«24»

2.1K 135 16
                                    

Saemi tak perlu lagi mencemburui dan merasa tersaingi oleh pemilik akun, yang sering Asta respon dalam setiap unggahannya. Lantaran mereka merupakan para sepupu sang pimpinan, juga sang adik Rey. Bukankah itu terdengar bagus? Harusnya demikian.

Namun, kian berlalu Saemi sadar posisi. Ia tak lagi bisa seleluasa dulu untuk mencemburui Asta. Apalagi menggoda sang pimpinan terang-terangan dan ugal-ugalan seperti semula. Semua terasa berbeda setelah kepulangan dari rumah Uti. Terutama setelah pengiyaan di hadapan Winarti.

Menghela napas, Saemi tidak mengerti mengapa praktek dengan teori bertolak belakang. Mudah sekali menyusun retorika akan begini akan begitu di hadapan Asta. Namun apa? Yang ia rasakan sekarang adalah berat bersikap biasa saja seperti sebelum banyak momen dengan sang pimpinan. Muncul pertanyaan yang menghasutnya untuk meragu.

Apakah ia tidak rela bila sang kembaran ketujuh Chef Juno berjodoh/dijodohkan dengan puan lain?

Alasan apa yang tepat untuk dia tidak rela?

Jika berpenghujung demikian, mengapa pula si jomblo premium menyanggupi permintaan Winarti malam itu?

Saemi mengusak rambut, mengembuskan napas kasar berjuang menjernihkan pikiran dari sang pimpinan.

"Saem, ayo makan siang!" suara Herlina menginterupsi Saemi dari kepeningan memikirkan sosok yang kini tengah rapat di luar kantor.

Saemi kontan mengangguk, menyusul Herlina dan yang lain. Ia perlu amunisi untuk berjuang memegang tekadnya menjauhi Asta, atau minimal bersikap netral. Sekalipun itu terasa amat berat. Seberat ia berkemauan langsing tapi bergaya hidup tak mendukung.

Asta memasuki sebuah restoran sesuai lokasi yang dibagikan Winarti pagi tadi. Tidak tahu mengapa sang ibu begitu ngotot ingin makan siang bersama di luar. Netranya mengedari ruangan, mencari keberadaan sang ibu yang katanya menempati deretan meja persegi panjang dekat dinding. Namun sekian sekon menyisir ruangan, bukan sang ibu didapati. Melainkan seorang puan cantik yang melambaikan tangan ke arahnya.

Sang pimpinan mendekati sosok sang pelambai, mengerutkan kening atas keberadaan adik kelasnya semasa SMA.

"Tante Win ngechat Aku, katanya ga bisa dateng jadi digantiin Kak Asta." Tutur sang puan cantik menjawab kerut di kening kembaran ketujuh Chef Juno.

Asta merotasi bola mata, ada saja akal-akalan sang ibu. Pantas bila sejak tadi dia berfirasat aneh akan ajakan ngotot sang ibu. Sampai mengancam akan datang ke kantor dan membuat kerusuhan. Ternyata...

"Sibuk apa sekarang?" Asta mengambil tempat di seberang sang puan cantik. Mengutarakan pertanyaan basa basi sekadar menghargai kehadiran sang adik kelas.

"Abis resign dari kantor, sekarang Aku kerja remote. Kak Asta udah pindah kantor, ya?" tanggapan puan cantik yang dua tahun lebih muda dari Asta.

Mengangguk, Asta benarkan pertanyaan sang puan cantik. "Aku megang cabang di deket sini," imbuhnya sambil memilih menu.

Puan cantik yang tidak perlu penulis sebutkan namanya ini pun mengangguk. Memancing pertanyaan lain agar suasana lebih hidup selama menunggu pesanan tiba. Asta yang tidak begitu meminati acara rancangan sang ibu lantas merespon sekadarnya. Pun menanyai balik sang adik kelas, tak banyak Asta lakukan.

Asta ingin mengutuk proses pemesanan yang menurutnya sangat lama, padahal pengunjung di sini tidak terlalu ramai. Ia sampai tak fokus menyimak pembicaraan sang adik kelas terkait seluk-beluk dunia kerja jarak jauh. Sesekali ia hanya menggumam iya, mengangguk, bahkan lebih sering merespon seperti orang linglung.

"Pembicaraanku ngebosenin, ya, Kak?"

Asta menggeleng cepat, memastikan sang adik kelas terus berbicara ketimbang ia yang harus susah menentukan bahan obrolan.

"Kayaknya Aku kebanyak sharing, deh. Gimana kalo Kak Asta aja sekarang yang giliran cerita? Aku pingin denger," pinta sang adik merasa banyak omong, sedang si pendengar tampak tak memerhatikan.

"Gapapa, Kamu lanjut aja. Aku lebih seneng jadi pendengar yang baik," kilah Asta tak mau repot serta melukai perasaan puan cantik di hadapan.

Sang adik kelas mengangguk lugu, melanjutkan berbagi cerita seputar pekerjaan yang ia geluti selama dua tahunan ini. Sedangkan Asta berakting seolah menyimak dengan suka hati.

Akhirnya makanan yang ditunggu tiba. Tak sabaran Asta menyantap makanan olahan pasta yang dicampur aneka pugasan laut. Diselingi obrolan patah-patah, santap siang hasil konspirasi Winarti sampai juga pada penghujung. Asta bersorak riang dalam hati.

Jujur saja, sepanjang santap Asta merasa tidak tenang dan tidak nyaman. Rasa bersalah menyusup relung, membuat makanan yang ia santap terasa hambar. Benaknya tak mau berhenti memikirkan sang puan gendut yang setengah harian ini belum ia suai. Ia telah menyusun siasat memenangkan hati Saemi, tapi sekarang ia malah terjebak dalam perangkap perjodohan berbalut santap siang. Bagaimana bila Saemi tahu hal ini?

Sebelum beranjak dan berpisah, Asta pun mengeluarkan pernyataan tegas untuk sang puan cantik. Dia bilang, "Semoga makan siangmu lain kali ditemenin pria yang tepat. Dan itu bukan Aku," begitu tutur sang pimpinan tak bertele-tele. Sang pimpinan menghindari sekali kemungkinan drama-drama dimasa depan, jika ia tidak tegas bersikap sejak awal. Asta pun bergegas pergi, meninggalkan sang puan cantik yang terbengong.

Apa-apaan maksudnya Asta tadi? Apa dia baru aja ditolak? Tapi kenapa? Dia, kan...

"Dipikir Aku suka sama Kamu, apa?! Hei, Aku ke sini cuma buat ngebales kebaikan Mamamu, ya! Aku udah punya tunangan, tau!" cerocos si puan cantik menatap nyalang ke pintu yang Asta lewati. Persetan dengan tatapan aneh dari orang-orang di sekitar sana. Kepalanya mendidih, iktikad baik memenuhi ajakan Winarti yang telah banyak membantu sang ibu dinilai jelek oleh Asta. Pantas saja selama santap ia seperti tidak dihargai, ternyata memang benar tidak dihargai. Sang kakak kelas rupanya berpikiran kolot mengenai makan siang ini.

"Ga heran masih jomblo," lontar sang puan cantik diimbuhi decihan. Ia pun lekas bertolak dari tempat yang bikin darahnya mendidih tersebut.

Asta lega bisa lepas dari perangkap perjodohan sang ibu, sekarang ia dalam perjalanan kembali ke kantor. Kedua pelupuk netranya belum diberi asupan sejak pagi, bersua sang sekertaris. Pekerjaan di luar kantor benar-benar terasa menyiksa sejak ia menyadari perasaan terhadap Saemi. Tidak perlu penyangkalan, kembaran ketujuh Chef Juno ini benar-benar telah membentang layar untuk mengarungi hati sang sekertaris. Meski sang sekertaris sendiri belum mengizinkannya untuk berlayar ke hati sang puan gendut.

Tiba di kantor, sosok yang amat lekat di pelupuk maupun kepala Asta terlihat sibuk menekuni komputer. Serius sekali sampai presensi sang pimpinan tak dihiraukan. Jangankan sapa serta senyuman khas yang biasa Saemi berikan, melirik Asta sekalipun tidak.

Apakah komputer itu jauh lebih menarik darinya? Pikir Asta cemburu. Ingin ia hanguskan saja perangkat elektronik itu agar poros sang puan gendut berpindah. Namun, jelas itu tidak mungkin. Berlalu, Asta memasuki ruangannya dengan raut kecewa.

"Kamu ada masalah, Saem?"

Saemi sontak menoleh, menghadap Tejo yang membisikkan pertanyaan tersebut.

"Huh?"

Tejo mengarahkan ujung jari telunjuk ke ruangan Asta tanpa melihat ke sana. Saemi mengeriputkan kening tak mengerti. Sejak tadi ia terpaku pada data-data yang ia masukkan ke lembar kerja, wajar bila ia tak tahu apa yang baru saja terjadi.







"Ada yang kecewa ga Kamu sambut,"

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang