18. Permintaan Mehan

1.1K 71 162
                                    


Kiya duduk melamun di balkon kamarnya. Semilir angin yang mendadak berembus kencang menyadarkannya secepat mungkin.

"Gue nggak bisa gini terus!" Kiya memijat pelipisnya. "Gue harus berubah."

Cklek ....

Kiya melihat ke belakang, Naura kembali membawa secangkir coklat panas yang beberapa menit gadis itu buat di dapur.

Sudah berminggu-minggu Naura tinggal bersama Kiya yang awalnya menghubungi untuk minta ditemani. Hingga akhirnya Kiya curhat tentang semua hal yang ia alami. Untuk saat ini, hanya Naura yang bisa Kiya percaya.

"Nih ...."

Kiya menyeruput cokelat panas itu secara perlahan. Kehadiran Naura memang sangat membantunya untuk sadar kalau ia tidak boleh berlarut-larut karena Mehan sudah membencinya sekarang.

"Gimana? Lo mau, 'kan, ke psikolog?" tanya Naura yang ingin memastikan lagi.

Sebenarnya, Naura sudah menyarankan Kiya untuk pergi pada ahlinya—psikolog. Namun, Kiya masih memikirkannya sejak kemarin.

"Gue mau sembuh, Nau. Tapi, gue malu kalau harus cerita apa yang gue lakukan," kata Kiya yang tampak gelisah.

"Tapi lo mau hidup normal, 'kan? Obsesi terhadap orang atau sesuatu itu menyiksa, Kiya." Naura terus menyakinkan, "Lo bisa sembuh kalau pergi ke psikolog."

Hening sejenak menyelimuti keduanya. Naura terus meyakinkan jika langkah yang ia sarankan benar-benar tepat untuk keadaan Kiya saat ini.

Akhirnya Kiya mengangguk, "Lo antar gue, ya? Gue mau ke psikolog."

Senyuman lebar pun terlukis di wajah Naura, ia senang jika sarannya didengar oleh Kiya. Naura juga berharap, Kiya akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

***
Di sisi lain, hubungan Mehan dan Zeya semakin erat dan romantis. Pasangan suami istri itu juga semakin baik dalam berkomunikasi. Sehingga mereka siap untuk menghadapi masa depan penuh dengan optimisme dan kejadian pahit saat itu menjadi batu loncatan untuk memperkuat cinta mereka.

"Bentar lagi istri Mas bakal resmi jadi sarjana!" Mehan memeluk Zeya dari belakang saat istrinya sedang membereskan banyak kertas-kertas yang berantakan selama proses pengerjaan skripsinya.

"Makasih, ya, Mas. Kamu banyak bantu aku."

Zeya berbalik menghadap Mehan dan mengalungkan tangannya di leher suaminya itu.

"Itu, sih, karena memang kamu yang hebat, bisa selesaikan studi tepat empat tahun," puji Mehan, "Mas bangga sama kamu, Dek."

"Bulan depan kamu udah wisuda. Mas bangga atas pencapaian kamu, Dek," ucap Mehan seraya mengelus kepala Zeya dengan lembut.

"Kok muka kamu kelihatan capek gitu sih." Mehan menyingkirkan anak-anak rambut Zeya yang menutupi jidat istrinya.

"Aku capek gini karena kamu yang buat, Mas," kata Zeya dengan cemberut membuat lelaki itu tertawa.

Zeya menyingkirkan tangan Mehan yang melingkar di perutnya. Namun, lelaki itu malah mengeratkan pelukannya membuat Zeya merengek dengan sikap sang suami.

"Lepas ih, Mas mau pipis ini."

"Masih kangen," kata Mehan memberikan kecupan di pipi kiri Zeya.

"Tiap hari ketemu juga masih aja kangen."

"Kan tadi mas ninggalin kamu sepuluh menit, Dek." Mehan terkekeh yang dibalas putaran bola mata malas oleh Zeya.

"Lepas dong, aku beneran mau pipis ini."

Brosur Jodoh (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang