3. Restu?

1.6K 120 13
                                    

Zeya menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, perasaan bingung melingkupinya. Ia tak tahu harus memulai dari mana untuk membicarakan pernikahannya dengan Mehan. Sudah lama ia tak menjalin hubungan serius, terutama sejak hubungannya dengan mantan pacar terputus karena perbedaan agama. Pikirannya berkecamuk, namun suara notifikasi dari ponselnya memecah lamunannya.

“Mas Mehan,” gumamnya pelan, matanya menatap nama yang muncul di layar aplikasi berwarna hijau.

"Kenapa tiap hari harus nanyain hal yang sama? Udah makan, udah ini, udah itu ... Bosan," gerutunya, sembari meletakkan ponsel ke atas meja. Ia mulai merasa hubungan itu terlalu monoton, tetapi masih enggan mengambil langkah untuk membicarakan pada Mehan.

Suara langkah pelan terdengar dari luar kamarnya. "Zeya," panggil ibunya lembut.

“Iya, Bunda,” jawab Zeya sopan, segera bangkit dari posisinya ketika ibunya, Nani Anantasya, memasuki kamar dengan senyum hangat. Wajah keibuan itu selalu berhasil membuat Zeya merasa nyaman. Ibunya duduk di sampingnya, memperhatikan dengan penuh kasih.

"Uang kuliah kamu bagaimana, Ze?" tanya Nani, nada suaranya penuh perhatian.

“Sudah Zeya bayar, kok, Bun,” jawab Zeya, tersenyum tipis meskipun hatinya menahan kebohongan kecil. Ia sebenarnya masih kesulitan mengatur uang, tapi tak ingin membuat ibunya khawatir.

Nani mengerutkan dahi, jelas tak sepenuhnya percaya. “Uang kamu cukup, Nak?”

“Alhamdulillah cukup, Bun,” jawab Zeya, berusaha meyakinkan meski sebenarnya ia masih bimbang.

Sejenak, suasana hening. Lalu pertanyaan lain meluncur dari bibir sang ibu, kali ini membuat Zeya semakin gelisah.

“Zeya lagi dekat sama siapa sekarang?”

Hati Zeya tiba-tiba berdebar kencang. Ia belum siap menceritakan hubungannya dengan Mehan. Ia bingung harus mengatakannya seperti apa terhadap orangtuanya.

“Zeya tahukan, Nak, cinta yang sejati adalah cinta yang berlandaskan syariat. Bunda nggak mau dengar lagi kalau kamu pacaran, karena pacaran itu haram. Kalau kamu memang serius, ajak laki-laki itu ketemu Ayah dan Bunda. Kalau dia serius, lebih baik langsung menikah. Bunda nggak rela kamu diajak pergi sama laki-laki yang bukan suamimu.”

"Zeya ngerti, Bun dan Zeya memang lagi dekat sama seseorang untuk jenjang yang lebih serius."

"Siapa orangnya, Nak?" tanya Nani yang wajahnya masih dihiasi rasa terkejut karena putrinya sudah berpikiran untuk ke jenjang serius.

Zeya menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab dengan lirih, “Mehan Pratama Agaskar, Bun.”

Nani terdiam sejenak, lalu bertanya, “Seagama, kan?”

Zeya mengangguk, melihat ibunya tersenyum lembut dan mengusap kepalanya dengan kasih sayang.

“Bunda berharap dia segera datang ke rumah,” kata Nani sambil tersenyum.

“Sebenarnya tadi Mas Mehan mau ke rumah, tapi Zeya belum kasih izin,” jawabnya lirih.

"Dia sudah berniat melamar kamu?"

Zeya hanya bisa meringis sambil mengangguk. Ia belum tahu pasti, tapi sepertinya itulah arah pembicaraan mereka akhir-akhir ini.

Tiba-tiba, Andri, ayah Zeya, masuk ke kamar. “Mehan Pratama Agaskar? Nama itu ayah sering dengar di televisi. Dia yang main di timnas, kan?”

Zeya mengangguk lemah, tak mampu menyembunyikan kegugupannya. Ayahnya yang biasanya santai, kini tampak serius.

“Bilang sama Mehan, ayah ingin bertemu dengannya malam ini,” kata Andri dengan suara tegas.

***
Di tempat lain, Mehan sedang duduk bersama Marsel, sahabatnya. Sambil mengelus kucing putih di pangkuannya, Marsel berkata dengan nada serius tapi bercanda, "Bang Mehan, gue butuh duit cepet, tapi nggak mau jadi babi ngepet. Ada nggak sih, namanya kucing ngepet?"

Mehan tertawa kecil mendengar kelakar temannya itu. "Iyo juga, yo. Kenapa ndak kucing aja? Ndak mencurigakan, malah bisa lebih mudah menipu orang kaya."

Mereka tertawa bersama, menikmati obrolan yang absurd namun menghibur. Namun di balik itu, Mehan tak bisa menghilangkan kegelisahannya. Malam ini, ia akan bertemu orang tua Zeya, dan itu membuatnya sedikit tegang.

***

Malam itu, Mehan tiba di rumah Zeya dengan perasaan campur aduk. Meski gugup, ia tetap menyunggingkan senyum saat disambut hangat oleh keluarga Zeya. Mereka duduk bersama untuk makan malam sebelum membahas hal yang lebih serius.

"Maaf ya, Nak Mehan, makanannya sederhana saja," ucap Nani dengan rendah hati.

"Bagi Mehan, ini sudah lebih dari cukup, Bu," jawabnya sambil tersenyum.

Fadan, adik Zeya yang usil, menambahkan, "Semua ini yang masak Kak Zeya, lho, Bang!"

"Wah, pantesan enak," puji Mehan dengan tulus, membuat Zeya tersipu dan menundukkan kepala.

Setelah makan malam, mereka pindah ke ruang tamu. Andri memulai pembicaraan serius yang membuat Mehan kembali tegang.

“Sejak kapan kenal Zeya?” tanya Andri dengan nada serius.

“Sudah lima bulan, Om. Tapi saya baru punya keberanian mendekati Zeya sekarang,” jawab Mehan dengan tenang.

Andri menatapnya dalam, seolah menilai kejujuran di balik kata-katanya. “Kamu serius dengan anak saya?”

“Saya serius, Om. Saya ingin menjadikan Zeya pendamping hidup saya. Bahkan, saya berniat menikahinya dalam waktu dekat.”

Andri mengangguk. “Sudah menyiapkan apa untuk Zeya?”

Mehan menarik napas dalam, lalu menjawab mantap, “Saya siap menjadi imam yang baik bagi Zeya. Saya akan membimbing dan melindunginya. Untuk kebutuhan finansial, in sya Allah saya mampu memenuhinya.”

Ucapan Mehan membuat Zeya tersipu malu, wajahnya memerah mendengar keyakinan dari lelaki itu.

Andri melanjutkan, “Baiklah, kalau begitu. Saya terima niat baik kamu, Han. Mulai sekarang, kalian bisa urus berkas pernikahan. Kita anggap sudah lamaran. Beritahu orang tua kamu, langsung saja urus akad nanti.”

Mehan tersenyum lega, beban di dadanya seakan terangkat. Akhirnya, perjalanannya menuju pernikahan dengan Zeya mulai terbuka lebar.

Brosur Jodoh (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang