1. Frustasi

4.1K 190 47
                                    

Zeya Salshabilla Ellena duduk termenung di pojok kamar, tangannya gemetar memegang slip pembayaran yang semakin mendekati tenggat waktu. Biaya kuliah tunggalnya sudah di ambang jatuh tempo, sementara berbagai usaha mencari beasiswa belum juga membuahkan hasil. Kerja sampingannya? Tak cukup untuk menutup jumlah yang semakin membuatnya gelisah. Di saat pikirannya berkelana, sebuah suara akrab tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

"Gue saranin lo ikutan yang ini deh. Dijamin lo bakalan terpilih, secara lo udah cantik luar dalam."

Zeya memandang Lula dengan alis terangkat, menahan kesal. "Ikutan apaan? Jangan aneh-aneh, ya."

Tanpa berkata apa-apa, Lula menyodorkan selembar kertas, senyum di bibirnya terlihat penuh misteri. Zeya menerima kertas itu dengan enggan, matanya kemudian bergerak menelusuri tulisan yang tertera. Seketika matanya membelalak.

"Dibutuhkan segera! Perempuan yang bersedia menjadi istri untuk Mehan Pratama Agaskar, dengan pernikahan yang akan dilangsungkan pada 20 Agustus 2023."

Syarat dan ketentuan:
1. Sedang menjomblo.
2. Siap menguras harta Mehan Pratama Agaskar
3. Bersedia dengan lapang dada

"Gila!" Zeya spontan berteriak setelah membaca brosur itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Gila!" Zeya spontan berteriak setelah membaca brosur itu. Ia tak percaya ada manusia yang benar-benar menempelkan pengumuman aneh seperti ini.

"Lo liat nominal yang dijanjikan ketika jadi istrinya, Ze," Lula mengingatkan, sambil menunjuk angka fantastis di pojok kiri brosur itu.

Zeya menelan ludah, bingung harus tertawa atau marah. "Pasti yang daftar banyak, kan?"

"Coba aja dulu, Ze. Kalau nggak dicoba, kita nggak akan pernah tahu," Lula berucap santai, seperti tidak ada yang salah dengan ide gilanya.

Zeya memicingkan mata, curiga. "Lo kenal sama dia, ya?"

"Tentu aja nggak," Lula menjawab sambil tersenyum licik. "Brosur ini gue dapat dari tante gue. Kebetulan, gue langsung inget lo yang lagi kesulitan duit. Jadi, gue baik hati buat bantu lo."

"Omongan lo bener-bener bikin pengen gue gampar pakai sepatu yang habis keinjek tai ayam, ya," ucap Zeya mendengkus, meski dalam hatinya ia terjebak di antara keinginan untuk menolak dan dorongan kuat untuk menerima dari Lula.

"Udah, ribet amat. Sini gue daftarin lo sekarang," Lula berkata sambil mengetik di ponselnya.

Zeya sebetulnya ingin menolak mentah-mentah, tapi rasa malas untuk berdebat lebih besar. Lagi pula, pikirnya, tidak mungkin dia terpilih di antara ribuan pelamar lainnya.

"Kalau orangnya om-om gimana?" Zeya bertanya ragu.

"Tampang nggak masalah, yang penting duitnya, Ze!" Lula tertawa seraya mengirim email pendaftaran.

Beberapa menit kemudian, ponsel Lula berbunyi, notifikasi email masuk. "Lo diundang interview, Ze!" teriak Lula girang.

Zeya hanya bisa melotot ngeri, tak percaya akan kegilaan ini. "Ini ide paling sinting yang pernah lo punya, La!"

"Ayo, siap-siap biar gue antar lo ke sana."

***

Setelah didorong oleh Lula untuk mandi dan berdandan, Zeya kini berdiri di depan pintu sebuah rumah mewah. Ketika seorang asisten rumah tangga mengantarnya masuk, jantungnya berpacu tak keruan. Rasanya seperti berada di dunia yang salah. Di ruangan itu, seorang lelaki duduk menunduk, memeriksa biodatanya.

"Azizah Salshabilla Ellena," panggil lelaki itu, suaranya tenang namun terdengar tegas.

Zeya terkesiap. "I-iya," jawabnya gugup. Ia benci betapa lemah suaranya terdengar.

"Nama panggilan Jiya, ya?" tanya lelaki itu, dialek medoknya mengagetkan Zeya.

Zeya nyaris tertawa mendengar aksen itu, namun ia berusaha menjaga kesopanan. "Panggilan gue Zeya, Bang."

"Yo ndak masalah dipanggil Jiya juga," lelaki itu tersenyum tipis, seakan menikmati kebingungan Zeya.

"No, literally, panggilan gue Zeya," Zeya menyela, kali ini lebih tegas.

Lelaki itu tertawa kecil, lalu memperkenalkan diri, "Panggil aku Mas, bukan Bang. Aku Mehan Pratama Agaskar."

Zeya terdiam, kebingungan semakin melanda. "Jadi ... ini semua gimana?"

Mehan tersenyum lembut. "Aku suka sama kamu. Mas pilih kamu yang jadi istri mas. Mau, ya?"

Zeya membelalak. "Kok bisa gue? Dari ribuan orang yang daftar, kenapa harus gue?" tanyanya, tak mampu menahan rasa tak percaya.

Dengan senyuman yang tetap hangat, Mehan menjawab, "Jodoh itu misteri. Kadang takdir membawa kita bertemu orang yang tak pernah kita duga. Dan jika sudah waktunya, kita akan disatukan meski terpisah sejauh apapun."

Zeya tertegun mendengar kata-kata itu. Ada sesuatu di dalam dirinya yang tiba-tiba merasa tenang, meski ia tahu situasi ini sangat aneh. Perasaan hangat yang asing merayap di hatinya.

"Jadi, kamu siap jadi istriku, kan?" tanya Mehan penuh harap.

Zeya masih bingung. "Tapi kenapa mas yakin sama aku? Kita bahkan baru ketemu. Gimana kalau aku cuma mau hartanya kamu?"

Mehan tertawa kecil, senyumnya semakin membuat Zeya merasa aneh. "Mas udah lama memperhatikanmu, meski kamu nggak nyadar."

Zeya menatapnya bingung. "Maksudnya, gimana, Mas?"

"Suatu hari nanti, kamu akan tahu, Dek" jawab Mehan dengan senyum misterius, membuat Zeya semakin penasaran namun juga takut akan jawaban dari teka-teki ini.

Brosur Jodoh (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang