«7»

2.8K 132 2
                                    

Saemi penasaran akut, sedang Asta tak mau memberi barang satu hint saja. Menggangu pikiran sang sekertaris, sampai membayangkan mendapat konsekuensi menjadi kekasih Asta dalam seminggu. Berlebihan memang, tapi begitulah otak ngawur Saemi yang sering diracuni drama-drama berbumbu aksi.

Pernah sekali sang sekertaris meminta satu hint agar pikirannya tenang, tapi malah dia diberi ayam kecap. Ia tidak lapar, ia butuh jawaban- meski menerima lauk itu suatu keberkahan untuk seorang anak indekos. Menanti hari berganti itu lama bagi para penunggu seperti Saemi.

Jumat yang dijanjikan tiba, akan tetapi Asta tak berada di kantor hingga sore lantaran mendapat dinas di kota sebelah. Tahu begitu langsung saja disampaikan hari itu juga. Kadung Saemi menanti-nanti.

Gawai Saemi menunjukkan panggilan masuk dari sang atasan. Ia enggan mengangkat, tapi ini termasuk kewajibannya sedia setiap saat ketika dihubungi sang pimpinan.

"Kamu masih di kantor?" buka Asta tanpa salam basa-basi.

"Masih, Pak Asta." acuh tak acuh Saemi membalas, bibirnya bahkan tampak minim pergerakan.

"Ya sudah," begitu saja dan panggilan ditutup.

Ya sudah? Saemi memelototi layar gawai, tidak percaya hanya ini yang ia dapat dari penantiannya.

"Sok-sokan ngasih konsekuensi, huh!" lontar Saemi segera melupakan omong kosong sang pimpinan. Ia membereskan kubikelnya, bersiap pulang menyusul rekan lain yang mungkin sudah tiba di rumah. Tidak habis pikir kenapa ia mesti tinggal menunggu si kembaran ketujuh Chef Juno itu. Kenapa pula ia sampai berkhayal menjadi kekasih dari sang pimpinan. Bikin malu saja!

"Mau pulang?"

"ASTAGA!"

Saemi menyangga tubuh gendutnya ke kursi, hampir saja ia terjengkang lantaran kehadiran Asta yang tiba-tiba. Napasnya sempat tercekat kaget dan jantungnya seolah anjlok ke perut.

"Pak Asta jangan kek hantu gitu, dong, Pak! Kalo Saya serangan jantung gimana? Saya ga mau mati muda, Pak. Apalagi masih jomblo begini," omel Saemi laksana suara mercon tahun baru.

"Tapi tidak, kan?" gampang sekali balasan dari sang pimpinan, membuat Saemi hampir lupa pria itu atasannya. Kalau tidak ingat, sudah ia lempar kursi yang ia pakai bertumpu ini ke muka Asta.

Saemi meredakan efek kaget yang tidak main-main tadi, menetralkan ekspresi serta suasana batinnya yang sempat ikut tergoncang kekagetan.

"Pak Asta kenapa ke sini?" ucapan Saemi terdengar sinis, tapi Asta sama sekali tidak terpengaruh.

"Apalagi menurutmu kalau bukan soal konsekuensi, hem?"

"Lewat telpon tadi kan bisa, Pak."

"Suka-suka Saya,"

Ingatkan lagi Saemi bila lawan bicara di depannya adalah sang atasan. Mungkin gedung ini akan rata kalau sampai lupa.

"Sabtu sore dan minggu pagi Saya butuh Kamu untuk bantu Saya," inti dari kedatangan Asta yang bikin syok sang sekertaris disampaikan.

Bibir bawah Saemi sedikit maju, ia mencium bau-bau perbudakan di sini. "Bantu apa?"

"Nanti Kamu akan tahu sendiri," sengaja Asta ingin menguji kesabaran Saemi sejauh mana. "Menyesuaikan perjanjian, Saya butuh Kamu selama tujuh pekan." sebelum Saemi mengeraskan protes, Asta pun menambahkan, "Hanya sabtu dan minggu, Saemi. Tidak setiap hari,"

"Tapi setiap hari Saya ketemu Pak Asta terus," tetap Saemi bersuara menyampaikan keberatan.

"Bukannya Kamu suka kalau ketemu Saya terus?"

Saemi mendecih mendengar penuturan sarat akan kebanggaan atas diri sendiri dari sang atasan. "Pekan pertama Saya ga bisa, Pak. Saya harus pulang," tutur sang sekertaris memberi alasan jelas.

"Oh, begitu ..." timpal Asta bernada.

Saemi tidak ingin menanggapi lebih, takut sang atasan terpental menembus portal dunia lain. Ia menyampirkan tas ke bahu seraya menunduk berpamitan.

"Tunggu dulu," Asta meraih tas Saemi dan menggeretnya mundur. Saemi hampir oleng dan jatuh bila keseimbangannya buruk.

"Ini," Saemi yang hampir protes langsung dibungkam oleh kantung plastik pemberian Asta. Dari label yang tertera, Saemi bisa pastikan itu buah tangan khas kota sebelah.

Saemi menerima dengan ragu, tapi sorot mata Asta menghantarkan kepastian kalau buah tangan tersebut memang untuknya.

"Sudah petang, sana pulang!" titah Asta sambil menggerakkan kepala memberi gestur menunjuk arah pintu.

Senyum khas Saemi terbit, ia girang bukan kepalang sampai ingin menjambak rambut si kembaran ketujuh Chef Juno. Si puan gendut untung sadar diri tidak ingin aliran cuannya diputus. Dia membungkuk 45° sambil bersedekap, berjalan keluar tetap dengan posisi seperti itu serta mempertahankan tubuhnya tidak membelakangi sang pimpinan hingga hilang di balik pintu.

Asta tidak bisa kalau tidak tertawa, tingkah ajaib Saemi benar-benar menghibur. Merilekskan kepenatan setelah seharian dinas di kota sebelah dengan beberapa kegiatan.

"Saemi ... Saemi ... lucu," gumamnya sambil geleng-geleng serta menatap bekas kepergian sang sekertaris.

Asta menyambangi ruang tahtanya, mengambil beberapa barang kemudian bergegas pulang. Ia rindu boneka beruang kuning berbaju merah dan ingin segera mendekapnya tidur.

Saemi segera mengabari Dian begitu tiba di kamar, merundingkan perubahan jadwal temu yang akhirnya mereka sepakati sabtu pagi. Dan sang sekertaris turut merombak jadwal cuci rayanya jadi jumat malam sementara ia menjalani konsekuensi. Ia tidak ingin ditandai sebagai seorang pengecut kalau menghindar begitu saja dari tantangan yang ia sanggupi sendiri.

Saemi melempar gawai ke kasur usai menghubungi Dian, bergegas ke kamar mandi menggelar hari cuci raya. Pakaian kotor yang ditumpuk selama tiga hari ia cuci manual dengan gaya khasnya, cuci kilat. Rendam, injak-injak, lalu bilas dan siap jemur. Selama pelaksanaan cuci raya Saemi terus membayang-bayangkan apa yang akan ia dan sang pimpinan lakukan. Otak ngawurnya mulai mengarang drama.

"Saemi, jadi pacar pura-pura Saya malam ini," Saemi mengubah suaranya agar terdengar lebih berat seperti seorang pria.

"Apa?" dalam sekejap Saemi merubah ekspresi seakan terkejut.

"Saya butuh bantuan Kamu untuk menolak rencana perjodohan dari orang tua Saya," kembali suara Saemi memberat, berakting sebagaimana sang pimpinan berlaku.

Saemi menunduk, menggigit ujung telunjuk seraya memikirkan keputusan. Kemudian mendongak, menatap dinding kamar mandi seolah tepat menghadap wajah Asta.

"Saya mau, tapi bayaran harus sesuai, Pak." ujarnya pada dinding kosong. Kedua kakinya masih berpijak pada bak berisi rendaman pakaian kotor.

"Dua kali gajimu," balas bayangan hasil imajiner Saemi.

"Pak Asta terbaik!" kontan Saemi memeluk tubuhnya sendiri seolah tengah mendekap tubuh kurus sang pimpinan.

"Ih ... jadi mules bayanginnya," Saemi menuruni bak, memindahkan keluar lalu ia memenuhi panggilan alam usai beradu akting dengan hasil imajinasinya.

Seantusias itu memang, hingga ia kesulitan memejam mata meski lelah seharian bekerja membelenggu fisik. Drama-drama terus tercipta tiap kali pikirannya lengah dari drama Korea yang sedang ia tonton. Membayangkan bagaimana mereka mengarungi hari di luar pekerjaan membuat jantungnya berdegup.

Selama ini ia hanya berani mengagumi sang pimpinan tanpa berani melesakkan dalam angan- seperti yang ia berlakukan pada sang mas naga. Sang mas naga mungkin hanya bisa ia temui sekali seumur hidup. Namun dengan sang atasan, hampir seluruh hari dalam seminggu mereka bertemu langsung serta berinteraksi. Betapa kacau hari Saemi bila terus menghidupkan bayang Asta dalam dunia khayalinya.

Saemi pun menyongsong mimpi setelah menghabiskan empat episode drama. Dengkuran keras serta suara dari drama yang ia putar mengisi kesunyian malam. Sang sekertaris benar-benar lelap, begitupun pria pemeluk boneka beruang kuning berbaju merah di seberang sana.

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang