9. Perubahan Sikap

723 62 93
                                    


Pagi itu, Zeya melangkah ke kampus dengan semangat yang membara. Meskipun biasanya ia mengikuti bimbingan skripsi secara daring dari Jepang, namun kali ini situasinya berbeda. Berada di Indonesia, Zeya memutuskan untuk memanfaatkan kesempatan langka ini dengan menghadiri bimbingan skripsi tatap muka bersama dosen pembimbingnya di kampus.

Dengan langkah pasti, Zeya mengetuk pintu ruang dosen pembimbingnya. Suara pintu terbuka mengundangnya masuk, dan tanpa ragu, ia memasuki ruangan yang dipenuhi aura akademis. Senyuman hangat menyambut kedatangannya, menandakan bahwa dosen pembimbingnya sudah menanti kehadirannya.

"Ibu lihat kamu makin cantik, ya, Zeya. Bahagia dengan pernikahannya, kan, Nak?"

Kalimat itu yang pertama kali keluar dari Bu Jingga, selalu dosen pembimbing skripsi Zeya. Zeya yang mendapatkan pertanyaan tersebut tentu saja tersenyum malu-malu.

"Alhamdulillah bahagia, Bu."

Bu Jingga tersenyum. "Ibu senang dengarnya, Zeya. Ibu doakan pernikahan kamu akan selalu dihiasi kebaikan dan kebahagiaan," ucapnya tulus.

"Aamiin ya rabbal alaamiin. Terimakasih doa terbaiknya, Bu untuk Zeya."

Bu Jingga mengangguk dibarengi senyuman menanggapi ucapan Zeya. Kemudian, dengan tenang, ia mengambil kacamata dari meja dan menempatkannya di hidungnya, menunjukkan kesiapan untuk memberikan koreksi terhadap skripsi yang telah dikerjakan oleh Zeya. Bu Jingga memperhatikan setiap detail dalam skripsi Zeya, menyoroti setiap argumen dan struktur kalimat dengan cermat. Setiap sudut pandang dan asumsi diselidiki dengan teliti, sementara solusi-solusi alternatif diperkenalkan untuk memperkaya argumentasi yang dibangun oleh Zeya.

"Seharusnya tabel tidak boleh terpotong, Nak. Terus ibu masih lihat ada typo dalam skripsi kamu ini. Coba untuk bab 5 bagian pembahasan kamu lebih detail lagi buatnya. Lakukan wawancara lebih dalam lagi ke informan. Zeya kan pakai metode penelitian kualitatif seharusnya halamannya lebih banyak dari kuantitatif."

"Kamu pakai teori Promotion Mix yang delapan itukan, Nak. Nah, dari permasalahan yang terjadi kan kamu analisis dengan teori tersebut, jika kondisi lapangan tidak sama dengan teori yang kamu pakai itu tidak masalah, jadi jangan dipaksa hasil penelitian kamu sesuai dengan teori yang kamu pakai. Misalnya, ini mobile marketing perusahaan mereka tidak memakainya, tidak apa-apa berarti dari teori Promotion Mix ini yang ada di dalam perusahaan itu hanya ada advertising, sales promotion, direct marketing, PR and publicity, personal selling, event and experience, online marketing. Jadi, tulis hasil kamu yang sesuai dengan kenyataan di lapangan, ya."

Bu Jingga memberikan beberapa catatan pada setiap halaman skripsi yang direvisi. Terlihat Zeya memerhatikan dengan seksama penjelasan dari dosennya tersebut.

"Kalau bisa Zeya semester ini bisa langsung sidang, ya. Supaya tahun depan tidak bayar UKT lagi," ucap Bu Jingga setelah selesai memberikan koreksi terhadap skripsi Zeya.

"Saya usahakan, Bu."

"Ibu yakin kamu bisa," ucap Bu Jingga seraya tersenyum.

Setelah sesi bimbingan berakhir, Zeya dengan ramah mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbingnya sebelum pamitan. Saat ia meninggalkan ruangan, dia disambut oleh cengiran dari Lula, yang memancarkan keceriaan khas gadis cantik itu.

"Kenapa nyengir lo?"

"Dih, terserah gue. Yuk, ke kantin," kata Lula yang langsung menggandeng lengan Zeya.

"Gue harus pulang, Lul. Sekarang, gue ada suami kan. Lo nggak lupa?"

Lula cemberut mendengar ucapan dari sahabatnya tersebut. "Jadi langsung pulang nih?"

"Iya, lain kali kalau gue ada waktu luang kita main bareng lagi, ya. Jangan cemberut kayak gitu."

Lula juga tidak bisa egois untuk menginginkan Zeya selalu ada untuknya karena Zeya sudah memiliki status yang berbeda saat ini.

"Iya, gue ngerti kok," katanya seraya tersenyum.

***
Mehan awalnya merasa ragu dengan kata-kata yang diucapkan oleh Kiya mengenai Zeya. Bahkan, Lula sejak awal menyatakan bahwa Zeya adalah seorang gadis yang baik. Namun, kecurigaan Mehan timbul ketika ia melihat sang istri sering kali sibuk dengan handphonenya.

Meskipun begitu, Mehan bukanlah jenis lelaki yang suka kepo. Oleh karena itu, ia tidak pernah berniat untuk ingin tahu apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh Zeya dengan handphonenya.

Di sisi lain, Zeya juga melihat Mehan saat ini yang lebih sering diam dan jarang menggodanya dengan serangkaian kalimat-kalimat semanis madu. Sikap cuek yang ditunjukkan oleh Mehan membuat Zeya merasa kebingungan.

"Mas, kamu mau makan apa malam ini?" tanya Zeya dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.

Mehan yang sedang asyik menonton pertandingan bola, sekilas memalingkan pandangannya sebelum kembali terfokus pada tayangan tersebut.

"Nggak usah, kamu pasti capek pulang dari bimbingan seharian ini."

Tidak lagi terdengar panggilan 'Dek' yang biasa Mehan gunakan setiap berbicara dengan Zeya. Hal ini menyebabkan Zeya merasa kesal dan bingung atas sikap suaminya.

"Nggak, kok. 'Kan kamu tahu dosennya itu baik, jadi aku nggak kerepotan nyari beliau," ujar Zeya yang kemudian mengambil posisi duduk di samping Mehan.

"Nggak usah. Mending kamu mandi aja, ya. Lagian aku belum lapar," kata Mehan dengan cuek.

"Nanti kan bisa mandinya. Kamu kenapa sih?" tanya Zeya dengan pandangan serius.

"Aku baik-baik aja, kan kamu bisa lihat sendiri kalau aku nggak sakit. Sekarang kamu nurut, mandi sana!" perintah Mehan yang tidak terbantahkan.

"Tapi ...,"

"Zeya Salshabilla Ellena!" Tegas Mehan menyebutkan nama istrinya dengan lengkap membuat Zeya tidak dapat berkutik.

Zeya merengut kesal, bahkan menghentakkan kakinya dengan kuat ke lantai. Ia ingin menegaskan bahwa ia memiliki hak untuk merasa marah karena diabaikan begitu lama.

"Mas mau cari tahu semuanya dulu, Dek. Mas nggak bisa dekat-dekat sama kamu sebelum semuanya terbukti." Mehan membatin, ia menyadari istrinya yang kesal.

Setelah berlalu belasan menit, Zeya menyelesaikan bersih-bersihnya sementara Mehan masih tetap terpaku pada layar televisi.

"Mas, makan nasi goreng seafood, yuk," ajak Zeya, ia bahkan langsung menggandeng Mehan.

Ternyata reaksi suaminya kurang menyenangkan, Mehan dengan gerakan lembut menjauh dari Zeya sebelum akhirnya ia bersuara.

"Aku kebelet, Ze. Sebentar, ya."

"Mas, beneran kebelet apa menghindar dari aku?" Zeya menahan lengan suaminya lalu menatap Mehan menuntut penjelasan.

"Yakali, aku ngehindar dari kamu. Ini beneran, Ze aku kebelet. Bentar, ya," ucap Mehan seraya melepaskan tangan Zeya yang ada di lengannya.

Zeya memperhatikan dengan heran saat Mehan dengan cepat menyambar handphonenya. Selama mereka tinggal bersama, Zeya selalu menyadari bahwa suaminya jarang membawa handphone saat pergi ke kamar mandi. Tetapi, saat ini, Zeya terkejut melihat Mehan selalu membawa handphonenya ke mana pun ia pergi, yang membuatnya merasa curiga.

"Kenapa Mas Mehan selalu membawa handphone-nya kemana-mana?" gerutu Zeya. "Apa yang dia sembunyikan?"

Zeya menggerutu sambil bertanya-tanya tentang alasan Mehan yang membawa handphone-nya kemana-mana, menyiratkan rasa penasaran yang belum terpecahkan.

"Emangnya di dalam dia ngapain? Nonton YouTube gitu," tambahnya dengan raut wajah kesal.

Brosur Jodoh (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang