15. Harus Berjuang?

768 73 170
                                    

Marsel kembali menjelaskan kronologi nya kepada Mehan mengenai Zeya yang sudah berjuang keras mencari bukti untuk membantah tuduhan dari Mehan.

"Zeya dapat semua bukti terus minta gue buat selidiki lebih lanjut, Bang. Jadi, kalau lo belum puas sama pengakuan Kiya, lo bisa nemuin Zeya. Dia juga udah punya rencana buat mempertemukan lo sama Maleo," jelas Marsel. "Yang pasti, Maleo itu cuma teman dekatnya Zeya."

Mehan memijat pelipisnya yang terasa nyeri karena rentetan kejadian yang membuat perasaannya berantakan. Ada rasa marah, sesal, dan takut menjadi satu.

"Aku nggak bisa memaafkan kamu, Kiya." Mehan berkata dingin.

"Mehan, aku ...."

"Cukup! Kamu perempuan jahat yang pernah aku temui. Gara-gara kamu, hubungan aku dengan Zeya berantakan. Puas kamu buat hidup aku kayak gini?"

Jika Kiya bukan seorang perempuan. Rasanya, Mehan ingin melampiaskan rasa amarah, kecewa dan kesalnya dengan memukul Kiya saat ini juga. Namun, Mehan menahan dirinya untuk tidak melampiaskan emosinya dengan kekerasan fisik.

"Aku bodoh percaya sama perempuan keji kayak kamu! Setelah ini, aku tidak ingin melihat kamu lagi. Detik ini, aku akan anggap kamu udah mati!"

Kiya menunduk dalam-dalam karena takut dengan tatapan tajam Mehan yang pertama kali ia lihat. Ketika Mehan ingin pulang, lelaki itu menarik Lula lebih dulu meninggalkan Marsel dan Kiya.

"Di mana istriku?" tanya Mehan dengan wajah lelah.

"Lah, lo yang suaminya kenapa nanya gue deh?" Lula menatap Mehan dengan alis terangkat satu.

Mehan mengusap wajahnya kasar, "Aku emang salah, Lul, tapi jangan menyembunyikan Zeya," ujarnya lemah.

"Dih, siapa juga yang nyembunyiin Zeya."

"Atau benar Zeya be---,"

"Apa? Mau bilang Zeya sama Maleo!" Lula melotot marah kepada Mehan membuat lelaki itu meringis.

Merasa kesabaran Lula sudah habis. Gadis itu langsung menampar wajah Mehan dengan keras sehingga terdengar suara. Tentu saja, wajah Mehan kini sudah terdapat cap tangan dari Lula.

"Lo bener-bener gila, ya, Bang! Bisa-bisanya lo percaya sama omongan Kiya ketimbang omongan istri lo sendiri. Gue nyesel udah buat Zeya nikah sama lo, kalau akhirnya sahabat gue tersakiti kayak gini. Sakit, ya, tamparan gue? Tapi itu nggak sebanding sama rasa sakit yang dialami sama Zeya."

Lula mengeluarkan seluruh unek-uneknya terhadap Mehan. Bahkan mendorong tubuh lelaki itu dengan keras membuat Mehan yang tidak siap menahan tubuhnya pun terhuyung ke belakang. Tak sampai situ, Lula memberikan tonjokan ke wajah Mehan.

"Gue kesel banget sama lo, Bang! Sialan, bisa-bisanya nyakitin Zeya!" Lula berteriak kesetanan.

Melihat Lula yang akan mengamuk lebih brutal membuat Marsel langsung berlari mendekati gadis itu. Ia tahan kedua tangan Lula, tetapi gadis itu terus memberontak sehingga suara Zeya menghentikan pergerakan Lula.

"Udah, Lul. Jangan sakitin Mas Mehan lagi."

Melihat kehadiran istrinya membuat Mehan meneteskan air matanya. Rasa khawatir akan kepergian sang istri sudah lenyap, digantikan rasa senang yang terbalut penyesalan.

"Lo masih bisa baik sama suami modelan Bang Mehan, Ze?" Lula menatap Zeya marah.

"Siapa bilang? Gue berhentiin lo buat sakitin Mas Mehan karena gue mau ngambil alih."

Senyuman sinis tercetak di wajah Zeya. Setelah puas memberikan pelajaran kepada Kiya, tentu saja Zeya harus memberikan pelajaran kepada suaminya.

"Mas takut kehilangan kamu, Dek. Mas udah tahu semua kebenarannya. Mas tahu, mas udah melukai kamu. Maafkan mas, ya." Penuh sesal yang membuatnya sesak saat bicara dengan Zeya.

"Mas menyesal. Mas tahu kamu pasti nggak bisa maafkan sikap Mas yang pergi lama-lama dari kamu, nggak memikirkan perasaan kamu, nggak dengerin sem—"

"Udah, Mas. Aku memang kecewa sama sikap Mas, karena kamu lebih percaya ucapan Kiya dibandingkan istri kamu sendiri. Kamu pikir, aku bisa terima begitu aja atas tuduhan kamu? Enggak, Mas! Bahkan aku sampai sakit karena itu semua."

"Dek ...,"

Zeya maju lalu menampar wajah Mehan sebelah kiri yang belum sempat ditampar oleh Lula. Lula yang melihat itu tentu senang karena Zeya mau memberikan pelajaran kepada Mehan.

"Sakit, Mas? Haha, itu nggak sebanding sama yang aku rasain beberapa Minggu ini."

Kembali Zeya menampar wajah sang suami membuat Mehan meringis. Zeya sebenarnya tidak tega, tetapi ia sangat kesal kepada Mehan yang tidak percaya padanya.

"Kalau kamu bosan sama aku, pulangin aku ke rumah ayah dan bunda dengan cara baik-baik seperti kamu meminta aku kepada mereka dulu. Bukan malah percaya sama omongan perempuan setan!"

Mehan menggeleng dengan tegas, "Mas nggak pernah bosan sama kamu. Selamanya, Mas cuma mau sama kamu, Dek. Mas janji ini yang terakhir kalinya mas percaya dengan omongan orang lain yang menjelekkan kamu," ucap Mehan sungguh-sungguh.

"Sayangnya, kecewa aku udah terlalu dalam, Mas. Istri mana yang nggak khawatir kalau nggak dapat kabar dari suaminya? Istri mana yang sanggup dituduh selingkuh sama suaminya sendiri? Jawab aku, Mas!" Bentak Zeya.

Kini keduanya saling menatap dengan wajah yang sudah banjir air mata. Mehan dengan rasa penyesalan sedangkan Zeya dengan rasa kecewanya.

"Mas memang bodoh, Dek nggak percaya kamu. Maafkan sikap mas. Mas memang terlalu buruk jadi suami kamu, tapi izinkan mas untuk memperbaiki kesalahan mas, ya. Mas minta kesempatan kedua."

Zeya mengusap air matanya kasar lalu terkekeh, "Kesempatan kedua untuk nyakitin Zeya?"

Mehan langsung menggeleng, "Nggak, Dek. Mas janji akan membahagiakan kamu dan nggak buat kamu terluka lagi," ujarnya dengan bola mata berkaca-kaca.

Zeya mengangguk-angguk lalu menatap dengan sorot mata serius, "Kalau Mas serius maka lakukanlah, tapi malam ini aku belum bisa pulang ke rumah. Aku mau tidur di rumah Lula dalam beberapa hari. Aku butuh waktu untuk menata hatiku," ucap Zeya.

"Dek, kamu nggak akan meninggalkan mas, 'kan?" Mehan mengejar Zeya yang menjauh dari dirinya.

"Tergantung seberapa besar kamu perjuangin aku, Mas."

Melihat Zeya masuk ke dalam mobil bersama Lula membuat Mehan menghela napas panjang. Marsel langsung mendekati lelaki itu. Ia merangkul Mehan.

"Sebenernya gue mau bilang lo tolol, Bang, tapi gue juga nggak bisa jauhin lo di saat kayak gini. Sebagai adek dan sahabat, gue cuma mau bilang. Lain kali, lo harus bisa memilah mana yang baik dan buruk. Ondel-ondel kok dipercaya." Marsel terkekeh membuat Mehan hanya diam, tidak berniat menanggapi ocehan Marsel.

"Pulang, ayo. Ngapain di sini?" Marsel menarik tangan Mehan.

"Tapi, gimana dengan istriku?"

"Zeya bakalan baik-baik aja di rumah Lula. Sekarang, lo butuh istirahat kan karena baru balik juga dari Solo. Jangan sampai drop, nanti nggak bisa perjuangin Zeya loh," ucap Marsel terbahak membuat Mehan merotasikan bola mata malas.

Brosur Jodoh (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang