2. Penasaran

2K 144 17
                                    

Zeya duduk sambil memutar-mutar bolpoin di tangannya, pikirannya melayang pada percakapan terakhir dengan Mehan. Ia mencoba mengingat kapan tepatnya ia pernah berpapasan dengan pria itu. Namun, pikirannya terus buntu, hingga sebuah tepukan di pundak membuyarkan lamunan gadis tersebut.

"Jadi gimana?" Suara Lula membuyarkan keheningan.

Zeya tersentak. "Ish, lo bikin gue kaget aja!" serunya dengan nada kesal.

Lula tertawa kecil. "Salah sendiri, siapa suruh ngelamun."

"Aku pernah ketemu nggak sih sama Mas Mehan?" tanya Zeya, masih diliputi kebingungan.

Lula tertawa lebih keras kali ini. "Hahaha, baru sekali ketemu kok udah manggil 'Mas'? Gercep banget gue lihat-lihat, Ze."

Zeya mengerutkan dahi, merasa tidak nyaman dengan tawa Lula yang semakin keras. Jujur, kalau bisa, ia ingin sekali menukar sahabatnya dengan kandang musang.

"Bisa nggak sih lo jangan ngetawain gue terus?" keluhnya.

"Oke-oke, maaf," kata Lula dengan senyum yang belum hilang dari wajahnya.

"Jadi, gimana? Menurut lo, gue pernah ketemu sama Mehan?"

Lula mengangkat bahu. "Mana gue tahu. Mungkin lo ketemu tapi lupa, atau mungkin lo nggak nyadar."

"Dia bilang sih pernah ketemu, tapi gue sama sekali nggak ingat," Zeya menggelengkan kepala, masih bingung.

"Itu intinya," kata Lula tiba-tiba.

Zeya menatap Lula bingung. "Apa maksudnya?"

"Bukan karena bertemu lantas berjodoh, tapi karena kalian berjodoh, makanya kalian dipertemukan oleh Allah."

Zeya terdiam mendengar penuturan Lula. Di satu sisi, ia ingin membantah, tapi di sisi lain, hatinya sudah setuju dengan lamaran Mehan. Ia tenggelam kembali dalam pikirannya, memikirkan keputusan besar yang telah diambilnya. Keputusan tersebut akan mengubah aspek kehidupan seorang Zeya.

***
Di sisi lain, suasana dapur ramai dengan canda tawa teman-teman Mehan. Mehan, dengan perut yang keroncongan, mencoba menembus kerumunan di pintu dapur.

"Minggir gaes, gue lapar!" serunya dengan nada setengah bercanda, setengah kesal. Tapi tak ada yang menggubris.

"Minggir woi!" teriaknya lagi, kali ini dengan nada lebih tinggi.

Akhirnya, Alfan yang paling peka meminggirkan teman-temannya dan memberi jalan. Mehan segera melesat ke meja makan, melahap makanan yang sudah tersaji.

"Jadi, gimana soal 'brosur jodoh' itu?" tanya Alfan dengan rasa penasaran.

Mehan berhenti sejenak, kemudian dengan mulut penuh makanan ia menjawab, "Udah ketemu orangnya."

"Ditelan dulu kali, Bang," sela Marsel sambil mengambil kursi di sebelah Mehan.

Dengan mulut penuh makanan, Mehan berseru, "Aku laparr, gaes!"

"Yang beda agama beneran udah putus?" tanya Alfan serius.

Mehan mengangguk, menelan makanannya sebelum menjawab, "Udah lama putus. Lagian, apa yang perlu dipertahankan kalau beda keyakinan? Aku nggak tega maksa dia pilih aku atau agamanya. Semoga dia dapet yang lebih baik dari aku."

"Kalau yang ini, udah yakin?" Marsel menyela lagi, mencuri kentang dari piring Mehan.

"Aku ngerasa cocok banget sama dia," kata Mehan, tersenyum lebar sambil mengingat wajah Zeya.

Alfan menepuk bahu Mehan, "Apapun yang lo putuskan, gue dukung. Asal niatnya baik, in sya Allah lancar."

"Aamiin. Terimakasih doanya, Bang."

Marsel, yang selalu suka bercanda, menyela, "Gue mau pantun nih."

"Apaan lagi?" tanya Mehan, sudah siap dengan leluconnya.

"Ke Pacitan beli kaktus, demi persahabatan, pinjam dulu seratus."

Seketika cangkir kosong melayang dari arah Alfan ke arah Marsel yang masih tertawa terbahak-bahak.

***
Sore itu, Zeya dan Mehan berjalan beriringan di kampus setelah Zeya menyelesaikan pembayaran kuliahnya. Mehan tiba-tiba menyodorkan sebungkus permen berbentuk kaki, membuat Zeya menatapnya dengan dahi mengerut.

"Permen?" tanya Zeya bingung.

Mehan terkekeh. "Ini permen kesukaan mas waktu SD."

Zeya mendengus, "Apaan sih, masa dikasih permen? Tukeran coklat kek, biar romantis."

"Ndak, mas ndak mau," jawab Mehan singkat.

"Kenapa? Biar romantis, loh."

Mehan tersenyum, menatap Zeya dengan tatapan yang lembut. "Romantis itu kalau kita tukar tulang, bukan permen."

Zeya menatap Mehan dengan bingung. "Tukar tulang? Gimana caranya?"

"Caranya gampang. Kita menikah. Kamu jadi tulang rusuk mas, dan mas jadi tulang punggung kamu."

Zeya tertawa geli mendengar gombalan Mehan yang tak terduga. Meski ia tahu mereka sudah sepakat untuk menikah, tetap saja mendengar rayuan seperti itu membuatnya tersipu.

Mehan, dengan wajah penuh keyakinan, menyelipkan rambut Zeya ke belakang telinga. "Kamu manis banget kalau ketawa," katanya pelan.

Zeya merasa pipinya memanas. Kemudian, Mehan dengan santai memasangkan jepit rambut lucu yang dibelinya untuk Zeya. "Pakai ini, kamu tambah lucu," tambahnya.

"Mas, jangan gitu ah," gumam Zeya, merasa semakin salah tingkah.

"Mas cuma nggak mau lihat kamu kepanasan," kata Mehan seraya memasangkan topi di kepala Zeya.

Mereka berjalan beriringan, Mehan menawarkan tangannya yang langsung disambut Zeya dengan canggung. Dalam hatinya, Zeya merasa, meski baru mengenal Mehan, ada sesuatu yang membuatnya yakin. Mungkin Lula benar, jodoh memang datang dengan cara yang tak terduga.

Brosur Jodoh (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang