26 : Dua Bilah Pedang, Kuina.

717 69 20
                                    

.

.

.

Robin melangkah perlahan, melihat dua pasang pedang sungguhan terpajang sebagai pigura di dinding

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Robin melangkah perlahan, melihat dua pasang pedang sungguhan terpajang sebagai pigura di dinding. Dua pedang itu saling menyilang, seperti sebuah simbol yang agung dari seluruh hiasan yang terpanjang. Paling menonjol dari semua benda-benda yang terlihat mahal di apartemen Zoro.

Setelah mereka piknik dan berjalan-jalan di distrik perbelanjaan sekaligus melakukan penghiburan untuk Chopper, anak itu berakhir tertidur di bahu Zoro karena kelelahan. Bahu Zoro menjadi bantal kedua dimana Chopper merasa nyaman.

Tak ada pilihan lain selain pulang dan Zoro menyarankan untuk mampir di apartemennya, lebih dekat dengan letak kantor dan tempat mereka berjalan-jalan. Robin menyetujuinya tanpa perdebatan, karena ingin Chopper juga tidur nyaman dan hari telah menjadi petang.

Setelah Zoro merebahkan tubuh Chopper di kamar pribadinya, lelaki itu pergi ke pantri untuk urusan meracik minuman. Menyambut Robin sebagaimana tamu yang butuh perjamuan. Sementara, Robin melihat-lihat sekeliling apartemen lelaki itu. Tak ada kesan yang istimewa sebelumnya, apartemen Zoro seperti kebanyakan apartemen kelas atas lainnya, mewah dan tampak nyaman dengan ornamen-ornamen mahal yang tentu saja tercermin dari desainnya.

Zoro juga sepertinya tidak membersihkan apartemennya sendiri, tidak seperti Robin yang tidak suka jika barang-barang di apartemennya di sentuh dan di bersihkan orang lain. Tidak mengherankan, Zoro terlalu sibuk hanya untuk sekadar bersih-bersih.

Dan melihat dua pedang itu, Robin tidak bisa mengalihkan perhatiannya. Pedang itu terlihat begitu eksentrik, seperti benda yang punya nilai jual tinggi bukan berdasarkan seberapa langkanya benda tersebut, tetapi seberapa indahnya benda itu di ukir.

"Kenapa?" Suara berat Zoro membuat Robin menoleh pada lelaki itu, Zoro membawakan dua cangkir kopi. Membuat Robin tersenyum.

"Aku baru tahu kau bisa membuat kopi." Komentar Robin ketika Zoro meletakan kopinya di meja ruang tamu.

"Bisa, hanya saja mungkin tidak enak." Tutur Zoro jujur, terlalu jujur hingga Robin terkekeh. Wanita itu meninggalkan pigura yang terpajang indah, mendekati Zoro yang duduk di sofa dan duduk di sebelah lelaki itu. "Kau bisa segera mencicipinya jika penasaran." Saran Zoro.

"Baiklah, kau butuh penilaian." Tutur Robin, mengambil cangkir dan mencicipi kopi buatan lelaki itu.

Zoro meninggikan sebelah alisnya melihat wanita itu menyesap kopi buatannya. "Bagaimana rasanya? Mencekik seperti racun?" Tanya Zoro.

Robin terkekeh. "Mendekati."

"Sial." Tutur Zoro, kekehan lolos dari bibir lelaki itu. Tidak berharap pujian dan Robin tidak memberikannya kebohongan.

Robin menaruh cangkir dan menaikkan tungkai kaki kanannya pada kaki kiri, menumpu dagunya dengan tangan, menoleh pada Zoro.

"Dua pedang itu sungguhan." Tutur Robin pada lelaki di sebelahnya. Mata Zoro kemudian menatap dinding, Robin mengetahui kalau pedang itu sungguhan tanpa membuka sarungnya. Wanita itu pengamat yang baik.

Forced Romance [Zoro X Robin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang