Bab 9

1.9K 284 11
                                    

Mature Content

Happy reading, semoga suka.

Happy reading, semoga suka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luv,

Carmen

_______________________________________________________________________________

Saat makan malam siap, Isla mengeluarkan enchilada yang dibuatnya dan meletakkannya di piring lalu menghidangkannya di atas meja makan, bersama taco dan dua kaleng bir.

"Yummy," puji pria itu saat mencomot enchilada itu. "Kau benar-benar koki yang hebat, Isla."

"Ya, ya, terus saja memujiku sehingga aku semakin rajin membuatkanmu makan malam, iya, kan?"

"Ops! You see right through my trick," ujar pria itu pura-pura menyesal.

"Dari mana kau belajar memasak?" tanya pria itu lagi.

Isla mengangkat bahunya pelan. "A lot of practices. Saat di college, demi menghemat biaya bulananku, aku selalu memasak untuk diriku sendiri dan aku belajar banyak variasi makanan dan mendapati bahwa ternyata memasak adalah kegiatan yang sangat menyenangkan dan memuaskan daripada membeli makanan jadi. Jadi aku terus mencoba menu baru. I just love it."

"Kau wanita yang mengagumkan, Isla."

"Nah, jangan mulai lagi."

Mereka tertawa sejenak sebelum melanjutkan makan. Ia dan Caleb membicarakan apa saja, mulai dari latihannya di lereng tadi, kakinya yang pegal dan kaku, cuaca dingin di luar sampai bisnis pria itu dan juga bidang pekerjaan Isla. Semuanya menjadi topik yang menarik jika dibicarakan bersama pria itu. Setelah makan malam selesai, pria itu kembali menawarkan Isla untuk bermain game bersama di ruang tamu. Permainan itu seru, tapi mungkin karena Isla memainkannya bersama Caleb.

"Oke, aku menyerah!" ujar pria itu sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Kau terlalu hebat, itu saja."

Isla tertawa mendengarnya.

"Oh, apakah kita akan pergi bermain ski lagi besok?" tanya Isla saat mereka naik ke lantai dua.

"Kalau kau menginginkannya," jawab Caleb.

"Oh, kau tidak menginginkannya?" Isla balik bertanya.

"Maksudku, sebaiknya kita lihat saja besok bagaimana keadaan kakimu. Aku tidak ingin kau terlalu memaksakan diri."

"Oh."

"Kalau kau merasa sanggup, kenapa tidak? Bahkan kurasa besok kau sudah siap meluncur di lereng yang lebih terjal."

"Oh, Tuhan, no way!" Isla langsung mengerang.

Pria itu terkekeh. "Jangan cemas, aku akan selalu berada di sampingmu sepanjang waktu."

"Kau berjanji?"

"Aku berjanji," ujar pria itu.

Isla menunggu ciuman selamat malam dari pria itu. Mereka sudah berdiri di depan kamarnya dan pria itu kemudian meraihnya sambil menatap ke dalam mata Isla dan wajahnya mendekat. Bibir pria itu terasa hangat dan lembut dan ciuma mereka merupakan perpaduan sederhana, lambat tetapi kuat, menggetarkan sampai ke dalam dada Isla. Isla sadar kalau intensitas ciuman mereka malam ini sedikit berubah, menjadi lebih menuntut. Ia juga menginginkan lebih, jadi Isla membuka bibir dan mengundang pria itu masuk. Caleb menerima undangan itu dengan cepat, lidahnya menelusup masuk dan menari bersama lidah Isla, menciptakan bara api yang pelan membakar tubuh Isla dan memenuhinya dengan antisipasi.

Pria itu melepaskan diri dengan enggan tapi bibirnya masih begitu dekat dengan bibir Isla. "Obat terbaik untuk otot yang tegang adalah olahraga."

Lutut Isla terasa meleleh. Ia tahu apa yang dimaksud oleh pria itu. Jantungnya berdebar hebat saat ia menjawab. "Kau bersedia membantuku?"

"It will be my pleasure, Isla."

Lalu pria itu menciumnya lagi.

Kali ini, ciuman Caleb terasa lebih dalam dan bergairah sehingga Isla mulai mengerang. Dengan cepat, ia sudah tersesat dalam ciuman pria itu. Bibirnya membuka dan mengundang lidah pria itu masuk dan sekali lagi lidah mereka menari bersama, saling menggoda dan merayu. Pria itu berbisik, tapi Isla terlalu linglung untuk mendengarkan apapun. Saat ia sadar, pria itu tengah mendorongnya masuk ke dalam kamar tanpa sekalipun memisahkan bibir mereka.

Ciuman mereka terus berlanjut. Pria itu memepetnya ke dinding lalu mereka bergerak menuju ranjang. Mulut pria itu kini turun ke sisi leher Isla, mengecup dan mengisap sementara tangan besarnya yang hangat mulai mengusap dada Isla.

"Oh..." Sensasi itu mengejutkan.

Isla mendesah dan pria itu menjilat sisi lehernya. Membuatnya menggelinjang kecil.

"Caleb..."

"Aku menginginkanmu, Isla."

Tangan pria itu kini berada di ujung sweater yang dikenakan Isla, menariknya ke atas dan ia terkejut saat merasakan telapak panas itu menekan tengah perutnya. Gelenyar tak biasa memenuhi Isla, terasa seperti membakar tubuhnya, menimbulkan lebih banyak gelenyar panas yang membuatnya menggelinjang. Ia terengah saat jari-jari pria itu membelai kulit telanjangnya lalu berkutat dengan kait bra Isla.

'You're a bitch, Isla.'

Ucapan merendahkan itu, dengan nada mengejek bergema tiba-tiba di kepalanya. Itu suara Ethan, mantan kekasihnya yang berengsek itu dan Isla tersentak. Secara refleks, ia langsung mendorong Caleb menjauh. Awalnya, pria itu tampak kebingungan.

"Isla?"

"Aku... aku..."

Tapi saat melihat ekspresi Isla, Caleb mengambil keputusan sendiri. "Maaf, aku tidak bermaksud..."

"Bukan, aku..." Isla berusaha menjelaskan.

Pria itu merutuk pelan lalu bergegas bangkit. Dia menyisir rambutnya dengan jari-jemarinya sementara menatap Isla yang masih berbaring di atas ranjang, kehilangan kata-kata yang harus ia ucapkan.

This is awkward.

"Tidak apa-apa, Isla. Aku tahu ini terlalu cepat. Kau tidak perlu melakukan apapun yang tidak kau inginkan, aku tidak menuntut apapun, oke? Ini bagian dari kesepakatan kita. Good night, Isla."

Tanpa menunggu balasannya, pria itu lalu berderap meninggalkan kamar Isla. Untuk beberapa saat, Isla berbaring di ranjang, tidak tahu apakah Caleb marah atau tersinggung.

Mengapa kau melakukannya?

Pria itu membayarnya. Dan ini baru hari ketiga. Jika Isla menyerah sekarang, bukankah Caleb akan menilainya sebagai wanita murahan?

Apakah itu penting, Isla?

Ethan pernah menuduhnya seperti itu. Berpura-pura jual mahal, berpura-pura menolak padahal ia tak lebih dari seorang lajang.

Pria itu bajingan, Isla. Don't listen to it.

Isla sangat menyukai Caleb. Ia menyukai pertemanan mereka. Ia nyaman berada di samping pria itu. Tapi ciuman malam ini jelas mengubah sesuatu. Isla menginginkan Caleb, mengapa ia harus menolak mengakuinya?

Jangan bertingkah berengsek dan menyiksa kalian berdua. Kau menyakiti hati pria itu, Isla. Kau lihat sinar matanya tadi?

Isla memaki kecil lalu melompat bangun. Sial, ia tidak bermaksud menyakiti pria itu.

Tak sampai sepuluh detik, ia sudah berdiri di depan pintu kamar pria itu dan mengetuk pelan. Caleb membukanya pada ketukan ketiga. Wajah pria itu sungguh tidak bisa ditebak tapi sikapnya masih menunjukkan seorang pria sejati.

"Isla, ada apa?"

"Aku tidak ingin kau berpikir bahwa aku melakukan semua ini karena kau membayarku, tapi karena aku menginginkanmu, Caleb. Apakah kau masih menginginkanku?"

Sebagai jawaban, pria itu menarik Isla ke dalam dan membanting pintu kamar hingga tertutup. Berikutnya, yang Isla sadar, bibir pria itu sudah menekan keras bibirnya. Dan dada Isla seolah meledak oleh gairah.

The Billionaire's Escort - Wanita Bayaran Sang TaipanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang