❄️ Twenty three ❄️

1.6K 139 13
                                    

Zelo yang saat itu merasa tidak puas dengan penjelasan dari sang mama mengenai kondisi kembarannya langsung saja bergegas menuju ruang ICU. Lusi tidak mencegah dan hanya bisa mengikuti dari belakang sembari masih sedikit terisak.

Sesampainya di dekat ruang ICU, Zelo memelankan langkahnya. Disana Zelo dapat melihat papa nya tengah duduk di kursi tunggu yang berada di depan ruang ICU sembari menunduk dengan kedua tangannya menopang kepala yang bertumpu pada lutut. Sedangkan abangnya nampak memandang tembok dengan tatapan kosong. Papa dan abangnya terlihat sangat kacau.

Dari situ Zelo dapat menyimpulkan bahwa kondisi Renzo di dalam sana memang sedang tidak baik-baik saja. Kakinya yang tiba-tiba terasa lemas membuat Zelo langsung menghentikan langkahnya.

Darzen menoleh begitu menyadari kehadiran seseorang disana dan langsung beranjak, berjalan cepat menghampiri Zelo, kemudian memeluk sang adik.

Merasakan pergerakan dari sebelahnya, Nando yang tengah menundukkan kepala itu lantas ikut menoleh, lalu berdiri menghampiri kedua putranya. Lusi belum sampai disana karena tertinggal jauh dibelakang.

"Renzo, Ze... dia... dia berniat ninggalin kita." Dalam rengkuhan abangnya itu, Zelo bisa mendengar Darzen berkata dengan suara bergetar dan tercekat.

Darzen menangis. Ini pertama kalinya si sulung meluapkan kesedihannya. Si sulung yang selama ini selalu terlihat kuat, selalu menjadi penyemangat, selalu menjadi penengah untuk adik-adiknya itu sekarang memperlihatkan kelemahannya.

Darzen seperti itu karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana saat tadi Renzo berusaha menyakiti dirinya sendiri dengan cara melepas jarum infus yang tertancap dipunggung tangan, berusaha melepas nasal kanula yang membantunya bernapas, dan yang terakhir Renzo sengaja menahan napasnya agar terhenti. Saat dokter dan dirinya berusaha menginterupsi, menyuruh Renzo untuk kembali bernapas, adiknya itu tidak menanggapi dan terus menahan napas.

Darzen melihat dengan jelas adiknya itu nampak kepayahan karena sengaja memaksa menahan napasnya. Renzo saat itu nampak tersiksa. Terlihat dari kedua tangan adiknya yang meremat seprai yang melapisi kasur dengan wajah meringis menahan sakit. Hingga aksinya menahan napas itu sudah mencapai batas, karena tubuh Renzo yang secara respon memaksanya untuk kembali bernapas. Renzo pun pada akhirnya terbatuk hebat dengan darah yang keluar dari mulut lebih banyak dari sebelumnya dan tak lama kemudian Renzo tidak sadarkan diri.

Saat itu juga Renzo mengalami henti napas sekaligus henti jantung. Setelah dilakukan tindakan CPR dan berhasil mengembalikan detaknya, Renzo kemudian dipindahkan ke ruang ICU, karena kondisinya membutuhkan penanganan lebih.

"Gue mau ketemu sama dia, bang." Zelo berkata sembari melepas pelukan Darzen.

Tidak mendapatkan balasan dari Darzen karena abangnya itu tengah sibuk menghentikan tangisnya. Zelo pun beralih pada papa nya yang tengah membantu menenangkan Darzen dengan mengusap pundak si sulung.

"Pa, izinin aku masuk kesana. Aku mau ketemu sama Renzo."

"Renzo belum bisa dijenguk, Ze. Di dalam dokter Burhan masih menangani dia. Kita tunggu dokter Burhan keluar, ya. Ayo, duduk dulu. Kamu 'kan lagi sakit juga. Harusnya pulihin dulu kondisi kamu. Istirahat di ruang rawat aja, bukan malah kesini." Nando lantas merangkul pundak Zelo, mengajak putranya itu menuju kursi tunggu.

"Aku udah gak apa-apa, pa. Aku mana bisa istirahat dengan tenang di ruang rawat, sementara disini kondisi Renzo lagi gak baik. Oh, iya, bukannya Renzo udah dibawa ke ruang ICU dari dua jam yang lalu? Masa sampai sekarang dokter Burhan belum selesai nanganinnya?" Tanya Zelo heran, sambil mengikuti langkah papanya. Lalu duduk dikursi tunggu. Darzen juga mengikuti sambil mengusap wajahnya yang basah karena air mata.

KARENZOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang