«18»

2.1K 119 10
                                    

Detak jantung Saemi bergemuruh laksana air terjun, samar tapi juga sayup-sayup sampai ke telinga ketika didengar lebih teliti. Napasnya tertahan, deru halus napas sang pimpinan terasa hangat menerpa pipi. Pandangannya tak mampu berpindah, terkunci tepat ke manik sekelam jelaga milik Asta. Saemi tidak sanggup, pucuk hidung mereka hampir bersentuhan, segera ia mengatupkan mata. Merapal mantra semoga jantungnya yang serasa akan meledak baik-baik saja.

"Bagaimana rasanya sedekat ini dengan Saya?"

Dalam sekejap mata Saemi membelalak, sang pimpinan telah menarik wajahnya sedikit menjauh. Meski jemari panjang Asta setia bertahan menangkup pipi bakpao sang sekertaris. Kurang ajar!

"Aduh! Kenapa Kamu gigit jari Saya?" seru Asta menarik cepat jemari lancang yang memegang bagian wajah Saemi. Posisi mereka kembali berjarak seperti semula setelah Asta yang terlonjak kaget kontan menjauh.

"Saya kanibal, Pak. Kadang suka gemes lihat jari orang, apalagi jari sebagus Pak Asta. Serasa ngeliat ceker ayam," celetuk Saemi sembari mencontohkan mengunyah sayap ayam kecap yang ada di piringnya.

Praktik Saemi sangat menjiwai, menggidikkan bulu roma si kembaran ketujuh Chef Juno. Selain berkelakuan ajaib sekertarisnya ini menyeramkan pula. Pantas saja selama perjalanan tadi tidur sambil mengikik. Asta jadi mengelus kedua lengan menetralkan nuansa horor yang masih tersisa. Makan malam larut diteruskan, kini tidak ada lagi pihak bersuara kecuali alat makan yang saling berdenting ketika dipertemukan.

Makan malam dalam keheningan selesai, Asta mengantar sang sekertaris ke lantai dua tempat kamarnya berada. Ia memang sudah tidak tinggal di rumah sang nenek, akan tetapi kamarnya di sini masih dipelihara. Harapan nenek agar ia punya tempat ketika pulang.

"Woah..." Saemi takjub sekaligus dibuat heran oleh penampakan kamar sang pimpinan. Selain rapi dan terawat, koleksi-koleksi boneka tetutama dari karakter beruang kuning berbaju merah memenuhi kamar Asta. Ia serasa masuk ke dunia si beruang kuning berbaju merah.

"Orang lain pasti akan berpikir kamar ini milik seorang gadis," ungkap Asta seraya menduduki bangku belajar yang jadi saksi bisu proses pembentukan dirinya hingga jadi seperti sekarang. Sementara Saemi menduduki tepi ranjang sang pimpinan.

"Tentunya," balas Saemi setuju. Ia saja sebagai perempuan kalah telak, tidak bisa serapi dan sebersih ini mengelola kamar. Apalagi sampai mengoleksi boneka sebanyak punya Asta. Kalaupun punya, boneka milik Saemi di rumah tidak lebih dari jemari satu tangan. Justru sang adiklah yang memiliki boneka lebih banyak, entah itu beli sendiri, dibelikan, atau pemberian pacar. Waduh, Saemi sebagai jomblo premium yang minim pengalaman asmara jadi tersinggung.

Dapat apa dari pengalaman kasmaran ala bocah SMA selain pil kekecewaan? Tidak ada. Malah ia jadi harus bertransformasi menjadi Saemi yang sekarang. Berlindung di balik polah-pola ajaibnya agar tak ada lagi pihak menjangkau hati mungilnya sampai batas waktu yang ia mau. Namun ... apakah sekarang masih berlaku untuk Asta?

Oke, kembali ke topik utama!

"Sejak bayi Saya sudah ditinggal Mama kerja di luar negeri. Jadi boneka-boneka ini bisa dibilang, sebagai teman tidur Saya selain Uti." Lebih jauh Asta menceritakan sedikit kisah hidupnya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak seterbuka ini dengan orang lain. Jika diingat lagi, mungkin terakhir ketika masih bersama wanita yang kini sudah jadi nyonya orang lain.

Saemi mengangguk, "Mamanya Pak Asta diplomat?" tanyanya penasaran.

"Bukan, Mama Saya dulunya itu TKW." pernyataan sang pimpinan seketika melebarkan bola mata Saemi.

"Tidak percaya?" Asta menyimpulkan demikian setelah menyaksikan ekspresi sang sekertaris.

Saemi mengangguk-angguk lugu bak anak anjing jenis poodle. Menggemaskan di mata Asta, mendorongnya ingin menguyel-uyel pipi bakpao sang sekertaris kalau tidak ingat tindakan gila di ruang makan.

"Sudah malam, nyamankan dirimu dan segera istirahat." Asta beranjak bangun, mengalihkan ruangan ini untuk dikuasi sang sekertaris selama dua malam.

Saemi ikut bangun, menemani Asta hingga ke pintu. "Selamat malam, Pak Asta. Selamat tidur dan semoga mimpi indah..." Pastinya tidak luput bagi Saemi mengucap salam pengantar.

"Iya," respon Asta meski singkat, tapi terasa lebih bernada dan halus ketimbang biasanya yang cenderung ketus acuh tak acuh.

Saemi menarik napas panjang, menghempas pelan mengusir sisa-sisa efek di ruang makan. Kini kedua tumitnya diayun mendekati meja belajar sang pimpinan. Rasa hangat bekas eksistensi Asta tertinggal, bikin ia cepat rindu.

"Gemesnya..."

Jari telunjuk Saemi mengusap-usap foto masa kecil sang pimpinan yang sedang memeluk boneka beruang kuning berbaju merah. Dahulu boneka itu tampak memeluk Asta, sekarang dengan postur berbeda bonekanya seperti menyusut.

Puas menyelami beberapa foto yang terpajang baik di meja belajar maupun nakas, Saemi pindahkan atensi pada koleksi boneka sang pimpinan. Karakter harimau teman si beruang kuning jadi minat sang puan. Ia sekedar mengusap-usap permukaan boneka yang lembut, tidak berani memindah ke pangkuan apalagi sampai dibawa tidur. Ia sadar diri tidak memiliki lagi takut merusak.

Ketika hendak menyudahi eksplorasi, pupilnya menangkap sesuatu yang terselip di antara jejeran buku pada kabinet dekat meja. Sekilas Saemi menerkanya selembar kertas dan ketika ditarik dari tempatnya, ternyata benar. Atau lebih tepat selembar foto.

"Siapa ini yang sama Pak Asta?" gumam Saemi meneliti wajah puan yang dipotret bersama sang pimpinan

"Kek foto prewed?" tebak sang puan gendut cukup lama menekuni dengan saksama.

Dalam foto itu Asta dan sang puan berambut panjang berdiri membelakangi pagar pembatas atap gedung. Mereka memakai pakaian bernuansa putih. Sang puan berbalut gaun putih panjang sementara Asta kemeja putih dengan celana kain berwarna cokelat sebagai bawahan. Tangan kedua insan itu saling bertaut. Sang puan menyandarkan kepala ke bahu lebar Asta, tersenyum menghadap kamera. Sedangkan Asta sedikit merendahkan kepala menengok ke arah sang puan lagi tersenyum. Bagian paling Saemi soroti adalah tangan lain sang puan menggenggam buket bunga mawar pink dan ... jemari tersemat cincin perak.

Bolehkan Saemi membenarkan praduganya? Bahwa Asta dan sang puan dalam foto menjalin hubungan serius dan akan menaiki jenjang berikutnya.

Saemi putuskan berhenti menerka-nerka Asta bersama sang puan cantik. Lekas ia taruh kembali lembaran foto tersebut ke tempat semula. Sang puan gendut merasa mengerdil bila terus memandangi foto mesra mereka yang ia yakini sebagai foto pranikah. Perbandingan-perbandingan mencuat di kepala, meramaikan isi otaknya bila diteruskan. Lebih baik menyetel drama favorit lalu mengenyam mimpi.

Jauh sebelum Saemi bergelut dengan terkaan, atau tepatnya sesaat setelah menutup pintu, Asta bergeming di anakan tangga yang gelap. Sang kepala kantor cabang sejenak merutuki aksi tidak warasnya di ruang makan. Ia tidak tahu entitas apa yang merasuki tubuhnya hingga beraksi demikian. Beruntung suasana cepat berubah berkat celetukan sang sekertaris yang bikin merinding. Kalau tidak ... sudahlah!

Asta melanjutkan pijakan menyusul sang nenek di kamar bawah. Ia sudah tak sabar tidur dalam kelonan sang wanita lansia sebagaimana saat ia kecil dulu.

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang