«31»

2K 116 18
                                    

Bohong!

Kata siapa Saemi tidak nyaman di dekat Asta? Nyatanya Saemi terlanjur nyaman dan betah ada di pengayoman sang pimpinan. Asta memerhatikannya, memedulikannya di balik sikap menyebalkan bak titisan Chef Juno, memandang serta memperlakukan Saemi sebagaimana puan lain di luaran sana. Dari mana sisi tidak nyamannya? Tidak ada. Hanya memang penepatan janji yang tak bisa Saemi ingkari menyebabkan kata-kata jahat itu terlontar.

Saemi mengusap bening cair yang meleleh pelan dari pelupuk ke pipi. Ia baru saja patah hati, padahal belum memulai sebuah hubungan. Kisah cinta keduanya kembali bernasib tak baik. Apakah puan gendut sepertinya memang ditakdirkan demikian?

Oh, kasihannya dua cicit adam dan hawa ini. Ulah keisengan seseorang menyebabkan kedua insan ini gagal memulai jalinan. Catat, baru memulai! Belum pada tahap di mana Asta menyatakan perasaan dan mengajak Saemi menjalin kasih.

Hari berikutnya bergulir berat bagi Saemi yang mesti berakting lagi. Menjadi sosok Saemi pada setelan awal dengan kelakar jenakanya. Berpura-pura baik-baik saja meski batinnya porak-poranda.

"Selamat pagi, Pak Asta..." sapa Saemi sekuat hati tidak menaruh perasaan apa-apa di sana.

Kalau pada sebelumnya Asta menyahut singkat, kemudian merajuk ketika tidak disapa (kala itu sedang dalam mode jatuh cinta), sekarang...

Tak ada sahutan. Jangankan suara, barang satu lirikan pun tak Saemi jumpai dari pria yang kemarin - ia bilang membuatnya tidak nyaman.

Asta melenggang begitu saja memasuki gedung, mengabaikan eksistensi sang sekertaris. Bahkan orang-orang yang berniat menyapanya jadi urung, begitu aura dingin terpancar dalam setiap langkah sang pimpinan.

"Pak Asta kenapa, Saem? Serem banget auranya," celetuk salah satu pegawai yang berpapasan dengan sang pimpinan baru saja.

Saemi mengangkat bahu, berlagak tak mengerti apa-apa. Mana mungkin ia beberkan pada rekan kerjanya tersebut, bila penyebab sang pimpinan demikian akibat ulahnya.

Seharian ini Asta lebih banyak diam dan melamun. Ia sudah berusaha memusatkan diri pada pekerjaan, tapi intensitas sua dengan puan yang membuat hatinya sakit terlalu sering. Memang harusnya ia tak mengulang kisah asmara kantor seperti ini untuk kedua kalinya. Bukankah ia mestinya belajar dari pengalaman bersama sang mantan kemarin?

"Pak Asta ga enak badan?" lontar Tejo menanyai sang pimpinan.

Asta menggeleng, "Saya baik-baik saja. Mari kita lanjutkan," sambungnya.

Saemi melirik sedikit ke arah sang pimpinan, memerhatikan raut kembaran ketujuh Chef Juno yang tampak bermuram durja.

Maafin Saya, Pak. Batin Saemi kembali menekuni notulen. Ia merasa bersalah, tapi juga tak punya pilihan lain. Memang ini mungkin yang terbaik untuk mereka.

Rapat yang dijadwalkan selesai dua jam, berubah lebih cepat. Asta menutup perjumpaan setengah lebih awal dengan alasan ada panggilan dari kantor pusat. Peserta rapat pun memaklumi dan justru merasa bersyukur. Demi apapun, mereka merasakan suasana batin sang pimpinan tengah buruk sehingga terasa sampai pada mereka. Menjadikan rapat terasa kurang nyaman.

Lagi, Saemi jadi merasa bersalah akan ketidaknyamanan tersebut.

"Saem, kue pancongnya ga ada sisa gitu?" celetuk Trisna melihat rombongan peserta rapat kembali.

Saemi yang selama berjalan pikirannya melayang jauh, lantas terkesiap dengar celetukan rekan kerjanya tersebut.

"Ini," sahut Tejo memberikan kotak jajan peneman rapat untuk Trisna.

"Pak Te yang terbaik!" Trisna mengacung jempol sambil menerima pemberian Tejo dengan girang.

"Lha Aku, Pak Te?" Herlina protes karena tidak dapat.

"Bagi dualah," saran Tejo.

Trisna lantas melempar permen kopi pada rekan sesama penggosipnya tersebut. "Tuh, biar ga ngantuk."

"Apaan cuman permen, doang! Risolnya, siniin!" pinta paksa Herlina.

"Makan punya Aku aja," tak ingin ada pertengkaran bak anak kecil, Saemi lantas berikan kotak jajannya agar mereka lerai.

"Love you, Saem!" balas Herlina bungah.

Saemi mengembangkan senyum tipis, kemudian bersarang ke kubikel. Memilih diam dan lebur ke pekerjaan ketimbang membuat kelakar seperti biasa. Entahlah, semoga saja ia bisa.

Tejo mengamati tingkah Saemi tampak lebih murung dari biasa, begitupun dengan tingkah pimpinan mereka kala rapat tadi. Lantas ia mendekati sang puan gendut partner bercandanya seraya menggapai pundak Saemi lembut.

"Ada masalah, Saem? Kamu keliatan pendiem hari ini," tanya Tejo selirih mungkin agar hanya kuping mereka yang dengar.

Saemi kontan menoleh, "Ga ada apa-apa, Pak Te. Mungkin pengaruh mendung," ujarnya rada tidak nyambung.

Tejo menerawang ke arah jendela, dan benar saja awan kelabu mengitari langit yang semula cerah. Mungkin suasana batin rekan bercandanya sedang mendung persis seperti cuaca sekarang entah itu disebabkan oleh apa.

"Kupingku terbuka lebar buat Kamu, Saem. Kapan pun Kamu pingin cerita," pesan Tejo sebelum kembali pada urusan masing-masing. Ia tak mau memaksa bila Saemi tak berkehendak.

"Siap, Pak Te." Saemi mengangguk, berterima kasih akan kesediaan senior yang telah merekomendasikannya bekerja di sini. Mungkin tanpa sosok orang dalamnya ini, ia hanyalah sarjana pengangguran yang melamar ke sana ke sini.

"Mbak Saem, bisa tolong review PPT Saya, ga?" Gilang memanggil Saemi dan meminta memeriksa hasil pekerjaannya.

"Bisa," sahut Saemi sembari meninggalkan kursi, menghampiri meja Gilang, dan mulai me-review.

"Udah bagus, cuman..." Saemi lantas jelaskan kekurangan yang perlu ditambahkan oleh Gilang, karena menurutnya hasil pekerjaan pegawai baru tersebut sudah cukup representatif dan komunikatif.

Selama mendengarkan Gilang memanggutkan kepala dan sesekali menimpali sambil diiringi cengiran.

"Oke, makasih, Mbak Saemi..." kata Gilang menutup pratinjau singkat dengan sang tutor.

"Yuk, makan, yuk!" ajak Trisna heboh begitu memasuki waktu istirahat pertengahan hari. Saemi bersama rekan-rekannya pun meluncur mengisi amunisi untuk melanjutkan perjuangan.

"Kalian lihat ga tadi wajahnya Pak Asta? Dingin banget kek musim salju," celetuk salah satu pegawai sepergosipan dengan Saemi di tengah santap siang mereka.

"Iya, ih. Apa lagi ada masalah sama ceweknya, ya? Padahal kemarin bahagia banget keliatannya." Pegawai lain ikut berkomentar.

Saemi diam menyimak, berpura-pura menikmati makanan meski perutnya terasa penuh duluan sebelum kenyang. Percayalah Saemi tidak baik-baik saja sekarang. Mereka membicarakan sosok yang membuat Asta berperilaku demikian, padahal penyebabnya ada di dekat mereka.

"Aku duluan, ya, man-teman. Perutku mendadak mules," pamit Saemi merasa kupingnya tak lagi sanggup mendengarkan omongan mereka.

Oh Tuhan...

Saemi mendesah berat, mendudukkan diri di atas toilet yang tertutup. Meratapi langit-langit toilet sembari memikirkan keputusan yang telah ia ambil beserta konsekuensinya.

Konsekuensi?

Saemi jadi teringat awal mula ia dan sang pimpinan dapat sampai sejauh ini. Pengandaian hari yang telah terlewati itu melintas di benak. Menyesali diri sendiri yang terbawa nafsu tidak mau kalah, tapi berujung melibatkan hati kecilnya dalam kubangan luka. Haruskah ia putar kembali waktu?

Emang paling bener jangan lewatin batas kagum. Sakit, kan, sekarang? Ngeyel sih dibilangin!

Saemi tertawa miris, menghardik diri sendiri. Semua kadung terjadi, menyesal pun tak ada arti. Puan gendut mesti menuai apa yang ia pernah tabur. Doakan saja keadaan akan membaik ke depan.

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang