«20»

2.2K 133 17
                                    

"Saya belikan itu untuk Kamu agar yang Kamu ingat di kamar, hanya Saya."

Saemi sontak menelengkan kepala ke arah sang pimpinan yang baru saja berujar kata-kata pemanis. "Oh, kalo gitu Saya taruh di kamar mandi aja biar ngehalunya lancar." Balas si puan gendut bikin mata Asta membola.

"Apa yang Kamu imajinasikan tentang Saya? Jangan aneh-aneh, ya!" tegur Asta merasa sang sekertaris memikirkan sesuatu yang 'iya-iya'.

Saemi lantas tergelak, baru begitu saja sang pimpinan sudah terlihat panik. Padahal kemarin berlagak berani menggodanya seakan ingin melakukan ciuman. "Suka-suka Saya dong mau ngehalu apa," timpalnya.

"Tapi dalam imajinasimu itu ada Saya!" protes Asta tak terima dirinya dilipatkan dalam pikiran kotor sang sekertaris.

Saemi enggan menyauti lagi. Dia suka bila sang pimpinan uring-uringan, sebagai ganti kata-kata pemanis yang nyaris bikin terbang. Asta kehilangan kata melihat kebisuan sang sekertaris, seakan pemandangan di sekitar sini jauh lebih menarik ketimbang eksistensinya. Namun demikian, Asta tak mau memanjangkan persoalan. Menganggap semua tadi sebagai hiburan guna mengikat keakraban. Kontras dengan anggapan Saemi yang hendak mengambil hati lontaran kalimat gula tadi.

Decit kampas rem menandai turunnya Asta dan Saemi setelah menempuh perjalanan dalam keterdiaman. Sebuah mobil tampak terparkir di depan pagar rumah nenek ketika mereka turun di seberang. Asta mengenali mobil tersebut, lantas ia beri tahu bahwa kedua orang tuanya telah tiba. Secara otomatis ritme organ pemompa darah milik Saemi melonjak.

Waduh, ketemu camer. Mendadak Saemi berpeluh dingin, terselip kekhawatiran bak memang tengah menghadapi calon mertua. Ia berdoa, semoga saja drama pengusiran serta pencacimakian laksana drama Korea yang ia tonton tidak terjadi. Agak berlebihan memang puan satu ini.

"Katanya nemenin Uti belanja, tapi malah kencan gini." Sambutan ibu Asta begitu sang anak dan seorang puan gendut tak ia kenali memasuki halaman rumah.

Asta lebih dulu menyalimi sang ibu, pun dengan Saemi. "Saemi pingin tau pasar, makanya Asta ajak keliling." Asta kemudian menanggapi. Sementara Saemi hanya mampu meringis keledai bermalu-malu kucing.

Winarti, ibu Asta lantas mengangguk paham. Berkeinginan menanyai sosok yang dibawa sang anak, tapi memilih nanti. Dapur sedang sibuk, mungkin nanti sambil berkutat bisa mengenali lewat jalur obrolan. Dia merasa belum cukup hanya mengetahui Saemi lewat mulut sang ibu. Winarti perlu bicara empat mata mengenai sesuatu yang serius. Mumpung ada kesempatan dan momentum.

"Ayo, bantuin di belakang!" Winarti mengajak Saemi yang kembali pada perangai aslinya ketika Asta memisah diri. Masuk lebih dulu membantu sang ayah menyiapkan tempat untuk malam nanti. Saemi mengangguk patuh mengekori ibu dari sang pimpinan.

"Oalah, ini tho calonnya Mas Asta..." seru seorang ibu yang sedang memarut kelapa menggunakan mesin parut. Saemi melihat ada lima orang termasuk Uti dan Bude Suci. Mereka mengambil peran masing-masing. Bude Suci menguasi bab perbumbuan sekaligus penumisan bakal sayur nasi berkat. Uti yang lansia mengurus makanan ringan sebagai pelengkap nasi berkat bersama dua remaja putri dan tiga anak kecil. Sementara dua yang lain masing-masing mengendalikan daging dan nasi.

Saemi makin tersipu mendengar seruan ibu pemarut kelapa yang ternyata adik dari Bude Suci. Lek Ti alias Sunarti, nama yang puan gendut dengar ketika menyalimi ibu pemarut kelapa. Uti sudah menerangkan siapa dirinya, tapi tetap saja mereka menganggap lebih Saemi di keluarga Asta. Maka tak heran bila Saemi terus-terusan digoda trio ibu selama berada di dapur. Winarti sebagai ibu dari salah satu pihak yang bersangkutan menanggapi seperlunya ketika dilibatkan dalam obrolan penuh canda tersebut. Lebih terkesan sekadar menghormati mereka, menurut persepsi Saemi.

Mentari meninggi, satu persatu hidangan untuk kenduri telah matang. Jangan ragukan kehebatan para ibu, yang handal menyelesaikan banyak pekerjaan dengan cepat dalam satu waktu. Meskipun selama pengerjaan mulut mereka tak berhenti bergerak, nyaris sibuknya menyamai gerak tangan. Begitulah ibu-ibu, Saemi sebagai calon seperti mereka sekadar maklum.

Saemi bersyukur keberisikan mereka membuatnya jadi lebih cepat beradaptasi dan menyamankan diri. Tidak secanggung bersama Winarti ketika mengupas kentang tadi. Obrolan terbatas, dua tiga kali percakapan lalu berhenti. Kalah berisik dari tempat pembungkusan aneka jajanan yang mana ada Uti di sana. Saemi sampai ingin pindah, lalu bergabung dengan trio ibu yang tadi menggadang-gadang ia sebagai calonnya Asta.

Makanan yang telah matang dan suhunya turun, lantas ditakar menyesuaikan wadah oleh Bude Suci dibantu ibu-ibu tetangga yang datang 'rewang'. Saemi turut berkecipung memasukkan nasi berkat racikan Bude Suci bersama aneka jajan ke kantung plastik. Para remaja dan anak kemudian mengangkatnya guna dihimpun ke ruang tengah. Beberapa orang telah ditugaskan menyalurkan sebagian bungkusan nasi berkat ke orang-orang tertentu. Asta turut dalam penugasan tersebut.

"Mau ikut?" tanya Asta ketika mengambil kunci mobil di kamar dan bersua Saemi di sana.

"Enggak, Saya mau mandi, Pak." Balas sang puan gendut yang tampak menyiapkan pakain ganti.

Asta mengangguk, "Kamu istirahat saja di sini, orang-orang di bawah juga istirahat."

"Boleh emang, Pak?" Saemi merasa tidak enak hati bila istirahat di tempat terpisah. Khawatir dicap buruk entah oleh siapa.

"Siapa yang melarang?" Saemi pun menggelengi pertanyaan Asta. "Istirahat, ya. Besok kita masih harus menempuh perjalanan pulang," terus Asta lemut sekali. Saemi sampai meleleh rasanya mendengar penuturan sang pimpinan. Ia diperlakukan seperti seorang kekasih selama di sini. Berharap momen-momen di tempat Uti tidak cepat berlalu dan Asta kembali pada mode kembaran ketujuh Chef Juno.

"Saya pergi dulu, ya."

Lamunan Saemi runtuh, tubuhnya menegang kala Asta tiba-tiba saja memeluknya sebelum pergi. Hanya dekapan cepat, tapi membekas lama. Saemi bahkan hampir lupa akan rencana mandi lalu melaksanakan imbauan oknum yang telah memeluknya. Guyuran air dingin khas pedesaan kaki gunung sedikitnya dapat mengatasi kegilaan yang Saemi alami.

Siapa yang tidak gila dipeluk oleh orang yang dikagumi?

Kalau Saemi tidak ingat tempat, kalian mungkin akan mendengar suara teriakan histeris menggaung dari kamar Asta. Bak seorang penggemar ditemui langsung oleh idolanya tanpa pemberitahuan. Puan gendut pun demikian gembiranya. Namun euforia tersebut tak berlangsung lama begitu berpapasan dengan Winarti.

"Boleh kita bicara empat mata malam nanti?"

Saemi belum sempat mengutarakan kesanggupan, tapi sebuah suara menginterupsi.

"Mana yang katanya calonnya Kak Asta? Aku mau lihat..." suara heboh tersebut datangnya dari puan muda yang baru saja tiba. Dia datang tidak sendiri, melainkan juga bersama seorang pria dan bayi dalam gendongan pria tersebut.

"Rey, Uti lagi bobok, lho," peringat Winarti pada anak bungsunya.

Rey, puan muda yang nyatanya telah melangkahi sang kakak menyoal pernikahan, pun tergelak. Meminta maaf sembari mencium tangan sang ibu diikuti sang suami dan sang anak. Saemi turut mereka jabat tangannya.

"Jadi Kamu, calonnya kakakku?"











Kenapa semua orang di sini kompak banget ngira Aku calonnya Pak Asta? Aku kudu gimana, Mas Naga....

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang