18 : Alasan

707 68 3
                                    

.

.

.

"Sejak kapan?" Zoro bertanya dengan suaranya yang berat, seraya matanya mengawasi Chopper yang tengah berseluncur di papan permainan dengan bola-bola plastik di sekelilingnya.

Robin menoleh. "Maaf?"

Zoro menoleh padanya. "Sejak kapan merawat Chopper?"

Robin mengerjapkan matanya, terlihat tertegun di tanya seperti itu. "Chopper, dia---"

"Jika kau bilang dia putramu, maaf, aku tidak sebodoh itu untuk percaya." Tatapan Zoro membuat Robin terdiam, mata keduanya saling menatap sebelum akhirnya menoleh pada Chopper yang memanggil mereka berdua.

"Zolooo, Mommy! Lihat! Lihat! Aku meluncur!" Chopper kembali meluncur di papan luncur, dengan anak-anak sebaya-nya.

Robin tersenyum, bertepuk tangan dan Zoro tersenyum, melambaikan tangan pada bocah lelaki itu.

"Chopper seperti anak di luar sana, dia lucu dan kadang menyebalkan. Suara tangisnya juga menganggu dan teriakan histerisnya itu selalu membuat panik. Dia sama seperti anak kecil yang lainnya. Apa yang membuatmu ingin mewaratnya?" Zoro berbicara dan membuka analisis itu terang-terangan, membuat Robin kembali melihat sifat baru Zoro.

Apa lelaki ini selalu berkata jujur seperti ini? Mengatakan analisisnya begitu saja? Pikir Robin, merasa geli.

Robin terkekeh. "Apa yang kau harapkan? Aku memang suka dengan Chopper, maka dari itu aku merawatnya. Kau berpikir aku punya alasan lain?"

Zoro kembali menoleh pada Robin.

Lelaki itu kembali menatap, memerhatikan bentuk wajah Robin seperti lelaki itu tak akan melihatnya lagi. Senyum tersungging di bibir Zoro, membuat Robin menaikkan sebelah alisnya.

"Robin, apa kau tahu hal yang paling menarik darimu?" Pertanyaan Zoro kembali membuat Robin terdiam. Mata itu mengerjap beberapa kali, mencoba mencerna pertanyaan Zoro.

"Kau tak pernah menunjukkan emosi atau menjelaskan sesuatu secara melankolis. Aku perlu mendengarnya, sesuatu yang melankolis darimu dan aku pikir ketika aku bertanya soal Chopper, kau punya alasan tertentu. Dan pastinya, itu sesuatu yang begitu manusiawi." Tutur Zoro, lelaki itu ingat kali pertama mereka bertemu di Kafe, Robin menunggu lebih lama darinya dan dirinya akhirnya tahu kalau teman mereka berbohong untuk datang.

Robin harusnya marah, tetapi dia tidak.

Bagaimana cara Robin memainkan dinamika emosinya adalah sesuatu yang begitu menarik bagi Zoro, untuk pertama kali. Wanita biasanya mempunyai tendensi untuk meluapkan emosinya.

Robin meremas pelan pakaiannya di paha.

"Dan satu lagi, kau tidak marah ketika tahu kalau teman-temanku berniat menjodohkanmu denganku. Mereka mengatur liburan ini, untuk membuat kita saling mengenal. Bukankah kau bisa berpikir mereka cukup lancang pada orang baru sepertimu?" Zoro tidak tahu mengapa dirinya menjadi lebih banyak bicara, ia hanya ingin melihat sisi lain dari Robin, meski itu sedikit, setidaknya biarkan ia mengintip apa yang selama ini Robin jalani tanpa orang lain ketahui.

Apakah masih di sebut sebuah ketertarikan? Jika minatnya pada Robin adalah keinginan melihat wanita itu menceritakan hal kecil yang begitu rahasia.

"Zoro, apa yang kau harapkan dariku? Aku selalu bertanya itu padamu ketika kau mulai menilaiku pelan-pelan. Dan aku akan bertanya lagi, apa yang kau harapkan dariku?" Robin balik menatap Zoro, membuat lelaki berambut hijau itu terdiam sejenak, terlihat kembali memerhatikan wajah Robin, seperti menemukan jawabannya dengan melihat wanita itu.

Forced Romance [Zoro X Robin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang