27.

28 22 1
                                    

Berkat usaha dari Janendra yang mencoba berbicara dengan gadisnya, ia kini dapat duduk berdua dengan Nadia. Setelah Jeffano menjemputnya di halte tempat biasa mereka bertemu, Nadia mengarahkan mobil milik lelakinya sebuah pemakaman umum. Lelaki itu dibuat bingung sepanjang perjalanan, namun rasanya untuk saat ini ia akan mengikuti kemauan gadisnya.

Rasa sesal memaksa gadisnya untuk menceritakan rahasianya masih menumpuk.

Setelah memikirkan ucapan dari sahabat-sahabatnya untuk memberikan waktu lebih pada gadisnya, ia paham bahwa saat itu ia terlalu sensitif. Jika ia dapat menunggu selama dua tahun lebih, mengapa tidak menunggu sedikit lebih lama lagi, pikirnya.

Beruntung Janendra mau ikut turun tangan membantunya.

"Maaf membuatmu merasa seperti itu." Akhirnya keheningan sejak mereka bertemu dipecahkan oleh gadis yang kini duduk di kursi penumpang di sebelahnya. "Kamu ingat kecelakaan dua tahun lalu?" lanjut Nadia. Matanya memandang lekat lelakinya.

"Kecelakaan yang merenggut nyawa Praga. Semua karena Kak Nilam." Jujur saja saat itu Jeffano benar-benar tidak paham dengan ucapan Nadia. "Kak Nilam takut usaha properti keluarga akan diambil alih oleh Praga, selaku anak dari Tante Laras."

"Ya, aku dan Praga merupakan keturunan keluarga Prayoga. Praga diangkat menjadi anak setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kebakaran." Nadia menarik nafasnya dalam-dalam. Padahal, beberapa hari lalu ia baru menceritakannya pada Janendra, namun mengapa kali ini terasa lebih berat?

"Karena rasa takut berlebih, saat itu Kak Nilam menyabotase mobil Praga." Air mata yang sudah ditahannya tidak mampu lagi terbendung. Jeffano mengambil tisu yang berada di dashboard mobilnya, lalu menghapus air itu dengan perlahan. Setelah itu, ia terdiam, mempersilahkan gadisnya melanjutkan ceritanya.

"Kak Praga juga menyuruhku untuk menghapus rekaman cctv saat ia melakukan itu." Nadia lalu menarik nafasnya dalam-dalam. "Sekarang, semua terserah padamu. Aku paham jika kamu kecewa dan memilih untuk pergi. Aku tidak akan menahanmu."

***

Pagi itu Giana, Tian, Kiara dan juga Brian berkumpul di sebuah kamar hotel milik keluarga Giovano. Kiara yang meminta izin kepada sang suami, mengetahui penjagaan ketat yang akan mereka terima selama berdiskusi.

Kiara memberikan semua barang yang diserahkan oleh Nadia padanya.

"Maaf. Walaupun saya tidak tahu secara pasti, namun saya yakin Nadia punya alasan untuk tidak menyerahkan bukti ini saat itu." Kiara masih membela gadis itu.

Setelah mereka menonton rekaman cctv juga bergantian membaca tiap lembar isi dari buku itu, mereka terdiam. Giana paham mengapa Kiara ingin melindungi Nadia.

"Nilam menginap di hotel ini sejak beberapa minggu yang lalu." ujar Tian, lelaki itu diberi amanah oleh Giana untuk mencari jejak Nilam.

"Temanku juga sudah mengawasinya dari jauh. Sepertinya keluarga Prayoga berniat mengajak kerja sama keluarga Giovano." ujar Brian, mata lelaki itu melirik ke arah Kiara.

Kiara bingung. Suaminya, Rama sama sekali belum menceritakan tentang kerja sama dengan perusahaan properti yang keluarga Prayoga miliki.

"Untuk bukti ini, sebaiknya Nadia yang menyerahkannya pada Polisi." ujar Giana. "Maaf, tapi kurasa akan lebih baik jika gadis ini yang langsung menjelaskan pada kepolisian."

Tian mengangguk. Menyetujui saran dari Giana. Setelah membaca isi buku itu, Tian sangat ingin temannya, Jeffano berada di pihak gadis itu.

***

Gadis itu tengah asyik dengan kucing kesayangannya. Tawanya sedari tadi tidak berhenti saat memperhatikan Zee tengah mengejar buntutnya sendiri. Logika kucing yang tidak ia pahami.

"Berhentilah! Itu 'kan bagian darimu!" ujar gadis itu sembari tertawa. Makhluk berbulu putih itu pun bahkan sampai mengeong seakan marah dan kesal tidak berhasil menangkap ujung tubuhnya sendiri.

Felicia tengah menunggu kedatangan Janendra. Lelaki itu mengajaknya untuk keluar. Berbekal alasan salah membeli tiket untuk dua orang, lelaki itu mengajaknya untuk menonton film dengan genre horror. Ingatannya kembali pada saat kencan dengan ibunya untuk pertama kali. Tanggal 18 yang masih ia tunggu.

Ia penasaran, apakah lelaki itu akan bereaksi sama seperti sang ibu? Saat itu, ia tidak dapat dengan jelas melihat ekspresi yang dibuat Janendra. Minimnya pencahayaan membuatnya tidak dapat melihat sosok itu dengan jelas.

Saat ponselnya berbunyi, dengan cepat Felicia melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Tentunya setelah memastikan tempat makan Zee sudah terisi.

Pintu gerbang itu terbuka. Mempertemukan kedua netra yang saling memancarkan rasa terpukau masing-masing. Felicia yang kali itu memakai dress bunga selutut, dan Janendra yang mengenakan sweater berwarna biru.

"Ayo!" ujar Janendra, menawarkan tangannya untuk digenggam oleh Felicia.

Perjalanan menuju halte bus terasa damai. Walaupun keduanya enggan memecah keheningan, namun rasa nyaman sangat dirasakan oleh keduanya. Sesekali Janendra melirik ke arah Felicia. Memperhatikan pipinya yang mulai memerah. Entah karena make up atau dirinya.

Sepanjang film berlangsung, Felicia hanya fokus pada layar besar di hadapannya. Sesekali tangannya mengambil popcorn yang sempat mereka beli tadi. Di sebelahnya, Janendra justru lebih fokus pada gadis di sebelahnya. Ia tidak peduli pada beberapa efek suara yang membuat penonton berteriak.

"Layarnya di depan." bisik gadis itu. Janendra terkekeh. Ternyata gadis itu mengetahuinya.

===

Into : You will come again tomorrow!

Into : You [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang