Mehan semakin merasa ragu dengan Zeya, sehingga ia memilih untuk mengasingkan diri. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Mehan memutuskan untuk meninggalkan rumah. Entah benar atau salah, yang jelas, kepergian Mehan adalah upaya untuk menenangkan perasaannya.
Zeya merasa sangat bingung setelah Mehan tidak pulang ke rumah selama satu hari penuh. Pada hari pertama ketika Mehan tidak muncul, Zeya mencoba menghubungi suaminya dengan mengirim pesan singkat, namun tidak mendapatkan respons dari sang suami.
Zeya :
[Mas, kamu ke mana? Kenapa nggak pulang?][Mas, kita bisa selesaikan permasalahan ini dengan kepala dingin bukan malah pergi gitu aja.]
Mehan mengabaikan pesan yang dikirim oleh sang istri, bahkan tanpa membacanya.
"Apa gue harus nanya ke Marsel atau Bang Alfan?" pikir Zeya. Ia merasa kehilangan, dan yang tahu posisi Mehan tentunya hanya dua laki-laki itu saja.
Saat jarinya mulai mengetikkan pesan pada Alfan, Zeya tiba-tiba terdiam. Pikirannya melayang jauh, merenungi pesan yang akan ia kirimkan. Setelah sejenak berpikir, ia memutuskan untuk menahan diri dan menghapus semua pesan yang sudah ditulis.
"Tapi ... gue nggak mau masalah rumah tangga ini diketahui orang-orang. Sekalipun orang terdekat Mas Mehan." Zeya membatin lagi, ia menimbang banyak hal sebelum memutuskan mencari Mehan melalui orang terdekatnya.
"Tapi gue harus gimana buat cari Mas Mehan? Gue nggak tahu ke mana tempat yang biasa dia datengin!" Zeya kelimpungan.
Gadis itu mondar-mandir memikirkan solusi lain. Kepalanya sudah penuh dengan banyak teka-teki yang membuatnya pusing. Yang lebih membuatnya resah adalah tuduhan dari Mehan yang menyebutnya berselingkuh. Hati dan pikiran Mehan kacau karena tuduhan tersebut, membuatnya semakin sulit berkonsentrasi.
"Bisa-bisanya Mas Mehan berpikir jauh tentang gue sama Maleo. Lagipula, dia harusnya nggak tahu siapa Maleo." Zeya menggigit kukunya sebagai tanda kalau ia sudah sangat gelisah.
Tidak mendapatkan respon dari suaminya. Zeya memilih duduk sejenak untuk merenung langkah apa yang akan ia ambil. Ia menatap tumpukkan kertas yang di atas meja.
"Gue nikah juga karena Mas Mehan bayarin kuliah gue. Karena masalah ini, gue belum ada revisi dan belum turun lagi ke lapangan. Seharusnya gue lebih cepat selesaikan skripsi gue, biar Mas Mehan nggak harus bayar UKT gue lagi di semester depan."
Zeya bangkit dari duduknya lalu menyusun kertas-kertas miliknya untuk dimasukkan dalam tas. Ia sudah memutuskan untuk turun ke lapangan melakukan dokumentasi dan wawancara kembali untuk melengkapi data penelitiannya.
"Mas, Zeya bakalan segera siapin kuliah Zeya. Setelah kuliah ini selesai, terserah Mas Mehan mau gimana," lirihnya seraya menyeka air matanya.
Zeya memasuki Gramedia dengan membawa tas berisi buku dan peralatan penelitian. Ia berjalan menuju bagian penjualan buku, mencari supervisor yang telah disepakati sebelumnya untuk diwawancarai. Setelah beberapa saat mencari, ia menemukan supervisor yang sedang sibuk mengatur tumpukan buku di rak.
"Selamat siang, Pak Budi," sapanya dengan tersenyum.
Pak Budi membalas sapaan Zeya dengan senyuman ramah. "Siang, Zeya. Ayo kita di sana untuk melakukan wawancaranya," katanya sembari berjalan ke tempat yang dimaksud yang diikuti oleh Zeya.
Mereka duduk di area nyaman di sudut toko, di sekitar rak buku terbaru.
"Kamu baik-baik aja, Zeya? Saya lihat wajah kamu pucat."
"Saya baik-baik aja kok, Pak. Ini efek nggak dandan pas ke sini hehe. Kebanyakan begadang juga makanya muka saya kusam begini, Pak," kata Zeya seraya menyengir kuda.
"Oh begitu. Mahasiswa akhir emang sering begadang untuk mengerjakan tugas. Saran saya, tetap penuhi istirahat dan rajin makan, supaya kamu gak tumbang."
Zeya mengangguk. "Terimakasih sarannya, Pak."
"Oke, jadi apa yang mau Zeya tanyakan ke saya."
"Gini, Pak. Bagaimana Gramedia menghadapi tantangan dalam meningkatkan penjualan, terutama di era digital ini?"
"Kami berfokus pada strategi pemasaran yang lebih terintegrasi. Kami mengadopsi kampanye online dan offline yang saling melengkapi, seperti mengadakan diskon eksklusif online untuk pelanggan setia yang dapat mereka gunakan di toko fisik."
Zeya mencatat dengan cermat setiap kata yang diucapkan oleh Pak Budi.
"Bagaimana dengan interaksi langsung dengan pelanggan di toko? Apakah ada inisiatif khusus untuk meningkatkan keterlibatan mereka, Pak?"
"Kami memiliki program diskusi buku rutin dan acara penandatanganan penulis terkenal. Selain itu, kami juga mengadakan kelas-kelas baca dan workshop yang menarik bagi pelanggan kami."
"Menarik sekali. Bagaimana Bapak menilai efektivitas strategi-strategi ini dalam meningkatkan penjualan?"
"Kami terus memantau data penjualan dan umpan balik dari pelanggan. Melalui analisis tersebut, kami dapat menyesuaikan dan meningkatkan strategi kami untuk mencapai hasil yang lebih baik."
Zeya mengucapkan terima kasih pada Pak Budi atas waktunya dan mencatat beberapa poin penting sebelum berpamitan. Setelah itu, ia bertemu dengan salah satu pengunjung untuk mendapatkan sudut pandang mereka tentang pengalaman berbelanja di Gramedia.
Sesampainya di rumah, Zeya masih belum melihat tanda-tanda kehadiran sang suami. Bahkan, pesannya juga masih belum bercentang dua biru.
"Kok kepala gue pusing banget sih, tapi gue nggak bisa tidur kepikiran Mas Mehan terus," keluhnya.
"Mas please balas pesan Zeya," lirihnya ketika kembali mengirimkan pesan kepada suaminya.
Malam ini kembali ia lalui dengan kesendirian. Zeya tentu tidak bisa tidur, matanya terjaga selama berjam-jam. Bisa jadi, kalau hal itu dilakukan terus menerus dan berulang-ulang, dalam kurun waktu tiga hari saja Zeya sudah langsung tumbang.
Di ruang dan waktu yang lain, Mehan berulang kali menghela napas. Punggungnya diusap lembut oleh tangan mungil yang halus. Ia Kiya, sengaja menemui Mehan dan berniat menenangkan lelaki itu. Padahal, ia hanya mengambil kesempatan dalam kesempitan saja.
"Karena aku bilang Zeya kemungkinan selingkuh, kamu pasti kepikiran sampai pergi sejauh ini, ya, Mehan?" tanya Kiya dengan nada sedih.
Mehan melihat. Benar. Hanya Kiya yang mengetahui ke mana Mehan pergi dan mengapa ia sampai harus pergi meninggalkan istrinya. Kiya pura-pura simpati, padahal dibalik wajah palsunya itu dia tersenyum penuh kemenangan.
"Aku nggak pernah nyalahin kamu, Kiya." Mehan menatap dengan sendu. "Aku masih nggak tahu benar atau salah, tapi semua bukti yang kamu tunjukan mengarah ke fakta yang kamu bilang sejak awal."
Kiya mengangguk paham, "Kamu udah tanya ke Zeya langsung?"
"Udah." Mehan berdehem. "Karena itu aku bertengkar sama dia. Dia nggak ngaku."
"Aku juga minta dia milih aku atau Maleo," sambung Mehan.
Namun, Kiya justru tertawa jahat. Mehan sempat bingung dengan respon tak wajar seperti itu.
"Namanya orang selingkuh, mana ada yang mau ngaku, Mehan."
Mehan menghela napas panjang mendengar ucapan dari sahabat lamanya tersebut. Pikiran Mehan benar-benar kacau saat ini, ia belum tahu akan mengambil langkah seperti apalagi.
"Kalau Zeya milih Maleo, kamu harus ikhlas melepaskan Zeya, Han. Kamu nggak pantes buat disakitin seperti ini," kata Kiya sembari mengusap punggung tangan Mehan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brosur Jodoh (END)
RomanceZeya Salshabilla Ellena, putri sulung dalam keluarganya, dihadapkan pada dilema besar: mencari cara untuk melanjutkan kuliah tanpa harus membebani keluarganya yang sedang kesulitan finansial. Tak berani meminta uang untuk membayar tunggakan kuliahny...