«25»

2.2K 126 18
                                    


Saemi mengarahkan pandangan ke ruangan Asta yang kini tengah ditutup tirai, sehingga tidak ada yang dapat melihat kegiatan sang pimpinan di dalam. Perkataan Tejo terus terniang, mengganggu benak. Padahal baru beberapa saat lalu ia dapat mengalihkan kepeningan memikirkan Asta. Sampai kehadiran sang pimpinan saja sama sekali tidak ia sadari.

Kecewa? Apakah sepenting itu sambutan Saemi, hingga harus ada yang kecewa tidak disambut? Tentu, tapi seribu kali sayang sang puan gendut tidak merasa demikian. Ia coba menganggap ujaran Tejo hanya sebagai bahan untuk menggodanya.

Tirai pengblokade ruangan Asta disingkap bertepatan dengan keputusan Saemi meminati komputer kembali. Mengabaikan sepasang netra yang mengawasi dari dalam, puan gendut teruskan garapan memasukkan data-data.

Sang empu netra menatap lekat, barang sedetik pun tak berpaling. Benaknya mempertanyakan kebiasaan sederhana sang sekertaris yang dulu, sering kembaran ketujuh Chef Juno anggap sekadar basa basi belaka. Namun nyatanya sekarang terasa penting. Dia merasa tak diacuhkan bila sang sekertaris tak menyapa seperti tadi. Bahkan kehadiran sang pimpinan luput dari perhatian sang sekertaris.

Ada apa dengan Saemi? Apakah ada yang salah dengan Asta? Apakah perkara makan siang yang dirancang sang ibu tadi? Sang pimpinan kantor menggeleng, prasangkanya terlalu ke mana-mana. Mungkin nanti akan normal kembali sikap sang sekertaris, semoga saja.

Harapan tinggal di angan. Hingga mentari purnatugas, Saemi sama sekali tidak bersikap seperti yang Asta harapkan. Ketika menghadap, sang puan gendut tampak lebih diam dan sering kali menghindari kontak mata.

"Kamu baik-baik saja, Saemi?" lontar Asta mengakhiri kemelut prasangka batinnya.

Saemi mengangkat wajah yang sedari tadi menekuni lantai, lalu menjawab dengan isyarat gelengan kepala. "Saya ga kenapa-napa, Pak. Ada apa, ya?" balas sang puan gendut.

"Kamu tidak mengacuhkan Saya," ungkap Asta berterus terang agar batin dan pikiran lebih lega.

Pupil sang sekertaris membesar sekejab, "Saya engga, tuh." elak Saemi merasa tidak seperti apa yang Asta tuduhkan.

"Kamu tadi tidak menyambut Saya," sampai Asta lugas, persetas dengan gengsi.

Seketika Saemi cengo, ia jadi teringat perkataan Tejo siang tadi. Sepengaruh itukah sambutannya?

"Saya tadi cuma lagi fokus aja, Pak." Ungkap Saemi tidak ingin besar kepala atas pernyataan sang pimpinan.

"Tapi biasanya Kamu tetap bisa menyapa Saya," tuntut Asta pantang mengalah sebelum sang sekertaris mengakui kekhilafan.

Saemi memiringkan kepala, menatap aneh sang pimpinan. Ia seperti menghadapi anak kecil merajuk lantaran keinginan tidak dikabulkan. Bukankah sang pimpinan tidak mempermasalah hal seperti ini sebelumnya? Kenapa kekanak-kanakan sekali kembaran ketujuh Chef Juno ini? Saemi tak habis pikir.

"Ya udah kalo gitu, Saya ucapin sekarang. Selamat malam, Pak Asta. Hati-hati dalam berkendara dan selamat beristirahat begitu sampai di rumah. Semoga besok kita bisa bertemu lagi dalam keadaan sehat, ya..." Saemi mengucapkannya bak seorang guru memberi pesan sebelum pulang kepada para murid. Komplet dengan gestur tangan menangkup di depan dada serta gerakan kepala ke kanan dan kiri.

"Saya pulang dulu, permisi." Tutup Saemi kesal, ia tinggalkan ruangan Asta dengan langkah setengah menghentak.

Asta menggelengkan kepala berbarengan dengan melenggangnya Saemi. Meski heran, tapi inilah yang ia tunggu. Sang sekertaris kembali dengan polah ajaib serta sikap bersungut-sungutnya. Dada sang kembaran ketujuh Chef Juno jauh lebih luang sekarang. Kegundahan seharian terbayar sudah.

"Menggemaskan," lontar Asta disertai pipi mengembang.

Saemi langsung menerjunkan diri ke kasur begitu tiba di indekos. Berbaring membentangkan tubuh menghadap langit-langit kamarnya yang polos, hanya berhias lampu putih 15 watt. Suasana batin serta kondisi pikirannya masih terbawa kejadian di ruangan sang pimpinan.

"Umur doang tua, tapi kelakuan kek bocil, huh!" Saemi menggerutu, menatap nyalang langit-langit kamar seakan wajah Asta terproyeksi ke sana. Beberapa saat kemudian puan gendut berusia 25 tahun tersebut bangkit. Bau badan serta rasa lengket jejak keringat yang mengganggu segera ingin ia sirnakan dengan guyuran. Namun sebelum menginjakkan kaki ke kamar mandi, ia berhenti sejenak sambil menatap ke bawah.

"Apa liat-liat? Mau ikut mandi, hem?" omel Saemi pada tanaman yang tempo hari Asta belikan. Tanaman itu ia tempatkan persis di dekat pintu kamar mandi, tidak jadi di dalam lantaran ruangannya sempit.

"Gausah, deh. Aku lagi jengkel sama tuanmu." Saemi tinggalkan tanaman tersebut, meneruskan langkah memasuki kamar mandi.

Rutinitas mengguyur badan tidaklah memakan waktu lama untuk seorang seperti Saemi. Sepuluh sampai lima belas menit sudah cukup bagi puan gendut untuk mandi, menggosok gigi, cuci muka, juga berpakaian. Tipikal tidak mau ribet puan gendut yang satu ini. Maka tidak mengherankan sekarang ia tengah menyantap makan malam dengan lauk pemberian Uti.

"Enak banget ayam kecap buatan Uti, pantes jadi favorit Pak Asta." Saemi menjilat bumbu yang tersisa di ujung-ujung jemari. Tidak mau menyisakan sedikitpun makanan lezat tersebut hingga kunyah terakhir.

Puas mengisi bahan bakar perut, kegiatan Saemi beralih ke laptop. Melanjutkan pekerjaan sampingan dari para pengguna jasanya. Sesekali ia mengecek gawai, membalas atau mengirim pesan ke orang lain. Saat sedang fokus mengolah data, pria yang tadi menyuarakan kekecewaan lantaran tidak disambut meneleponnya.

"Kamu sedang apa?"

Saemi menjatuhkan gawai dari kuping, menatap layar menyala miliknya dengan bingung. Memastikan memang benar sang pimpinan yang sekarang tengah melakukan panggilan telepon dengannya, bukan orang lain.

"Pak Asta kenapa?" Saemi balik menanya.

Terdengar dehaman di sana, "Aneh, ya, Saya tanya seperti ini?" lontar Asta sadar diri sikapnya jadi pertanyaan sang sekertaris.

Saemi mengangguk meski Asta tak dapat menyaksikan.

"Ya sudah, Saya tutup kalau begitu. Selamat malam, Saemi." Terang saja perbuatan kurang pendirian Asta mengundang keriput di dahi sang sekertaris. Puan gendut tersebut sampai mengecek ulang bahwa kontak yang baru saja mengakhiri panggilan sungguh milik Asta.

"Maunya apa, sih? Aneh," cibir Saemi dibuat heran berulang-ulang. Meninggalkan keheranan, sang puan gendut kini fokuskan pikiran pada pekerjaan penambah pemasukan utama. Hingga menjelang tengah malam, Saemi pun bergegas tidur.

Awan kelabu menyambut pagi penduduk kota dan sekitaran. Saemi bangun seperti biasa, memulai rutinitas sebagaimana mestinya lalu berangkat ke kantor. Beruntung hujan mengguyur sesaat setelah ia sampai, tidak sia-sia ia mengebut tadi.

"Selamat pagi semuanya..." suara Saemi menggaung ke seleruh ruangan tempat ia berjuang demi transferan tiap bulan bersama para pegawai lain.

"Semangat banget Kamu, Saem." Celetuk salah satu pegawai.

Saemi meringis lebar, mengiyakan saja celetukan itu sambil berlalu menuju mejanya. Lepas meletakkan barang bawaan dan menginput absensi, Saemi bergegas menyiapkan keperluan rapat.

"Tolong belikan kue pancong di gang depan sana buat rapat nanti, ya. Sama sekalian gorengan dan teh anget, jumlahnya-" instruksi Saemi untuk Ujang belum genap, tapi sudah terdistraksi oleh suara heboh Trisna.




"NEWS UPDATE, GUYS! PAK ASTA DATING..."

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang