«1»

7.3K 248 4
                                    

Langit cerah bersemu jingga kekuningan menyambut Saemi di pelataran sempit kantor. Sudut bibirnya membentuk keluk-terenyuh mendamba hasil luskisan sang semesta yang maha indah. Saemi menstrater motor, mengendarainya dengan kecepatan sedang. Ia tak ingin tamak menghabiskan lukisan indah sang semesta dalam tempo singkat, meski kerinduannya akan kenyamanan kamar begitu kuat.

Pemandangan sore menjelang malam seindah sekarang jarang-jarang bisa ia temui. Selain faktor cuaca, lembur menemani sang atasan tak akan membuatnya menjumpai pergantian sang surya dan sang rembulan. Pantas apabila kemewahan ini harus ia nikmati penuh hikmat.

Puas memandangi lukisan sang semesta sambil berkendara, kini Saemi tiba di indekos. Lengkung di bibirnya selama perjalanan tadi menghilang berganti uraian napas pendek. Tumpukan alat makan dan pakaian kotor serta kondisi kamar berantakan menjadi suguhan pertama kala membuka pintu. Ia berjalan masuk, memumut handuk yang jatuh dari gantungan di belakang pintu. Membuang ke keranjang khusus pakaian kotor, kemudian melepas atribut perangnya dan ia letakkan di kasur yang kondisinya tak jauh beda-berantakan.

Saemi mengayun kaki ke kamar mandi, sekedar membasuh wajah, kaki, dan tangan agar lebih segar juga nyaman. Puan gendut itu sengaja menunda mandi dan langsung menghadap komputer lagi. Seharian bercumbu dengan perangkat keras tersebut nampaknya masih kurang. Tentu tidak. Ia masih memiliki tanggungan garapan lain yang menjadi tambahan sumber pendapatannya.

"Udah dikasih link, masih aja males buka. Dasar, generasi mi instan!" gerutunya sambil jemarinya terus bergerak lincah mengeklik mouse serta keyboard. Mengunduh data-data dari situs badan resmi, menghimpun dalam satu folder, kemudian mulai mengolahnya dengan bantuan aplikasi pengolahan data.

Sang puan gendut lihai sekali lantaran itu makanannya sehari-hari di kantor. Selain mengurus keperluan sang atasan, Saemi juga merangkap sebagai staf ahli perencanaan menggantikan pegawai aslinya yang resign setahun lalu. Pihak kantor belum menemukan kandidat pengganti, sehingga tugas itu dilimpahkan pada siapa saja sekertaris pimpinan.

Dalam puluhan menit data-data yang ia himpun rampung diolah dan segera ia kirim hasilnya kepada sang pemakai jasa. Benar, Saemi seorang joki pengolahan data bagi para mahasiswa yang mengambil skripsi atau mendapat tugas disemester pendek. Pekerjaan sampingan ini ia lakukan sejak kuliah berlanjut hingga kini. Sebenarnya ia ingin berhenti, tapi mereka-para mahasiswa itu- terus mencari dan membujuknya.

"Iya, ada apa, Mas?" Saemi menerima panggilan masuk saat sedang menutup lembar kerja di komputernya.

"Sabtu sore kayaknya Aku bisa," timpalnya lagi ketika ditanya kesedian waktu untuk bersua.

"Oke, nanti Aku kabarin." panggilan itu pun ditutup.

Saemi meregangkan badan, menjatuhkan tubuh ke kasur seraya memejamkan mata sejenak. Ia menghela napas teratur, menyamankan diri hingga terbuai suasana. Rencananya yang ingin berbenah kamar kemudian mandi setelah merampungkan garapan gagal total. Dengkuran halus tak lama terdengar mengisi kesunyian kamar. Mengantar sang sekertaris gendut ke alam angan-angan.

››♣‹‹

Dia baru saja memarkirkan kendaraan beroda empatnya ke garasi. Menyalakan penerangan di beberapa titik ruangan sembari mengayun langkah memasuki kamar. Lampu berpijar, menerangi ruangan berwarna aegean blue dengan satu sisi dinding dihiasi lukisan besar karakter fiksi seekor beruang kuning berbaju merah. Tangannya menaruh briefcase ke rak kayu dekat pintu, kemudian melanjutkan ayunan kaki ke smart TV. Memutar tontonan apa saja agar kamar terasa lebih hidup sembari ia membersihkan diri.

Asta memeriksa dapur dengan balutan pakaian santai. Badannya terasa segar usai diguyur air hangat dan kini perutnya berdemo lapar. Ia mengambil satu butir telur, selembar keju, dan tak ketinggalan satu bungkus mi instan. Tidak perlu waktu lama sampai makanan berbahan dasar tepung terigu itu masuk ke mulutnya. Ia makan dengan tenang, sesekali menyeruput air putih meredakan sensasi pedas dari bumbu mi yang ia makan.

Sesi makan malam sederhana ditutup dengan menyantap es krim lembut yang selalu Asta stok di lemari pendingin. Ia kembali memasuki kamar, menyambar ponsel kemudian menghampiri meja kerjanya. Pria yang hampir memasuki usia kepala empat itu berkutat serius dengan gawai di tangan. Mengedit video hasil pengambilan minggu lalu menjadi potongan-potongan dengan penambahan musik yang sedang tren sesuai suasana.

Sang pemimpin kantor cabang bank begitu khusyuk menekuni gawai sampai malam meninggi. Tepat pukul satu dini hari baru ia berhenti. Ditanggalkannya gawai ke nakas sambil mengisi daya dan ia beranjak ke kamar mandi. Meski mata terasa lengket serta mulut tak berhenti menguap, Asta pantang absen melakukan perawatan wajah. Dengan telaten ia lewati prosesnya tahap demi tahap.

Asta selesai dengan rangkaian perawatan wajah, bergegas menaiki ranjang dan bergumul dalam selimut. Boneka beruang kuning dipeluknya erat, suara dari smart TV yang terus menyala mengantarnya ke ruang mimpi.

Alarm berdering nyaring tepat pukul 05:15 pagi, menggugah sang penyetel yang masih nyaman memeluk boneka beruang kuningnya. Lima menit kemudian barulah pemeluk boneka beruang kuning bangun, meregangkan badan, lalu menginjakkan kaki ke lantai mengayunnya ke kamar mandi. Asta hanya menyeduh kopi instan tanpa gula sebagai sarapan.

Mentari pagi ini belum sempurna menampakkan diri, masih malu-malu bergelung di balik awan kelabu. Sejalan dengan prakiraan cuaca yang tengah Asta dengar melalui siaran radio selama perjalanan menuju kantor. Meski demikian, cuaca mendung pagi ini tak menyurutkan semangat para pejuang hidup yang berjuang dengan keahliannya masing-masing.

Rinai-ranai mulai menghujam kala mobil Asta berhenti di lampu lalu lintas. Ia lihat sebagian para pengendara roda dua mengeluarkan mantel hujan dan memakainya. Sebagaian yang lain, hanya mengencangkan jaket dan tangan siap memutar gas grip jika lampu menyala hijau. Mungkin mereka tak membawa atau mungkin lantaran jarak tujuan mereka yang sudah dekat, sehingga malas untuk memakai mantel.

Mata Asta menyipit, memerhatikan salah satu pengendara yang juga tidak memakai mantel. Dari postur serta atribut yang melekat di tubuh pengendara itu, sepertinya Asta kenal. Benar, pengendara itu melajukan kendaraannya satu arah dan tujuan dengan Asta. Tidak salah lagi, itu sekertaris berbadan lebar yang hobi mengomentari segala tindak-tanduknya.

"Selamat pagi, Pak Asta ..." sapa Saemi begitu Asta keluar dari mobil. Kedua sudut bibirnya membentang lebar sampai matanya ikut menyipit. Ia ingin memberikan senyuman terbaik untuk sang atasan yang gantengnya paripurna melampaui aktor-aktor Korea.

"Pagi," jawab Asta irit sambil lalu. Mengabaikan senyuman lebar sang sekertaris yang lebih terlihat seperti cengiran kuda— menurut sang pimpinan. Mungkin cuaca akan semakin memburuk bila sang sekertaris tak lekas mengakhiri senyuman kuda itu. Namun beruntung Saemi adalah mahluk Tuhan yang paling peka. Ia lekas mengurai senyum terbaiknya dan memasang kembali ekspresi normal.

"Dasar, kembaran Chef Juno!"

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang