«28»

2.1K 123 11
                                    

Rekan hidup?

Ingin hati merasa senang. Namun mengingat kabar kencan sang pimpinan, kesenangan itu seketika sirna. Seolah apa yang keluar dari mulut sang kembaran ketujuh Chef Juno, laksana ajakan teman mencari makan malam. Lagi pula orang mana telah berkencan, tapi malah mengajak orang lain hidup bersama? Saemi masih berotak untuk menjadi suku cadang atau ban serep seorang pria.

Lewati, hanya itu yang Saemi lakukan seperti kapan hari Asta mengatakan hal serupa.

"Kita mau ke mana, Pak?" kembali Saemi tanyakan tujuan mereka setelah hanya dijawab dengan gurauan saja.

"Kamu maunya ke mana?" Asta masih ingin bermain-main rupanya.

"Ih, Pak Asta yang nyulik Saya, malah Pak Asta yang nanya. Gimana, sih?!" Saemi habis kesabaran, lantas ia gas suaranya. Peduli setan meninggikan suara di hadapan siapa saat ini.

Keluk bibir yang dulu - mungkin hingga kini - Saemi puja mengembang sempurna. Kembaran ketujuh Chef Juno tersenyum tanpa beban bila berhasil memancing emosi sang puan gendut. Ada kebahagian tersendiri kala Saemi melotot atau mengomel seperti itu. Seperti memenangkan undian mobil yang biasa digelar perusahaan setiap tahunnya.

Saemi merengut sebal, meski di dalam sana organ pemompa darahnya tengah meletup-letup hebat. Dipungkiri atau tidak, senyuman penuh milik sang pimpinan adalah satu momen yang amat ia tunggu penerbitannya. Bukan senyum yang hanya dibentang untuk kepantasan hidup bersosial. Namun senyuman sungguhan yang terbitnya atas kehendak hati.

Kembali, Saemi teringat status kencan sang pimpinan dan permintaan Winarti. Ia benci harus ada konflik batin begini. Sang puan gendut ingin memutar waktu agar kembali pada masa-masa di mana ia bebas mengagumi Asta tanpa beban. Seperti ia mengagumi Mas Naganya yang jauh di sana.

"Wedangan di sini sangat terkenal, pas untuk menemani malam setelah hujan begini." Tutur Asta begitu memarkirkan mobil ke tepian jalan. Menjawab tuntas keingintahuan Saemi akan tujuan menculiknya.

Saemi bergeming enggan menyahuti, mengikuti sang pimpinan keluar dari mobil.

"Awas!" Asta menarik tangan Saemi ketika ada motor yang hampir menyerempet sebelah badan sang puan gendut.

Syok sedikit, tapi sangat berpengaruh pada kestabilan detak jantung sang puan gendut. Ia belum terbiasa kontak fisik langsung dengan sang pimpinan pada era - ia menyukai Asta lebih dari sekedar kagum.

"Perhatikan sekitar, tadi itu bahaya baik itu untuk Kamu atau pengendara tadi." Nasihat Asta menggunakan suara yang bikin Saemi makin ingin memutar waktu.

Puan gendut kehilangan suara. Usai mendapat pesan melalui tutur halus, kini ia dibuat tambah mereog ulah tangan sang pimpinan. Gerak reflek menjauhkan Saemi dari bahaya, malah lancang menggenggam tangan Saemi dan menggandengnya berjalan seiring.

Kenapa romantisnya mesti sekarang, sih? Teriak sang puan gendut tidak terima dalam ruang sepi di batinnya. Ingin ia atur waktu agar semua berjalan tepat sesuai momentum.

Sibuk menyalahkan momen yang tak tepat waktu, Saemi sampai tak sadar kini minuman yang Asta pesankan terhidang. Ia tadi hanya mengangguk ketika Asta menawarkan menu, sehingga ia tak berekspektasi menyoal rasa.

"Pak Asta gapapa minum ini?" tanya Saemi baru menyadari bahan dari minuman di depan mereka.

"Saya penasaran, jadi ingin coba."

"Tapi, kan, Pak Asta dari kecil sekalipun ga pernah nyobain rempah-rempahan begini. Kalo ga cocok gimana?" Saemi ingin sang pimpinan kembali menimang keputusan untuk eksperimen sesuatu yang belum pernah sama sekali dijajal.

Menurut pengakuan Asta serta pembenaran keluarga, sang pimpinan tipe orang yang sangat pemilih menyoal makanan atau minuman. Sudah 39 tahun hidup saja Asta hanya berani makan pedas dari bubuk cabai yang terdapat pada mi instan. Membau jamu-jamuan saja ia bisa pusing. Namun sekarang malah ingin menjajal minuman yang mengandung bahan herbal seperti jahe dan kawanannya.

"Maka dari itu Saya ingin coba, mumpung penawarnya ada di depan Saya sekarang." Entah belajar dari mana atau memang telah berpengalaman, Asta lancar menggombal. Mengundang decak tak percaya dari pihak yang digombali.

Hening tercipta, mereka menikmati sekeliling dalam geming dengan isi benak masing-masing. Pandangan dua pasang netra itu kompak tertuju pada sebuah keluarga kecil tak jauh dari meja mereka. Di mana seorang ayah tengah menggendong putra kecilnya di pundak dan sang ibu yang mengawasi di samping.

"So sweet banget ... jadi inget pas masih bisa digendong Bapak ke mana-mana," ujar Saemi kembali mendamba masa indah ketika kecil. Sontak perhatian Asta tersita ke arah sang puan gendut.

"Kenangan masa kecilmu pasti indah sekali," sahut Asta tak lepas membentang senyum teruntuk sang puan gendut penguasa hati.

Saemi membenarkan lewat anggukan, memindah atensi dari keluarga kecil tadi kepada sang pimpinan. "Kalo masa kecil Pak Asta?"

Asta mengangkat kedua bahu, mengentakkan sembari mengangguk. "Sama saja sepertimu, tapi mungkin Saya mengukir kenangan indah itu lebih banyak bersama Uti." Saemi tak perlu heran, semua terbuktikan di rumah Uti waktu lalu.

Mereka tenggelam lagi dalam kebisuan, saling memandang, lalu menyebar pandangan ke sekitar.

"Saya sedang menyukai seseorang," ujar Asta menarik penuh minat Saemi dari pemandangan lain.

"Setelah beberapa tahun tidak merasakannya, menurutmu apa yang mesti Saya lakukan, Saemi?" terus Asta meningkatkan degup jantung sang puan gendut.

Apa Pak Asta mau ngeresmiin hubungan dengan cewek itu? Batin Saemi entah mengapa mulai kalut. Demi apapun dia belum siap terima kenyataan. Semua serba mendadak, bekal mentalnya tak akan cukup.

Asta tatap lekat puan gendut yang telah berhasil membuat ia kembali merasakan jatuh cinta. Sang puan gendut tampak menegang, menunjukkan kegugupan bak akan disidang. Makin meyakinkan Asta bahwa Saemi seorang puan jomlo premium sejati.

"Ah, iya, Kamu kan jomblo premium, ya." Celetuk Asta menyirnakan ketegangan Saemi. Sontak sang puan gendut berubah bak induk ayam yang anak-anaknya diganggu.

"Memang kenapa kalo Saya jomblo premium? Gini-gini juga banyak, lho, yang konsul percintaan ke Saya dan berhasil. Jangan salah Anda, Pak!" cerocos Saemi kejomloannya disenggol-senggol. Apalagi sampai dipandang rendah.

"Oh, ya? Lalu nasib percintaanmu sendiri bagaimana? Sukses juga?" Asta terpancing meledek sampai amarah sang puan gendut naik ke ubun-ubun. Dan mujarab, Saemi bersungut-sungut menahan diri untuk tidak mengumpat. Meski lewat pancaran netra, terang ia tengah mengata-ngatai sang kembaran ketujuh Chef Juno.

"Saya penasaran kenapa Kamu masih jomblo sampai sekarang. Bagaimana rasanya jadi jomblo premium, Saemi? Ajarin Saya, puh, sepuh..." Asta merasa di atas awan, sang puan berhasil dipancing marah.

"Rasanya pas, kayak ada manis-manisnya!" luap Saemi kesal bukan kepalang. Sebentar lagi mungkin akan keluar tanduk kecil di kepala sang puan, dan jangan kaget bila ada penampakan meja terbang setelah ini. Jelas itu perbuatan Saemi.

"Lha kok ngamok?" Asta terpingkal sendiri menyaksikan induk ayam mengamuk di seberangnya.

Saemi membuang muka, kesal mendarah daging bila terus melihat kepuasan Asta menertawai kemarahannya. Namun demikian, jauh di lubuk hati ia bersyukur Asta memberi waktu untuknya bersiap menghadapi kenyataan.








Seenggaknya jangan malam ini, Pak Asta. Besok-besok aja, atau kalo bisa ... pas Aku udah pergi.

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang