16. Perlahan Membaik

870 81 172
                                    

Zeya merasa bersalah ketika bersikap terlalu keras terhadap suaminya. Bahkan, perempuan itu juga menyalahkan Lula karena sempat menonjok wajah Mehan sedangkan Lula hanya menanggapi dengan santai.

"Gak ada discript kalau lo tonjok suami gue, ya, Lul," protes Zeya ketika mereka sudah berada di kamar.

"Itu namanya improvisasi, Ze."

"Improvisasi kepala lo jajar genjang. Muka suami gue jadi jelek tadi karena lo tonjok." Zeya menatap kesal ke arah sahabatnya.

"Udah sih, Ze. Lagian gue kelepasan tadi, habisnya kesel banget sama si Bang Mehan."

"Gue keterlaluan nggak sih, Lul sama Mas Mehan tadi?"

"Enggak! Itu respon paling baik menurut gue. Kalau lo ngasih respon buruknya, ya, kayak lo minta cerai."

"Dih, mulutnya!" Zeya melototi sahabatnya membuat Lula lagi-lagi tertawa.

"Yaudah sih, biarin aja tuh suami lo introspeksi diri. Jangan ngerasa bersalah, Ze. Awas aja, ya, besok langsung luluh kalau dia ke sini buat bujuk jemput lo."

Setelah mengatakan kalimat tersebut, Lula bangkit dari posisi duduknya dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi sedangkan Zeya masih merenung sembari menatap langit-langit kamar.

"Gue sebenernya nggak tega, tapi gue terlanjur kecewa sama Mas Mehan," lirihnya.

***
Mehan sudah tiba di rumah Lula sejak semenit yang lalu. Rumah itu sepi hanya ada Asisten Rumah tangga dan juga Zeya. Mehan menunggu Zeya di ruang tamu. Melihat kehadiran sang istri membuat Mehan tersenyum.

"Dek," panggilnya lembut.

"Ngapain ke sini?"

"Ketemu istri mas lah. Mas kangen," jawab Mehan jujur.

Zeya melirik sekilas lalu bersedekap dada, "Oh, kangennya baru sekarang? Kemarin-kemarin aja nggak ada kangen tuh, padahal udah pergi lama," sindir Zeya.

Mehan merasa tersentil hatinya ketika mendengar sindiran dari sang istri. Namun, ia tetap melukiskan senyuman, "Mas tahu kesalahan mas sangat fatal. Mas tahu, Adek kecewa berat sama mas. Namun, Dek izinkan mas untuk memperbaiki semuanya. Mas akan berusaha untuk membahagiakan kamu. Bisa kita ulang lembaran baru lagi, Dek?"

Zeya hanya bergeming, tidak menjawab ucapan dari suaminya. Hati dan logikanya sedang berperang di dalam sana. Hati mengatakan jika Zeya harus segera memaafkan Mehan sedangkan logikanya menolak keras memaafkan Mehan secepat ini.

"Itu apa?" Zeya mengalihkan topik pembicaraan seraya menunjuk sebuah kotak di atas meja.

Meskipun Mehan sedikit kecewa karena ucapannya tidak ditanggapi oleh istrinya, tetapi ia berusaha sabar dan menjawab pertanyaan dari Zeya dengan antusias.

Mehan membuka kotak tersebut lalu menyerahkan kepada Zeya, "Ini untuk kamu, Dek," ucap Mehan dengan nada lembut, mencoba meredakan ketegangan di udara.

Zeya menatap makanan dengan pandangan datar, meskipun tak bisa menahan desiran aroma yang memenuhi ruangan, "Terima kasih," ujarnya dengan suara dingin, tetapi terdengar juga sebuah kelembutan terselip di balik lapisan marahnya.

Mehan mengangguk, mengetahui bahwa kata-kata itu tak sepenuhnya mewakili perasaan Zeya, "Mas pikir kamu akan menyukainya," tambahnya, mencoba menyiratkan permintaan maaf yang tak terucapkan.

Zeya meraih sendok kecil dari meja dan mulai memecah potongan makanan itu dengan gerakan pelan. Raut wajahnya sedikit melunak saat aroma dan rasa makanan itu mulai menyapu lidahnya, "Ini enak," akunya setelah mencicipi sedikit.

Mehan tersenyum lega, "Sungguh? Mas senang kalau kamu suka, Dek," jawabnya, sedikit lega mendapati reaksi sang istri.

Namun, meskipun menikmati hidangan, Zeya masih terlihat menahan diri, "Tapi itu tidak mengubah apa pun, Mas," ujarnya tegas, memperingatkan Mehan bahwa perlunya lebih dari sekadar makanan untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi di antara mereka.

"Mas akan berusaha lagi, Dek."

"Sekarang Mas bisa pulang. Ingat jalan pulang, 'kan?"

Mehan meneguk ludahnya dengan kasar ketika mendengar pengusiran Zeya secara langsung kepadanya seperti ini.

"Dek, mas masih mau sama kamu di sini."

"Aku sibuk," ucap Zeya datar.

"Nggak pa-pa, sesibuk apapun kamu mas nggak akan ganggu. Mas cuma ingin melihat kamu lebih lama lagi."

Zeya merotasikan bola mata malas, "Keras kepala banget," ujarnya.

"Aku itu mau ngurusin anak ayamnya Lula, mau bersihin kandangnya."

"Mas bisa bantu," kata Mehan cepat.

"Tadi katanya cuma mau lihat aku aja, sekarang kok pengen bantuin?" Alis Zeya terangkat satu, menatap heran suaminya.

"Mana tega mas diem aja, lihat istri mas bersihin kandang ayam sendiri."

"Aku istri kamu?"

"Iya!" jawab Mehan dengan keras.

"Oh, kirain istrinya si Kiya-Kiya itu."

"Dek ...," rengek Mehan karena tak suka nama Kiya terlontar di antara mereka.

Zeya acuh tak acuh. Kemudian, ia meninggalkan Mehan ke halaman belakang rumah. Tentu saja, Mehan langsung menyusul sang istri setelah menutup makanan yang ia bawakan untuk Zeya.

Keduanya berdiri di depan kandang kecil yang dipenuhi dengan anak ayam berbulu berwarna-warni. Mereka mengenakan sarung tangan dan membawa ember serta sikat untuk membersihkan kandang.

"Baiklah, mari kita mulai membersihkan kandang ini," kata Mehan sambil tersenyum ramah kepada Zeya.

Zeya hanya mengangguk singkat tanpa menatap Mehan. Mehan mengambil ember dan mulai membersihkan kotoran di lantai kandang. Ia sengaja memulai percakapan ringan untuk mencoba melunakkan hati Zeya.

"Dek, ayam-ayam ini benar-benar lucu dengan bulu-bulunya yang berwarna-warni. Mas suka sekali melihat mereka berlarian di sekitar kandang," ujar Mehan.

Zeya hanya mengangguk lagi tanpa menanggapi. Ia masih merasa enggan untuk berbicara lebih banyak kepada Mehan.

"Mas pernah berpikir pengen jadi ayam aja dulu kalau habis dimarahin sama ibu." Cerita Mehan.

"Kenapa jadi ayam sih, Mas? Kenapa nggak jadi burung aja bisa terbang bebas?"

Mehan senang ketika ceritanya kali ini ditanggapi oleh sang istri. Zeya sudah mau menjawab ucapannya membuat Mehan menghela napas lega.

"Dulu, ibu punya banyak ayam. Setiap hari dikasih makan, disayang bahkan sampai ada panggilan khusus untuk ayam-ayamnya tersebut. Terus, mas waktu SD habis pulang dari sekolah dengan kondisi baju basah dan kotor karena mas main bola pas lagi hujan deras. Terus ya gitu ibu marahin mas, terus mas ingat kalau ibu nggak pernah marahin ayam-ayamnya. Itulah yang menjadi penyebab mas kepengen jadi ayam, pernah sekali mas nangis-nangis karena doa mas nggak dikabulkan Allah buat jadi ayam." Mehan menjelaskan seraya tertawa membuat Zeya ingin tertawa, tetapi ia masih menahannya.

"Aneh banget, ya, Dek keinginan mas masih kecil. Untung aja mas nggak beneran jadi ayam. Eh, eh, Dek lihat sikatnya digigit sama ayam yang warna biru itu!"

Mehan tergelak melihat seekor ayam kecil yang mencoba menggigit ujung sikatnya, Zeya tidak bisa menahan senyum kecilnya. Ia melihat Mehan tertawa dengan tulus, dan itu membuatnya melemahkan gengsi sedikit.

"Ayo, Sayang. Mari kita bersama-sama membersihkan kandang ini dengan cepat," ajak Mehan sambil menunjukkan sikat ke arah Zeya.

Zeya akhirnya tersenyum juga, merasa tertular karena melihat sang suami tersenyum dengan tulus. Mereka berdua kemudian bekerja sama membersihkan kandang.

"Mas, ihh jangan iseng!" seru Zeya kesal ketika Mehan mengarahkan selang air tersebut ke arah tubuh Zeya.

Kemudian, keduanya kejar-kejaran dibarengi dengan gelak tawa. Di ujung sana, Lula dan Marselino memperhatikan keduanya. Mereka tersenyum karena melihat hubungan Mehan dan Zeya perlahan membaik. Lula juga berdoa semoga Zeya tidak kembali tersakiti, ia hanya ingin melihat Zeya bisa tertawa puas seperti saat ini.

"Bahagia terus, Ze," lirihnya.

Brosur Jodoh (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang