«23»

2.1K 129 22
                                    

Dugaan Asta benar. Gurat terkejut sama sekali tidak tampak di kening Saemi, ketika ia tunjukkan lembar foto tunangannya dengan sang mantan. Seakan puan tersebut telah mengetahui semuanya. Termasuk fakta bahwa sang mantan selingkuh dan hamil dengan sang selingkuhan.

"Kamu sudah tahu rupanya," ujar Asta seraya merobek lembar foto yang harusnya telah lenyap bertahun-tahun lalu.

Manik netra Saemi membola, perbuatan sang pimpinan merobek foto itu di hadapan sungguh tak disangka. Ia menatap bingung sang kembaran ketujuh Chef Juno dan sang pelaku perobekan balas menatap sambil tersenyum.

"Foto ini," Asta mengangkat lembaran foto yang kini telah menjadi robekan-robekan kemudian lanjut menyampaikan, "dan segala kenangan di dalamnya sudah Saya tinggalkan."

Saemi geming belum paham, netranya mengikuti gerakan tangan Asta membuang robekan-robekan itu ke tempat sampah di sudut kamar. Asta menyeret kursi belajar, didekatkan dengan ranjang, lalu mendudukinya persis di depan Saemi. Sang pimpinan menghapus jarak, hanya menyisakan celah di antara lutut mereka yang bertemu.

"Bagaimana menurutmu?"

"Huh?" Saemi belum terkoneksi, masih terjebak pada perlakuan Asta yang serba tiba-tiba.

"Masa lalu sudah Saya taruh di belakang, jika sekarang Kamu yang Saya taruh dimasa depan, bagaimana?" sampai Asta lugas, tak peduli bagaimana reaksi bingung puan di hadapan.

Saemi sedikit menggeser posisi intim yang membuatnya tak leluasa bahkan sekadar bernapas. Sang puan coba beranikan diri menatap sang pimpinan yang perlakuannya berubah 180° dari biasa. Mencoba juga memaknai kalimat Asta yang terasa seperti, dialog dalam drama abal-abal yang sering ia lakukan di kamar mandi. Pun menyangkal sebuah kemungkinan bahwa sang pimpinan ... menyukainya.

"Saya ga mau, Pak. Pak Asta pikir Saya barang, apa! Bisa ditaruh sana sini," respon Saemi sengaja berpura-pura bodoh akan maksud Asta.

Saya maunya dimasa sekarang, bukan masa depan yang banyak ketidakpastian.

Sayang sekali kalimat tersebut hanya sampai di ujung lidah dan Saemi memang tak berniat mengeluarkan. Ia kembali teringat peraturan tak tertulis yang ia buat sendiri, tidak boleh jatuh cinta pada sang pimpinan. Hanya boleh pada batas kekaguman. Pun janjinya pada Winarti.

Asta tak kuasa membendung tawa. Meski suara tawanya tidak begitu keras, cukup membuat Saemi lega. Puan gendut tersebut sangat berharap pembahasan segera beralih atau kalau bisa Asta membiarkan ia beristirahat. Walaupun ia tak yakin juga dapat istirahat dengan jenak setelah ini.

"Kamu sepertinya sudah ngantuk sekali. Nikmati waktumu, selamat malam ...." Asta mengusak kecil pucuk kepala Saemi sebelum bangkit memundurkan kursi kembali ke tempat semula, kemudian berlalu turun.

Netra Saemi tak lepas dari pintu yang baru saja ditutup, menghilangkan bayang Asta dari tangkapan pupil sang puan gendut. Pertanyaan demi pertanyaan menyerbu kepala, menghujani benak dengan berbagai tanya yang diawali dengan kata kenapa/mengapa serta apa.

Kenapa Asta harus bersikap seperti ini, disaat ia mestinya memuluskan jalan sang pimpinan bersama wanita pilihan Winarti? Apakah baru saja sang pimpinan hanya ingin mengacaukan perasaannya kemudian pergi? Atau hanya sekadar ingin dekat untuk melihat seberapa rapuh Saemi menyoal asmara? Seperti seseorang yang dulu melakukan demikian pada sang puan gendut.

Saemi takut sejujurnya. Takut mengulang kebodohan yang sama seperti masa SMA bersama sang cinta pertama. Ia terus membuat pengandaian untuk masa yang sama sekali tak ingin diulangi. Andai ia tak pernah memedulikan pertanyaan sang penghuni bangku sebelah, apakah semuanya akan berbeda? Saemi tak perlu menjadi orang yang kehilangan logika sampai yakin betul, bahwa sang penghuni bangku sebelah adalah jodoh dari Tuhan. Lalu ditampar oleh kenyataan bahwa ia tak lebih menarik dari sang sahabat.

Saemi menggeleng, pikirannya jadi buka cabang di mana-mana. Masa lalu itu mesti ditempatkan di belakang, seperti kata Asta tadi. Masa depan penuh misteri biar jadi perkara nanti. Masa sekarang ... waktunya menyelam dalam mimpi.

Mentari menyembul malu-malu di ufuk timur sana, menyambut hari terakhir di rumah Uti. Tujuh kepala melingkari meja makan menyantap sarapan sederhana yang dibuat para puan muda, Saemi dan Rey. Sepanjang sesi sarapan tersebut, Saemi sebisa mungkin menghindari berkontak mata dengan Asta dan Winarti. Dia tidak mengerti mengapa ibu dan anak itu kompak menatapinya sejak berkumpul di sini. Tentu dengan cara tatap yang berbeda.

"Kalo ada waktu, Saemi main ke sini lagi, ya. Uti seneng ada Kamu di sini," pernyataan Uti membuat Saemi senyum tersipu. Puan gendut hanya mampu mengangguk tanpa yakin akan mengulang datang ke tempat ini dimasa depan. Entah itu persoalan hubungannya dengan Pak Asta yang bakal berbeda, atau ada lain hal.

Winarti kontan menatap sang ibu dalam tangkapan ekor netra Saemi. Ia otomatis berpikir bahwa ibu sang pimpinan tidak menghendaki kedatangannya lagi di sini. Namun tentu hal ini hanya persepsi kepala Saemi. Nyatanya Winarti amat mengamini perkataan sang ibu, meskipun terhalang akting yang ia lakoni.

"Asta ndak bisa janji kapan waktunya, tapi Asta usahain ajak Saemi ke sini lagi nanti." Balas Asta berani menjanjikan, padahal pihak yang akan ia ajak saja tidak yakin bisa datang.

"Kalo Kak Asta ga bisa, Sama Aku juga boleh. Ya, kan, Saem?" saut Rey sambil menyenggol pelan lengan Saemi di samping kirinya, yang disenggol asyik menyantap nasi goreng buatan mereka sendiri.

Lagi-lagi jawaban berupa anggukan Saemi berikan. Puan tersebut sangat takut melontarkan janji yang dia sendiri tidak mampu tepati. Bagaimanapun, setelah ini hubungannya bersama Asta akan kembali ke setelan awal. Ia harus menepati janji lain yang ia buat dengan Winarti. Memuluskan pengenalan Asta dan calon dari Winarti. Puan pilihan itulah yang sememestinya datang ke sini, entah itu sebagai kenalan atau bahkan calon pasangan. Bukan seorang sekretaris seperti Saemi yang bukan siapa-siapa.

Sesi sarapan berakhir dengan mulus. Saemi bersyukur, pembicaraan menyoal kedatangannya lagi ke sini yang diharapkan Uti cepat berganti. Tibalah saatnya untuk bersiap-siap menempuh perjalan pulang dan tak lupa berpamitan pada Uti serta keluarga terdekat. Sang puan gendut telah merapikan barang bawaan juga kamar yang ia kuasai selama dua malam.

"Sudah selesai?" Asta datang menghampiri Saemi yang tengah duduk di pinggiran ranjang.

"Sudah, Pak." Saemi segera bangkit seraya meraih tas untuk ia sampirkan ke bahu. Namun sebelum bergerak keluar, Asta lebih dulu menahan bahunya.

"Saya serius dengan ucapan Saya di meja makan tadi," tutur Asta diikuti tatapan lekat ke netra sang sekertaris.

Saemi kuatkan mental membalas tatapan sang pimpinan yang bisa membuatnya oleng kapan saja. Ia tampilkan senyuman khas sembari berkata, "Mudah-mudahan," sebagai jawaban bertafsir ganda. Bisa saja bermakna 'mudah-mudahan' tidak terjadi, atau juga terjadi tapi 'mudah-mudahan' itu bersama puan pilihan Winarti.


















"Saya berharap ada perubahan status ketika kita datang lagi ke sini, Saemi. Bukan lagi sebagai rekan kerja, melainkan ... rekan hidup."

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang