«27»

2.1K 134 27
                                    

Malam ini udara terasa dingin usai seharian hujan badai mendera wilayah kota dan sekitar. Meski demikian tak menyurutkan semangat Saemi yang diajak makan di luar oleh Dian. Mahasiswa semester tua tersebut ingin membahas kelanjutan pengerjaan tugas akhir kuliahnya langsung secara tatap muka dengan Saemi. Kedai mi pedas kenamaan jadi titik sua mereka yang berangkat dari kediaman masing-masing. Saemi sungkan bila harus dijemput apalagi tempat tinggal mereka beda arah.

"Kamu cari tempat duduk aja, Saem. Biar Aku yang pesen," imbau Dian membagi peran.

Saemi serta merta setuju, lantas ia menyusuri tempat yang belum bertuan. Faktor hujan, tanggal muda, dan suasana malam membuat kedai ini ramai pengunjung. Antrean mengular baik yang makan di tempat maupun dibungkus pulang. Membuat Saemi mesti melangkah jauh ke dalam kedai. Beruntung ada satu meja kosong belum bertuan. Puan gendut segera ke sana dan mengabari posisi duduknya pada Dian agar tak bingung mencari.

Saemi memainkan gawai selama Dian antre memesan. Membaca obrolan penggosip kantor yang tergabung dalam pesan grub. Topik terpanas yang mereka bicarakan masih seputar berita kencan sang atasan. Semenjak ditugaskan memimpin kantor cabang, sekalipun kehidupan pribadi Asta tak pernah diumbar. Mereka hanya tahu sebatas status sang pimpinan masih lajang. Pantas bila beberapa karyawan mendambakan sosok Asta untuk memimpin kehidupan rumah tangga mereka.

"Saemi," sebuah suara mengudara memanggil Saemi, kontan mendongakkan kepala sang puan yang tengah menyimak obrolan pesan grub.

"Iya, Mas-" Demi apapun pupil Saemi sontak membola laksana purnama. Fokus terpaku pada gawai hingga membuat sang puan gendut tidak menyadari sang empu suara bukanlah Dian. Melainkan, sosok yang tengah dibicarakan oleh penggosip kantor.

"Pak Asta, selamat malam..." sapa Saemi menghilangkan aksi keterkejutan.

"Dengan siapa Kamu di sini?" alih-alih merespon sapaan yang sempat dia permasalahkan tempo hari, Asta kini lebih penasaran gerangan yang membuat janji sua dengan puan sang penguasa hati.

"Saem!" panggilan Dian yang selesai melakukan pemesanan praktis saja meraup atensi Asta dan Saemi sendiri.

"Iya, Mas." Balas Saemi seketika memuramkan wajah sang pimpinan.

Mas katanya? Batin Asta tak terima pemuda berambut gondrong tersebut memanggil begitu pada sang puan penguasa hati.

Dian menautkan alis, menanyakan sosok pria dewasa yang terlihat ada pembicaraan tadi dengan sang adik tingkat. Saemi dapat membaca ekspresi Dian, lantas ia perkenalkan siapa Asta.

"Kenalin, Beliau Pak Asta. Atasanku di kantor, Mas. Dan ini kating yang pernah Saya ceritakan waktu itu, Pak." Sampai Saemi sambil menunjuk Asta dengan gestur yang sopan.

Dian mengangguk paham, ia pun mengulurkan tangan hendak berkenalan. Namun bukan balas menjabat uluran tersebut, Asta malah mengambil duduk di sisi Saemi. Menggeser tempat sang puan gendut yang semula di dekat jalur sela-sela, jadi menjorok memepet dinding.

"Saya Dian, Pak." Ucap Dian sambil tersenyum kecut diabaikan eksistensinya.

"Saya sudah tahu," saut Asta dengan nada yang jelas-jelas tak ramah di telinga. Sangat mengesankan ketidaksenangan pada mahasiswa semester tua tersebut.

Saemi mengelus pelipisnya yang tidak terasa gatal, menampilkan senyuman agar sang kakak tingkat sedia memaklumi tingkah Asta. Sepanjang menemani sang pimpinan sebagai sekertaris, baru kali ini ia melihat Asta menunjukkan aura permusuhan terhadap orang lain. Sang pimpinan selama ini di matanya adalah seorang berkarakter dan berkarisma - asal tidak dalam mode kembaran ketujuh Chef Juno. Namun malam ini ... Saemi tak berani menyimpulkan.

"Pak Asta sendirian ke sini? Atau-"

"Teman, dan kebetulan dia owner kedai ini." Entah makna tersirat apa yang ingin Asta sampaikan, tapi terkesan seperti- jemawa memamerkan teman kuliahnya yang kini sukses berbisnis kuliner mi.

Dian dan Saemi hanya mampu mengangguki sambil melempar senyum penuh arti.

"Terus, kok Pak Asta masih di sini?" lontaran Saemi berhasil menohok Asta, tapi pria 39 tahun tersebut tetap tenang.

"Kamu mengusir Saya?" timpal balik Asta bikin Saemi mati kutu.

Saemi menyengir sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan dada. "Engga kok, Pak. Silakan bergabung," ucapnya.

Meja yang dihuni tiga manusia tersebut tampak sunyi di tengah kepadatan pengunjung kedai. Percakapan mereka sangat minim dan lekas habis. Bahkan rencana Dian untuk membahas tugas akhir mesti diurungkan lantaran kondisi sedang tak kondusif.

"Kami makan dulu, ya, Pak..." izin Saemi ketika pesanan mereka datang. Asta mengangguki, tapi sorot netranya tak mau melepaskan Dian dari pandangan. Seakan mahasiswa semester tua tersebut masuk target DPO (daftar pencarian orang) pihak kepolisian.

Asta tidak melakukan atau mengucapkan apapun, hanya diam mengawasi Dian sambil sesekali mengamati Saemi makan. Tidak peduli tanggapan orang yang menatap aneh ke arah mereka, atau anggapan dari kedua manusia yang melakukan janji sua ini.

"Saem, Aku balik dulu, ya. Kasian Mama ga ada yang jagain di rumah sakit." Pamit Dian tahu diri eksistensinya diharapkan hilang oleh seseorang yang terus mengawasinya bak DPO.

"Tapi artikelmu, Mas?"

"Kita bahas besok di Zoom, ya."

Saemi sungguh merasa tidak enak hati pada Dian, tapi juga tidak dapat berbuat banyak mengatasi tingkah aneh Asta. Terpaksa ia relakan sumber pendapatan tambahannya pulang tanpa pembahasan apa-apa.

Asta tersenyum puas penuh kemenangan, akhirnya pandangan menyakiti mata telah sirna. Tersisa sang puan gendut penguasa hati yang dapat ia kuasai malam ini.

"Kamu sudah kenyang?" tanya Asta tanpa berdosa telah mengusir orang, padahal semestinya ia yang tahu diri tidak merusak acara orang lain. Peduli setan!

Saemi hendak menjawab tapi kalah cepat dengan tarikan Asta untuk bangkit dari tempat tersebut.

"Kita mau ke mana, Pak? Saya bawa motor, loh."

Asta menulikan perkataan Saemi, terus membawa pergi sang puan dan menyuruhnya memasuki mobil.

"Motor Saya-"

"Saya akan minta teman Saya untuk mengamankannya. Kamu masuk, sana!" titah Asta tak mau dibantah.

"Tapi besok, Saya kerjanya-"

"Masuk sendiri atau Saya gendong, Saemi?"

Saemi tak berkutik, ancaman Asta sukses membuatnya patuh. Selepas memastikan sang puan masuk, Asta pun menyusul ke dalam. Mengemudikan mobilnya keluar area parkir kedai.

"Pak Asta sebenernya mau bawa Saya ke mana? Jangan ngadi-ngadi, ya, Pak! Meskipun gendut dan jomblo begini, Saya punya harga diri." Saemi menyilang tangan di dada seraya menjauhkan diri ke pintu, seolah akan jadi korban tindak kriminal.

Asta terkekeh singkat oleh sikap berlebihan sang sekertaris. Dia memang membawa paksa Saemi pergi dari kedai, tapi bukan berarti ia akan melakukan tindak kejahatan pada puan penguasa hatinya.

"Kita cek in saja bagaimana?" gurau Asta.

"Astaga, Pak Asta! Saya perempuan baik-baik, ya, Pak!" amuk Saemi sambil melotot tajam.

Tawa Asta otomatis saja meledak tak terbendung. Gundah gulana serta kecemburuannya seharian ini kontan lenyap.

"Iya, Saya tahu. Makanya Saya ingin Kamu jadi rekan hidup Saya, Saemi."

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang