mantan terakhir sang anak selingkuh dan memilih menikah dengan si selingkuhan, anaknya itu tidak terlihat lagi menjalin asmara dengan seorang puan pun. Ia sampai cemas berpikiran aneh-aneh.

"Kak Asta belum nemuin yang kayak Kak Asih, ya?" terka sang adik sangat berhati-hati takut menyinggung perasaan sang kakak.

Asta menaikkan alisnya ketika nama mantan yang pernah ia kenalkan ke keluarga- serta akan ia bawa dalam sebuah hubungan bernama pernikahan- disebut oleh sang adik. Empat pasang mata menatap sang pimpinan kantor cabang, menanti tanggapan yang akan diberikan.

"Siapa Asih?"

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang