2.

72 51 10
                                    

Janendra kini tengah duduk di atas ranting pohon. Ia bosan. Ia ingin menghampiri teman barunya, Felicia, namun ia takut bosannya justru akan bertambah. Hari ini merupakan jadwal mata kuliah yang cukup membosankan, setidaknya menurutnya begitu, ia penasaran, apa gadis itu sanggup menahan rasa bosannya? Apa gadis itu akan kembali mencoret-coret di lembaran bukunya dengan sketsa dosen atau akan benar-benar memperhatikannya?

Satu tahun sudah ia berada di samping gadis itu. Menemaninya berjalan, makan, memperhatikan setiap geraknya. Namun, rasanya baru beberapa malam yang lalu ia dapat melihat tawa manis dari wajah yang tiap malam ia pandangi.

Satu tahun lalu, saat ia membuka mata dan mendapati tengah duduk di pinggir tempat tidur Felicia, ia pun tidak memahaminya. Mengapa ia bisa disana saat itu? Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Namun, ia benar-benar tidak dapat mengingat apapun, kecuali namanya. Janendra Giovano.

Pandangannya beralih pada dua sosok manusia yang tengah berjalan beriringan menuju perpustakaan. Ia menggaruk tengkuknya. Entahlah, ada sedikit rasa bingung saat beberapa hari yang lalu ia bertemu dengan sosok pemuda bernama Adrian yang muncul di meja makan keluarga Felicia.

"Hey, kamu tidak lapar?" tanyanya setelah menyamai langkah Felicia dan Adrian. Felicia tentu langsung menghentikan langkahnya, terkejut akan hadirnya suara itu. Gadis itu lalu mengangguk samar sebagai jawaban atas pertanyaan Janendra.

"Lalu mengapa ke sana? Kantin ke arah yang berlawanan, bukan?" Felicia menggerutu dalam hati. Bagaimana bisa suara ini begitu cerewet? Ingin ia membalas pertanyaannya, namun ia juga tidak ingin dikira gila oleh Adrian.

Gadis itu sebenarnya sangat lapar. Hari ini ia terlambat bangun dan berakhir melewatkan sarapannya. Adrian yang merupakan senior sekaligus tetangganya sudah menunggunya, pun kelas yang cukup pagi membuatnya benar-benar tidak sempat untuk mengisi perutnya.

"Hmm.. Maaf kak, tapi mungkin Kak Adrian saja yang pergi lebih dulu. Rasanya aku akan sulit fokus jika tidak makan sekarang." Adrian yang selangkah lebih di depannya hanya tersenyum. Lelaki itu lupa. Ia lalu memutar arah tujuannya.

"Ayo ke kantin kalau begitu." ujar Adrian. Langkahnya pelan, menunggu adik tingkatnya itu menyusulnya.

"Nah, begitu baru senior yang baik." kali ini Janendra yang berbicara, namun hanya dibalas dengan gelengan kepala oleh Felicia.

***

"Aku bosan." Felicia mendengus kesal mendengarnya. Entah sudah berapa kali suara tanpa sosok itu mengeluh, seolah tidak sadar bahwa ia pun sebenarnya juga bosan. Tapi, sosok seniornya masih asyik bergulat dengan buku-buku yang diambilnya untuk bahan tugas.

"Tidak bisakah kita pulang saja?"

"Ah, aku merindukan Zee! Apa dia sudah makan sekarang?"

"Apa yang biasanya Zee lakukan saat ini?"

"Apa dia tengah telelap?"

"Ah, atau dia tengah bermain dengan teman-temannya?"

Rengekan demi rengekan milik suara tanpa wujud itu lama-lama membuatnya gemas. Pemiliknya harus bersyukur karena jika saja ia dapat melihat keberadaannya dimana, tentu buku-buku penuh angka ini sudah melayang ke arah kepalanya.

Benar. Zee. Ia lupa memberikan makan siangnya.

"Kak, maaf tapi sepertinya aku harus pulang sekarang. Aku bisa naik bus di depan. Kakak disini saja." Felicia dengan terburu membereskan barang-barangnya dan berlalu pergi menjauhi Adrian. Tanpa lelaki itu bisa menjawabnya.

Senyuman tipis tampak terlukis dengan samar pada wajahnya. Ia penasaran pada apa yang membuat gadis yang selalu tenang itu tampak cukup panik. Saat hampir terlambat masuk kelas, adik tingkatnya itu justru dengan tenang melangkah.

***

Zee. Kucing berwarna putih dengan bulu yang lebat juga bermata biru itu merupakan pemberian kakaknya satu tahun silam, saat hari ulang tahun sang kakak.

Ya memang ada larangan aku tidak boleh memberimu hadiah saat aku ulang tahun? Lagian tadi Zee dikasih sama temen kakak.

Felicia tahu, itu hanya alasan sang kakak. Kakaknya saat itu tahu bahwa Felicia sangat kesepian, terlebih saat kakaknya cukup disibukkan dengan tugas kuliahnya.

"Kangen." bisiknya saat ia tengah mengelus lembut bulu halus Zee. Kucing itu tengah tertidur di sebelahnya, terlihat sangat nyaman setelah menikmati makannya.

Di rumah itu. Rumah dua lantai yang cukup besar, hanya terdengar suara televisi. Gadis itu sengaja duduk di ruang keluarga, kakaknya yang membuatnya terbiasa duduk disini sembari menunggunya pulang. Tak jarang gadis itu terlelap sembari memeluk Zee saat kakaknya pulang malam karena tugasnya. Gadis itu lalu memeluk erat sang kakak, dan mereka berdua menceritakan bagaimana hari yang mereka lalui, dan pergi tidur. Sebuah rutinitas yang hanya dapat dilakukan olehnya saja, dan tanpa ada yang membuatnya menunggu.

Rumah itu. Dulu masih terisi dengan suara debat kecil milik kakaknya dan dirinya. Namun sekarang, mungkin hanya suara Zee yang dengan setia mengisinya.

Nampaknya hari ini Ibunya akan pulang terlambat. Ia baru saja mendapat notifikasi pesan dari sang Ibu yang mengatakan ada rapat, sehingga tidak dapat menemaninya makan malam.

Felicia bangkit. Mulai mengeluarkan telur dan mie instan dari dalam lemari pendingin. Jika saja kakaknya disini, tentu sosok itu akan memarahinya. Pertama karena keberadaannya di dapur, dan kedua karena lagi-lagi memakan mie instan.

Setelah menyelesaikan makannya. Ia kembali ke ruang keluarga, berniat untuk menggendong Zee, mengajaknya tidur di kamarnya. Namun satu hal aneh tertangkap oleh indra penglihatannya.

Sosok putih tembus pandang tampak mengelus lembut kucingnya.

"A-apakah kamu Janendra?"

===

Into : You will continue its journey tomorrow!

ah, feel free to left what's on your mind!
thank you for reading this chapter!
hope you have a good good day ahead!

Into : You [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang