Hari pertandingan yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Zeya dan Lula, dengan antusias yang tak terbendung, bergegas menuju Stadion Gelora Bung Karno untuk memberikan dukungan penuh mereka kepada tim nasional. Suasana di sekitar stadion begitu meriah, penuh dengan energi para suporter yang berkumpul dari berbagai penjuru negeri. Euforia terasa di udara, membuat setiap langkah mereka terasa ringan dan penuh harapan.
“Seru banget, ya, Lul! Ini pertama kalinya kita nonton timnas langsung di stadion,” kata Zeya, matanya berbinar-binar penuh kegembiraan.
Lula, yang sama bersemangatnya, mengangguk penuh setuju. “Iya, Ze! Ini bakal jadi momen yang nggak terlupakan. Ayo kita dukung Bang Mehan dan timnas sampai menang!” serunya dengan penuh antusias.
Di tengah hiruk-pikuk sorak-sorai dan tepuk tangan suporter, Zeya tiba-tiba merasakan angin dingin berhembus, seolah menyentuh jiwanya di antara panasnya semangat yang mengisi stadion. Ia menoleh, dan di sana, berdiri Kiya dengan tatapan dingin dan senyum sinis yang menghiasi wajahnya.
“Jadi, lo serius nih, mau private hubungan lo sama Mehan?” ejek Kiya dengan tatapan sini.
Zeya tetap tenang, meskipun hatinya terasa tertusuk. “Private atau nggak, itu bukan urusan lo, Kak. Kita di sini buat dukung timnas, bukan bahas masalah pribadi.”
Kiya tersenyum meremehkan, matanya menyiratkan rasa puas. “Harusnya Mehan sama orang yang lebih pantas, yang bisa menghargai keberadaan dia.”
Meskipun hati Zeya terasa tersayat oleh kata-kata Kiya, dia memilih untuk tidak bereaksi berlebihan. Fokusnya tetap pada pertandingan yang tengah berlangsung di hadapannya. Namun, Kiya tidak menyerah begitu saja, terus-menerus melontarkan komentar tajam.
"Zeya, lo itu nggak cocok buat Mehan. Mantan Mehan pada cantik-cantik dan berkelas. Apa ini sebabnya, lo nggak berani pamer hubungan di sosmed, takut dibandingin sama mantan-mantan Mehan?”
Rasa sakit mulai menjalari hati Zeya, tapi dia tetap bertahan. Dengan napas panjang, dia berkata, “Biarin aja. Yang penting, hati Mas Mehan dan hati gue saling mencintai.”
Pertandingan semakin memanas di lapangan, tapi gangguan dari Kiya membuat Zeya kesulitan menikmati setiap momen. Lula, yang memperhatikan kegelisahan sahabatnya, berbisik menenangkan, “Ze, fokus aja ke pertandingan. Kita ke sini buat dukung timnas, jadi anggap aja dia tunggul.”
Kiya, yang merasa menang, tersenyum puas. Namun, Zeya tetap berusaha kuat, menolak terjebak dalam drama yang Kiya coba ciptakan. Pertandingan berakhir dengan kemenangan manis untuk timnas, dan Zeya serta Lula keluar stadion dengan hati yang lega, meski ada sisa ketidaknyamanan akibat interaksi dengan Kiya.
Di luar stadion, suasana malam Jakarta yang ramai menyambut mereka. Zeya dan Lula memutuskan untuk makan di sebuah warung nasi goreng di dekat stadion. Sementara Mehan masih bersama tim, menyelesaikan tugasnya sebagai pahlawan lapangan. Lula berusaha menghibur sahabatnya.
"Ze, jangan terlalu dipikirin ya. Kiya cuma mau bikin masalah. Kita di sini buat nikmatin kemenangan timnas, bukan dengerin omongan orang yang nggak penting," kata Lula, menepuk pundak Zeya dengan penuh pengertian.
Zeya tersenyum lemah. “Iya, Lul, lo bener. Omongan Kak Kiya gak usah dipikirin. Toh, yang penting Mas Mehan dan gue bahagia.” Ia terkekeh kecil, mencoba mengalihkan pikirannya dari kejadian tadi.
“Keren banget selebrasi Mehan tadi, ya. Gue nggak nyangka dia bakalan pamer gaya tidur lo di depan seluruh stadion,” kata Lula sambil tertawa mengingat momen unik itu.
Zeya ikut tertawa, meski dengan sedikit malu. “Iya, gue juga nggak expect dia bakal selebrasi kayak gitu. Rasanya malu, tapi sekaligus bangga,” ujarnya dengan pipi memerah.
***
Akhir pekan itu, Zeya dan Mehan berencana menghabiskan waktu bersama di sebuah mall besar di Jakarta. Mereka berniat mencari sepasang sepatu baru untuk Mehan, namun rencana itu seketika berubah ketika mereka secara tak sengaja bertemu dengan Selina, mantan pacar Mehan.Selina tersenyum cerah, menyapa Mehan dengan ramah. Zeya, yang berdiri di samping suaminya, merasakan ada ketegangan yang tak bisa diabaikan. Meski Mehan berusaha menjelaskan bahwa itu hanya kebetulan, rasa cemburu mulai merayapi hati Zeya.
“Kok bisa sih kita ketemu sama Selina di sini?” tanya Zeya dengan nada yang sulit disembunyikan kecemburuannya.
Mehan mencoba menenangkannya. “Tenang, Sayang, ini cuma kebetulan. Lagian, Mas sama dia udah lama putus.”
Zeya tetap merasa tak nyaman. “Iya, tapi kelihatannya dia seneng banget ketemu Mas. Bahkan, sapaannya terlalu heboh,” komentarnya
Mehan tersenyum lembut, mencoba mengusir kekhawatiran istrinya. “Kita sekarang cuma temenan biasa kok. Kamu nggak perlu khawatir, di hati Mas cuma ada kamu.”
Meskipun Mehan berusaha meyakinkan, Zeya tetap saja merasa terusik. Namun, senyuman manis Mehan dan cara lembutnya merangkul Zeya, supaya wanitanya tidak marah lagi.
Ketika mereka meninggalkan toko sepatu tanpa membeli apapun, Zeya masih saja melontarkan sindiran, “Jangan-jangan si Selina juga suka makan di tempat makan favorit Mas. Nanti kalau ketemu dia lagi, pasti Mas nyahut, ‘Hai juga, Selina’.”
Mehan tak bisa menahan tawa, lalu ia merangkul Zeya erat, mengelus rambutnya dengan penuh kasih. “Sayang, kamu masa depanku. Selina hanyalah masa lalu yang sudah terkubur. Jangan cemburu lagi, ya.”
Zeya akhirnya tersenyum, meski masih malu-malu. Cemburunya perlahan menghilang, tergantikan oleh rasa hangat karena perhatian Mehan. Di malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama, menikmati cinta yang mereka miliki—tak peduli pada bayang-bayang masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brosur Jodoh (END)
RomanceZeya Salshabilla Ellena, putri sulung dalam keluarganya, dihadapkan pada dilema besar: mencari cara untuk melanjutkan kuliah tanpa harus membebani keluarganya yang sedang kesulitan finansial. Tak berani meminta uang untuk membayar tunggakan kuliahny...