«32»

2.1K 123 20
                                    

Tujuh pekan menjadi asisten Asta di luar kantor berjalan tak sebagaimana mestinya. Saemi tak perlu lagi melaksanakan konsekuensi. Lantaran sang kembaran ketujuh Chef Juno menepati permintaan Saemi untuk tidak lagi dekat di luar pekerjaan. Asta menjauh, memasang benteng tinggi yang mungkin tak akan Saemi gapai.

"Saem, Pak Asta kapan balik?"

"Abis makan siang, jam duaan keknya."

Pegawai yang menanyakan keberadaan sang pimpinan lantas mengangguk paham, lalu lanjut bekerja. Tak lama dari pembicaraan tadi, sosok Asta tiba-tiba muncul. Membantah perkiraan Saemi yang menaksirkan kepulangan sang pimpinan dari tugas di luar kantor lewat tengah hari.

"Lah, baru diomongin dah balik." Celetuk pegawai yang menanyakan sosok sang pimpinan.

Saemi mengedikkan bahu tak mengerti. Ia segera menyusul sang pimpinan ke ruangan sambil membawa berkas yang pagi tadi diminta.

"Pak Asta cepat sekali kembalinya," tutur Saemi sembari menyerahkan berkas sesuai permintaan.

Tak ada sahutan sebagaimana hari-hari sebelumnya usai Saemi mendeklarasikan ketidaknyamanan. Asta bagai sosok yang berbeda semejak hari itu. Irit bicara dan hanya membicarakan sesuai kepentingan. Bahkan sapaan Saemi lengkap dengan senyuman khasnya tak lagi dihiraukan, oleh pria yang pernah mengajaknya jadi rekan hidup tersebut.

"Tolong revisi berkas ini, harus selesai hari ini juga." Titah Asta tanpa menaruh pandangan pada pihak yang diberi perintah.

Saemi cukup menggumam iya, lalu kembali ke kubekel karena pegawai lain telah antre untuk menemui Asta. Sekalipun sakit lantaran eksistensinya dianggap bayangan oleh sang kembaran ketujuh Chef Juno, ia tak protes.

Selepas pegawai yang meminta bubuhan tanda tangannya keluar, Asta menyenderkan punggung sambil mengurai napas berat. Rasanya memuakkan sekali mesti berakting seolah tidak peduli pada presensi sang sekertaris. Ia merindukan segala hal tentang Saemi. Walaupun lima hari dalam sepekan mereka bersua, rasanya rindu itu tak pernah terobati. Ia ingin memeluk Saemi, mendekap tubuh gendut itu sepanjang hari bila perlu. Namun itu hanya angan Asta disetiap waktu luangnya.

Gawai di saku jasnya bergetar, menggugah Asta untuk merogoh gawai di saku jas kemudian menerima panggilan masuk.

"Ya?" sapanya pada penelepon di seberang sana.

"Di kedaimu?" timpalnya.

"Oke,"

Panggilan telepon berlangsung cepat, Asta memutuskan sambungan dan kembali berkelana di alam pikir.

Langit menggulita tanpa dirasa. Saemi berhasil menyelesaikan perintah Asta sesuai tenggat waktu. Sang pimpinan pun merasa puas dengan hasil kerjanya tanpa meminta revisi.

"Boleh Saya pulang sekarang, Pak?" izin Saemi meski ia tahu, upayanya ini hanya akan direspon anggukan atau bahkan kadang tidak ditanggapi sama sekali.

"Silakan," jawab Asta singkat tak bernada.

Saemi mengembuskan napas pelan, setidaknya malam ini tanggapan Asta jauh lebih baik.

Asta menaikkan pandangan yang sejak tadi menekuni layar komputer sekadar menghindari kontak mata dengan sang puan gendut. Yeah, ia tengah berlakon sibuk padahal tidak sedang mengerjakan apapun, kecuali memikirkan sosok yang baru saja pamit pulang. Mengeklik-ngeklik perangkat mirip tikus hanyalah alibi agar ia terlihat tak mengacuhkan Saemi. Demi apapun, ia bakal makin merindukan sosok puan gendut tersebut bila menautkan pandangan sedetik saja.

"Baru balik dari kantor?" pertanyaan tersebut terlontar dari sahabat yang menelepon Asta pagi menjelang siang tadi.

Asta menggerakkan kepala sekali, lalu mengambil duduk di samping sang sahabat.

"Beneran rumahmu mau Kamu jual, Ta? Ga sayang emang?" sang sahabat masih tak percaya akan keputusan kembaran ketujuh Chef Juno yang diutarankan sejak minggu lalu.

"Aku mau memulai hidup baru, tentu harus ada yang dikorbanin." ucap Asta kemudian menyamakan posisi sambil memejamkan mata. Akhir-akhir ini jam tidurnya terganggu ulah puan gendut yang menyatakan ketidaknyamanan atas kebersamaan mereka. Jejak hitam di bawah matanya akan tampak jelas kalau ia tak pandai merawat wajah.

"Hidup baru atau hidup baru..." goda sang sahabat. Sedikit banyak ia mengetahui hubungan Asta dengan puan gendut yang pernah diculik Asta dari kedai minya kala itu.

Asta mendengus kasar, tapi enggan menyahuti.

"Kerabat jauhku yang mau nikah kebetulan lagi nyari hunian tapak, entar Aku kabarin kelanjutannya kalo Kamu ga berubah pikiran."

"Tidak akan," sambar Asta tiada ragu.

Sang sahabat kembaran ketujuh Chef Juno lantas berdecak, "Dulu patah hati langsung resign, sekarang malah tambah mau ngejual rumah. Kasian banget sadboy yang satu ini..." ujar sang sahabat sambil mengelus-elus kepala Asta yang tergeletak.

Asta menyingkirkan kasar tangan sang sahabat dari kepalanya sambil mendesis tak suka. Ia menggeser posisi sedikit menjauh agar tak dijangkau dan diganggu lagi.

"Bangunin Aku kalo kedaimu mau tutup," pinta Asta sebelum menyelam ke alam mimpi.

"Ogah!" sahabat sejak zaman SMA Asta benar-benar merealisasikan omongannya. Asta tidak dibangunkan dan dibiarkan tidur di sofa dengan posisi duduk sampai pagi menjelang. Menjadikan Asta kesetanan lantaran hanya memiliki waktu terbatas untuk pulang dan berganti pakaian.

Sahabat biadab!

"Momen langka, Pak Asta telat absensi."

Decak ketidakpercayaan tergumam ditiap mulut para pegawai yang telah lama bekerja di bawah kepemimpinan Asta.

Asta tak menghiraukan omongan tentang dirinya, ia fokus saja menjejakkan kaki memasuki ruangan.

"Ke ruangan Saya, Saemi." Titahnya begitu melewati kubikel sang sekertaris.

Saemi sempat merinding. Sang pimpinan memberi arahan sambil lalu dan dengan suara nyaris hanya ia yang dengar. Seperti embusan angin, lewat begitu saja.

"Ada apa Pak Asta memanggil Saya?" Saemi kini telah menghadap sang pimpinan.

"Tolong carikan rekomendasi tempat makan untuk tujuh orang lebih. Kalau bisa masih di dekat-dekat sini," lontar Asta memberi amanat. Sadar atau tidak, ucapannya telah mematungkan Saemi. Mengelanakan pikiran sang puan akan kemungkinan sang pimpinan hendak temu keluarga atau sejenisnya.

Perjodohan itu makin serius, ya? Saemi membatin gelisah. Purnama telah berganti dua kali, tapi ia tak kunjung dapat melepaskan nasib asmaranya secara penuh.

"Kamu mendengarkan Saya?" Asta lambai-lambaikan tangan ke arah Saemi. Membangkitkan sang sekertaris dari keterdiaman.

"Mau untuk lunch atau dinner, Pak?" sahut Saemi berusaha meredam gemuruh di dada.

"Bagus mana menurutmu untuk acara keluarga?" timpal tanya sang pimpinan semakin membenarkan terkaan Saemi.

Saemi menelah ludah susah payah, "Malam lebih bagus, Pak. Lebih terasa suasana dan nuansanya." Ungkap Saemi ingin menangis saja.

Asta mengangguk menerima saran sang sekertaris. "Saya tunggu sore nanti," pungkas kembaran ketujuh Chef Juno lalu memperbolehkan Saemi meninggalkan ruangan.

Kontan kedua bahu Saemi jatuh terkulai begitu menutup pintu ruangan Asta. Air mukanya tak lagi bisa dikondisikan normal. Seakan hujan badai berpindah ke atas kepala sang puan gendut. Sehingga hanyalah kemurungan yang terpancar dari raut wajah sang sekertaris.

Pak Asta beneran nerima perjodohan itu, Mas Naga...

Tangis Saemi pecah. Namun sayang, isakan itu hanya menggema di ruang kesunyian dalam diri sang puan gendut. Tak akan sampai ke telinga orang lain, apalagi sang pimpinan.

Titi, hari ini Aku usai, Titi...




🎶Usai sudah semua kenangan...🎶

[Akhirnya Authornim bisa double update]

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang