«14»

2.2K 111 13
                                    

"Kenapa masih di sini?"

Kening Asta mengeriput melihat kelakuan sang sekertaris yang setia berdiri di depan mejanya usai memberi laporan. Si puan gendut - yang tempo hari mengatakan cinta dengan entengnya itu - berdiri membelakangkan tangan sembari memiringkan kepala ke kanan ke kiri bergantian lengkap dengan senyuman khas. Asta yang tak ingin menangapi diawal jadi terganggu dengan tingkah ajaib si jomblo premium.

"Saya ga jadi pulang, Pak." lapornya jelas.

Sang pimpinan sempat menaikkan mata, berpikir sebentar ke mana arah bicara sang sekertaris. Kemudian teringat, "Lalu?" terusnya.

Kepala Saemi stop bergerak, ia mengambil sikap sempurna bak jadi peserta upacara. "Saya akan meneruskan pelaksanaan konsekuensi agar cepat selesai, sekian." dengan lantang Saemi berucap. Tak perlu khawatir lantaran rekan-rekan lain telah mengosongkan ruangan hingga tersisa mereka berdua.

Menghempas napas, Asta katakan "Tapi Saya sudah merencanakan pulang minggu ini." pada sang sekertaris yang setia dengan sikap bak seorang komandan upacara.

"Gapapa, Pak. Saya ikut!" spontan Saemi putuskan hal itu. Mengentakkan kepala Asta yang semula anteng dalam posisi tegak menghadap sang sekertaris.

"Saya pingin konsekuensinya cepat selesai, Pak. Biar pekan akhir bulan ini Saya bisa liburan di rumah dengan tenang." jelas Saemi bukan bermaksud aneh-aneh dengan keputusan spontan tadi. Jauh ketika ia mengabari sang ayah di kampung, ia sudah memikirkan hal tersebut. Tinggal menunggu momen tepat untuk menyampaikan dan ternyata pas malam ini.

"Saya pulang karena ada acara di rumah nenek," sang pimpinan tidak mengada-ngada dalam hal ini. Tempo hari sang nenek memang menghubungi serta menyuruhnya pulang untuk ikut dalam acara keluarga. Entah akan segempar apa bila ia pulang sambil membawa seorang gadis yang berstatus jomblo premiun seperti Saemi. Bagaimana bila mereka ramai-ramai memaksanya menikahi Saemi?

Astaga! Kenapa pikiran sehat Asta bisa sampai sana?

Sang pimpinan segera menjernihkan pikiran, memusatkan perhatian pada situasi saat ini.

"Tidak masalah, Pak. Saya bisa bantu-bantu nanti. Itung-itung pencitraan biar bisa dilist sebagai calon anggota keluarga baru." makin ke sini sang sekertari makin berani bicara frontal. Melupakan bagaimana ia mencoba agar tak terjerumus lebih jauh melibatkan perasaan. Atau ini memang semata keisengan Saemi untuk menantang diri saja. Entahlah, tidak ada yang tahu.

"Keluarga Saya tidak buka recruitment," timpal Asta merasa giliran sang sekertaris yang mengada-ada.

"Makanya Saya daftar biar lowongannya dibuka, Pak. Mana tau nanti banyak yang daftar, kan keluarga Pak Asta jadi punya banyak calon anggota baru yang bisa diangkat." cerocos Saemi kian melantur. Asta menyangka sang sekertaris bicara seperti ini akibat tontonan manuver-manuver politik para calon pejabat yang sibuk membranding diri untuk pemilihan umum mendatang. Atau bisa juga akibat pembukaan CPNS yang tinggal menghitung hari.

"Sudah larut, Kamu pulang saja sana!" Asta enggan melanjuti lebih jauh, atau mungkin takut terjebak pada permainan sang sekertaris. Cukup kemarin ia dibuat jumpalitan dengan pernyataan cinta sang sekertaris yang dibalut keisengan.

"Terus untuk acara minggu ini gimana, Pak? Saya butuh kejelasan dulu," tuntut Saemi pantang pulang sebelum perkara beres.

"Nanti Saya kabari,"

"Kapan?" tuntutan Saemi melonjak.

"Secepatnya,"

"Secepatnya itu kapan, Pak? Mesti jelas," memang bernyali besar puan gendut yang satu ini. Bicara pada sang pimpinan seperti bicara dengan teman sebaya.

Asta menghela napas kasar, "Kamu getol sekali seperti ini, sebenarnya ada apa?"

"Biar cepat selesai juga sekalian pencitraan, Pak." jawaban Saemi konsisten sehingga menyulitkan Asta untuk menilai kebenarannya. Namun di luar semua itu, ada perasaan mengganjal ketika sang sekertaris terus mengulang kata 'cepat selesai'. Apakah demikian sama artinya dengan si puan gendut ingin segera mengakhiri kebersamaan eksrta mereka? Hati mungil Asta serasa dicubit dengar pernyataan tersebut diulang serta diberi penekanan. Ada perasaan semacam tidak rela jika semuanya berakhir begitu cepat. Muncul kekhawatiran dari sudut terdalam di hati si kembaran ketujuh Chef Juno kalau-kalau sang puan ... berubah lalu memasang tembok-tembok tinggi yang tak bisa ia jangkau.

"Hanya itu?" Asta butuh kepastian untuk menenangkan sudut terdalam di hatinya yang mendadak gelisah.

Saemi mengangguk mantap, "Kalau semuanya sudah selesai, Saya kan jadi bisa kembali ke keadaan semula."

Sudut terdalam di hati Asta makin risau, "Keadaan yang seperti apa?" kini giliran sang pimpinan yang getol menuntut.

"Seperti akhir pekan yang penuh dengan agenda pribadi." lancar saja Saemi mengungkap.

"Agenda pribadi?" Asta tertarik ingin tahu lebih jauh.

"Sebelum tantangan dimulai, Saya punya agenda rutin dengan seseorang. Gara-gara Saya kalah, terpaksa agendanya berubah." tidak ada yang tahu apa maksud sang sekertaris berujar demikian. Terkesan sedang memprovokasi sang pimpinan.

Dan benar, si kembaran ketujuh Chef Juno langsung teringat dengan pria yang pernah ia lihat bersama sang sekertaris kala itu. Perasaan khawatir kini bertransformasi menjadi perasaan kurang senang, alias CEMBURU.

"Kabari Saya secepatnya, ya, Pak. Saya mau pulang, udah malem." sang puan - yang tadinya pantang pulang meski sudah diusir halus tersebut - nampaknya sengaja mengerjai sang pimpinan. Lekas beranjak setelah berhasil mempengaruhi suasana batin si kembaran ketujuh Chef Juno yang dipancarkan lewat raut muramnya.

"Selamat malam Pak Asta, semoga mimpi indah!" lontar Saemi setelah berbenah. Ia menyembulkan kepala di antara celah pintu yang ia buka untuk memamiti sang pimpinan sebelum pulang.

Asta dibuat geming tak bergutik. Bergelut dengan pikirannya yang mencabang serta perasaan dirundung gundah. Posisinya tak berubah, pandanganya terpaku ke tempat di mana sang puan tadi berdiri. Meski sang sekertaris telah berlalu beberapa menit kemudian, tapi bayang-bayangnya tinggal di mata si kembaran ketujuh Chef Juno.

"Uti, nanti Asta pulangnya ngajak temen." demikian putus Asta saat menghubungi sang nenek. Dia mesti bergerak cepat sebelum didahului oleh si pria entah siapa gerangan itu. Biarlah urusan membuat geger dipertemuan keluarga nanti jadi urusan nanti. Ia tadi juga tak menjelaskan lebih jauh siapakah yang dimaksud teman kepada sang nenek. Membuat sang nenek di seberang sana bingung, lantaran sepengetahuannya teman-teman terdekat sang cucu telah memiliki kehidupan bersama keluarga masing-masing. Tidak mungkin ikut serta, bukan?

"Bodoh! Bodoh! Bodoh!"

Sementara sang pimpinan mengumpati diri sendiri, sang sekertaris yang tengah mengendarai motor terkikik-kikik sendiri. Sampai-sampai pas berhenti di lampu merah, kikikannya menarik perhatian pengendara motor di sebelah.

"Ayah, ada orang gila baru!" seru seorang bocah ananda dari si pengendara motor di sebelah.

Saemi yang mendengar seruan bermuatan ejekan itu tak terima. Lantas balas menengok dengan delikan tajam super mematikan yang membuat bocah tersebut ketakutan.

"Ayah ... orang gilanya marah..." adu si bocah pada sang ayah yang fokus menunggu nyala lampu hijau.

"Eh, ga boleh gitu!" tegur sang ayah dan si bocah malah menangis.

Saemi yang menyaksikan si bocah menangis lantas melakukan selebrasi, memeleti si bocah salah pergaulan biar tambah kejer.

"Maafin anak Saya, ya, Bu." bilang si ayah sambil lalu lantaran lampu telah hijau dan suara klakson di belakang menyerbu.

"Ba bu ba bu! Aku masih jomblo, ya, walopun bentar lagi bakal dikenalin ke keluarga Pak Asta! Sembarangan aja kalo ngomong!" sembur Saemi hanya sampai didengar angin.

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang