«10»

2.7K 143 8
                                    

"Siapa Asih?"

Empat pasang mata yang pernah jadi saksi hubungan Asta dan sang mantan kompak mendelik. Namun kemudian menghela napas lega begitu Asta menebar senyum bersama kekehen kecil. Menandakan hanya sebuah kelakar.

"Asih sekarang sudah bahagia, dan Aku ga ada masalah lagi." ungkap sang pembicara.

Mereka serempak mengangguk, meneruskan rangkaian acara kecil itu dengan pembahasan lain. Mengalir begitu saja sampai dirasa sudah waktunya untuk pulang- mengingat ada balita di sana.

"Jangan pacaran sama kerjaan terus! Mama pingin mantu dan cucu dari Kamu tahun ini," pesan sang mama sebelum memisahkan diri dengan sang anak sulung.

Asta tidak memiliki tanggapan selain anggukan serta senyuman. Menjanjikan sesuatu yang maya hanya akan membuat sang mama kecewa. Meski tanpa ia sadari dalam benak sempat terbesit bayang sang sekertaris yang menghabiskan sore bersamanya. Pimpinan kantor cabang itu pikir, keterbesitan tersebut hanyalah buah dari keterlibatan mereka sehari-hari di ruang kerja. Sungguhpun bertolak belakang dengan sang sekertaris yang merasa momen-momen seperti tadi sebagai sebuah keajaiban.

Kapan lagi ada sekertaris menghabiskan waktu di luar pekerjaan bersama sang pimpinan. Menemani sang pimpinan menjalankan hobi serta turut menikmati pemandangan sore yang sering terlewatkan.
Mungkin hal itu hanya akan terjadi di drama-drama atau novel-novel romansa.

Bicara hobi, Saemi jadi malu tak memiliki sebuah hobi yang benar-benar ia tekuni seperti sang pimpinan. Ia juga merasa iri sang pimpinan yang punya tanggung jawab lebih besar dibanding dia-menyoal pekerjaan-masih dapat mengembangkan diri dengan sebuah kegemaran. Sedang dirinya, baru coba menggambar pada aplikasi saja langsung menyerah dipercobaan kedua. Selama ini yang ia tekuni selain maraton drama yaitu mencari cuan tambahan. Apakah itu termasuk hobi?

Capai sendiri memikirkan sang pimpinan dengan segala kelebihan yang dipunya, Saemi terlelap juga. Suara dengkuran kerasnya mengisi ruangan dan mungkin saja bocor terdengar sampai ke depan pintu. Masa bodoh, sang puan kantuk berat dan letih akut setelah diajak olahraga secara tidak langsung oleh sang pimpinan.

Sampai ketika mentari terbit Saemi kelimpungan mendapat panggilan telepon. Sang pimpinan mengabari bahwa ia telah menunggu di depan indekos. Kesetanan Saemi meninggalkan kasur, mengebut mandi dan menggaet pakaian yang menggantung di belakang pintu. Jangan menyuruh Saemi bersolek, tak ada waktu untuk itu. Puan gendut ini sampai melompati dua anak tangga sekaligus agar segera tiba. Dan begitu tiba di depan sang pimpinan yang tengah berdiri di samping mobil...

"Kenapa buru-buru sekali?" perkataan demikian yang Saemi dapat.

Saemi akan meledak, tapi ia atur dulu sistem pernapasannya yang semrawut. Baru ketika oragan pernapasan serta jantungnya berfungsi normal, ia membidik sang pimpinan dengan tatapan tajam.

"Saya ga akan buru-buru kalo Pak Asta ga serajin ini! Kemarin bilangnya jam tujuh, sekarang-" omelan Saemi kontan terputus manakala sang pimpinan menunjukkan jam pada layar kunci gawainya.

"Baru juga lewat 30 menit," tidak afdal kalau sang sekertaris tidak mengeyel.

"Dan orang-orang sudah memadati stadion selama waktu tersebut," timpal Asta bermuatan sindiran.

"Maaf," lirih Saemi menyesal hampir memaki-maki sang pimpinan. Dia salah lawan kalau ingin bertanding soal ketepatan waktu.

Asta menerima penyesalan sang sekertaris menggunakan anggukan, "Tidak usah terburu-buru seperti tadi, apalagi sampai melompati dua anak tangga. Itu bahaya," serta imbuhan mengandung nasihat. Saemi serasa sedang diperhatikan oleh sang kekasih. Apalagi sekelebat ia lihat tatapan sang pimpinan melembut. Membuatnya hampir lupa berpijak dan membumbung ke angkasa.

Seumpama anak kecil yang diperingatkan oleh orang tua, Saemi mengangguk patuh. Jika diingat-ingat lagi, sang pimpinan tadi hanya mengabari kedatangan tanpa perintah harus segera keluar. Dia saja yang terlalu gugup sampai mengabaikan keselamatnya sendiri.

"Ayo,"

Sindiran yang Asta lontarkan baru lalu bukanlah sekedar kata belaka. Begitu tiba area sekitar stadion kota telah ramai berisikan macam-macam orang dengan beragam kepentingan. Sang pimpinan dan sang sekertaris lantas gegas keluar dari mobil lalu membaur dengan keramaian. Asta mengarahkan lensa kamera pada sekumpulan orang yang mengantre kudapan khas kota. Sementara Saemi selangkah dibelakangnya merekam.

Menit bertambah menit pemanfaat fasilitas kota makin berdatangan. Puncak keramaian baru terurai begitu sinar mentari terasa kian menyengat. Sebagian dari mereka yang merasa cukup, lantas bergegas pulang. Sebagian lagi masih tinggal-entah itu duduk santai atau menyantap sarapan di lapak-lapak yang masih tersisa. Sedangkan pasangan pimpinan-sekertaris pemburu objek foto masuk bagian penyantap sarapan. Mereka menjatuhkan pilihan pada menu bubur ayam sesuai keinginan Saemi.

"Mau beli jajanan itu?" Asta menawari sambil mengarahkan pandangan ke jejeran penjual penganan jalanan. Mereka baru saja rampung sarapan.

Saemi mengangguk antusias, "Mau semuanya ..." sahut sang puan gendut kepalang riang. Senyum khasnya mengembang, menampakkan deretan gigi yang berbaris rapi meski ada lubang di geraham kiri-tampak jika mulutnya sedikit menganga. Dia tidak tahu bahwa tingkahnya ini membuat sang pimpinan menahan gemas. Sampai Asta mesti membuang pandangan ke langit guna menetralisasi ekspresi.

"Pak Asta ga mau?" Saemi mengajukan bungkusan berisi cimol ke arah sang pimpinan yang langsung ditanggapi gelengan.

"Kamu habiskan saja," Saemi mematuhi serta tak ketinggalan mengucap terima kasih kesekian kalinya. Mereka tenggelam dalam keheningan selama beberapa waktu, sampai Saemi kembali bicara.

"Saya iri lihat Pak Asta bisa nekunin hobi," celetuk si puan gendut.

"Kamu tidak memangnya?" Asta memberi atensi pada sang sekertaris yang sibuk mengunyah jajanan berminyak serta mengandung banyak pewarna sintetis.

Saemi menggeleng, "Minat sendiri saja Saya ga tau." aku sang sekertaris. "Gemar ngumpulin pundi-pundi cuan itu termasuk hobi bukan, sih, Pak?" pandangan Saemi mengarah ke sang pimpinan.

"Lebih kepada sebuah kebutuhan dan kewajiban," Asta memberi pandangannya.

Tanpa perlu mendebat Saemi menyetujui pandangan sang pimpinan.

"Kemarin Kamu sempat berminat menggambar," celetuk Asta begitu sang sekertaris tak terdengar suaranya, hanya terus sibuk mengunyah.

"Itu minat Saya dari kecil, tapi banyak alesan buat nekunin." selesai mengaku Saemi beranjak membuang bungkus jajanannya lalu kembali di sanding sang pimpinan. Meneguk air minum yang Asta sediakan dari rumah.

"Kamu bisa meluangkan waktu untuk menekuninya mulai sekarang," sebagai manusia yang lebih lama mengenyam hidup Asta coba beri saran.

"Kasih Saya cara buat ga bikin alesan, Pak..." Saemi menerima dengan baik saran itu, tapi benaknya tak berhenti membuat tumpukan sangkal.

"Lakukan, hanya itu caranya." imbuh sang pimpinan lebih lanjut. Saemi mengangguk-angguk, semudah itu dan ia hanya senantiasa menunda.

"Kalo cara buat naklukin hati gimana, Pak Asta?" sekertaris gendut yang satu ini memang pandai mencolong kesempatan, pun memutar haluan pembicaraan.

Asta kontan mendengus, paling malas bila sang sekertaris dalam mode seperti ini. Kadang kala kalau ia tak siap, jantungnya akan berdetak tak aman. Dan sulit untuk mencari penawarnya.

"Kata orang, kriteria cewek idaman versi cowok itu muda dan cantik. Kalo Pak Asta dapet Saya ... Saya muda, tapi ga cantik. Gimana, dong?"

Sudah Asta duga sang sekertaris akan semakin melantur ke mana-mana.

"Yang mau sama kamu itu siapa?" sahutannya terdengar ketus, tapi sama sekali tak berefek lebih pada sang sekertaris.

"Pak Asta, kan?"

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang