Happy reading, semoga suka.
Ebook lengkap sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa.
Luv,
Carmen
_______________________________________________________________________________
Mereka kembali ke Range Rover, meletakkan barang-barang bawaan mereka di belakang lalu pria itu berkendara kembali ke vila mereka. Isla melepaskan pakaian ski-nya dan berganti pakaian kering karena pakaian yang dikenakannya basah oleh keringat dan juga salju yang tadi masuk ke balik pakaiannya ketika ia terjatuh.
"Merasa lebih baik?" tanya pria itu saat ia keluar dari kamar tidur mereka.
Isla menerima minuman cokelat panas yang dibuatkan pria itu untuknya dan mendesah pelan. "Tepat ketika aku berpikir aku membuat kemajuan, dan aku sadar ternyata aku masih sama."
Pria menggiringnya ke ruang tamu lalu duduk di depan sofa di dekat perapian listrik. "Jangan berkata seperti itu. Kau sudah membuat banyak kemajuan, Isla. Dan jangan lupa, kau masih pemula, hal-hal seperti itu sangatlah wajar. Jangan menyerah," ujar Caleb mencoba untuk menyemangatinya.
"It's still frustrating," desah Isla. "Kau membuatnya terlihat mudah."
"Itu karena kau tidak tahu bahwa aku sudah berlatih selama lebih dari dua puluh lima tahun. Tentu saja keahlian kita berbeda, Isla. Apa yang kau harapkan?" ujar pria itu sambil tersenyum.
"Apa? Kau sudah bermain ski sejak usia sepuluh?" tanya Isla terkejut.
"Sembilan, sepuluh, kurang lebih di usia itu," jawab Caleb dengan nada ringan.
Isla menggelengkan kepalanya sambil kemudian menyesap kecil minumannya. Ia berpikir saat ia berusia sembilan, sepuluh tahun, saat itu ia sedang bermain boneka, bukannya berkeliling dunia untuk belajar main ski di berbagai tempat. Hidup mereka begitu berbeda, bukan?
"Bagaimana dengan lututmu?" tanya pria itu lagi, masih dengan nada khawatir.
Isla meluruskan kakinya. "Baik-baik saja."
"Baguslah. It was a hard fall. Aku senang kau baik-baik saja."
Isla tersenyum pada Caleb. "Sudah kubilang aku baik-baik saja, kau saja yang terlalu cemas."
Caleb mengangguk. "Aku hanya tidak mau melihatmu cedera. Lagipula, liburan kita masih dua minggu lagi, aku tidak ingin kita menghabiskannya dengan kakimu terbalut gips."
Isla berdecak pelan. "Tentu saja aku juga tidak menginginkannya." Kalau itu terjadi, tentu saja itu akan mengurangi banyak kesenangan mereka di tempat tidur.
"Kurasa kita perlu berhenti bermain ski dulu. Kita bisa mencari kegiatan lain," ujar pria itu tiba-tiba.
"Kau menyerah terhadapku?" tanya Isla agak geli.
"Bukan seperti itu. Aku hanya tidak siap jika disuruh bekerja sendirian di dapur, kecuali mungkin menyiapkan sarapan kita."
Isla tertawa mendengarnya. "Dasar pria."
"Oke, seperti itu saja." Pria itu lalu mengambil gelas dari tangan Isla dan meletakkan keduanya di atas meja kopi. Lalu dengan lembut pria itu mencium bibirnya. "Aku lega karena kau tidak terluka, Isla."
"Aku juga," bisik Isla lalu tangannya memeluk leher pria itu, menariknya mendekat dan memperdalam ciuman mereka.
Dan seperti biasa, setiap kali bibir mereka bertemu, rasanya seperti ada aliran listrik yang menyengat mereka berdua. Memabukkan, pikir Isla. Ia tidak pernah bosan berciuman dengan pria itu. Isla menyingkirkan segala kegelisahan dan kegundahannya dan berfokus hanya pada rasa ciuman mereka. Manis, sedikit pahit karena cokelat, tapi rasanya tetap memabukkan, cita rasa pria itu membuat ciuman mereka bertambah nikmat.
Sementara lidah mereka bertaut dan bibir pria itu mengisapnya keras, tangan Caleb mulai merambah. Isla mengerang saat merasakan tangan pria itu bergerak ke balik sweaternya untuk melepaskan kait bra di depan tubuhnya. Saat tangan pria itu meremas dadanya, Isla mengerang kian keras.
Mereka memisahkan diri sejenak dan terburu melepaskan pakaian masing-masing sampai mereka berdua telanjang, polos tanpa sehelai benangpun. Lalu Caleb memeluknya lagi dan pria itu membenamkan wajahnya di dada Isla. Isla mengerang saat merasakan mulut pria itu yang tengah mengisapnya keras.
"Oh, Caleb... lebih keras lagi," bisiknya sambil memeluk kepala pria itu.
Suara-suara yang dibuat mulut pria itu dan kenikmatan yang tercipta dari bibir Caleb membuat Isla merasa melayang.
Tangan Isla lalu turun dan mencari. Pria itu mendesis saat Isla menemukan apa yang dicarinya. Ia mengelus dan membelai, menggenggam pria itu dan menggosoknya.
"You're killing me, Isla..."
Entah sejak kapan, mereka sudah berguling di lantai. Ia menemukan dirinya di atas pria itu dan dengan senang hati mulai mengeksplor. Ia sudah melakukannya lusinan kali tapi setiap kali terasa lebih menggairahkan dan lebih nikmat dari terakhir kali. Kepala Isla turun, ia mencium dan menjilat leher pria itu, dadanya lalu perut rata Caleb dan terakhir... mulutnya turun untuk membungkus kejantanan Caleb yang sudah menegak untuknya. Kepala Isla lalu bergerak naik turun diiringi dengan gerungan pelan Caleb tapi pria itu tidak membiarkan Isla menyelesaikan apa yang dimulainya. Sedikit kecewa, ia membiarkan Caleb menjauhkannya.
"No, this time, I want you to feel me inside of you."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Billionaire's Escort - Wanita Bayaran Sang Taipan
RomanceBillionaire romance 21+