Menjadi seorang ibu, bukanlah perkara mudah. Terlebih setelah sang suami pergi meninggalkannya karena sakit yang dideritanya. Dimas Brahmantya bertahun-tahun bungkam. Ia sama sekali tidak menceritakan perihal dirinya yang mengidap gagal ginjal. Bohong sudah menjadi kebiasaannya.
Menjadi ibu, bukanlah perkara mudah. Terlebih saat kau harus bersikap adil pada anak kandungmu dan anak angkatmu. Ya, Praga masuk dalam keluarga Brahmantya saat ia berumur lima tahun. Praga merupakan anak dari sahabatnya. Kedua orang tuanya meninggal dalam kebakaran. Praga dapat diselamatkan karena pada saat kejadian, Praga kecil tengah menginap di kediaman Brahmantya.
Menjadi ibu, bukanlah perkara mudah, dan Giana menemukan inilah titik terberatnya.
Ia sangat paham bagaimana anak semata wayangnya itu sangat merasa kehilangan sosok Praga. Ia bahkan masih mengingat saat kabar kecelakaan itu sampai pada putrinya. Mata yang biasa ia lihat tampak tersenyum, berubah menjadi kosong. Gadis kecilnya kehilangan warna. Saat itu, putrinya bahkan sempat mengurung diri selama seminggu, menenggelamkan diri pada gelap kamarnya.
Setahun berlalu dan ia melihat putrinya sudah mampu bersosialisasi kembali. Bahkan beberapa malam ia selalu mendengar tawanya lagi. Suara yang ia rindukan. Namun saat ia bertanya pada Adrian, ia semakin jatuh.
Saat menceritakan masalahnya pada dokter tadi pagi, akhirnya ia tahu. Selama ini ia salah. Tegas memang perlu. Namun saat ini, gadisnya hanya punya dirinya, pun sebaliknya. Jika ia dapat bangkit lewat menyibukkan diri dengan urusan kantor, bukan berarti putrinya pun akan merasakan yang sama.
Karenanya, kini ia terduduk di mobilnya. Menunggu putrinya turut masuk. Ia sudah merencanakan piknik untuk mereka berdua. Dalam hati ia berdoa, semoga hari ini cuaca cerah.
Cemas benar-benar mengisi pikirannya. Pasalnya, dalam seminggu hanya satu hari saja matahari nampak bersemangat memunculkan sinarnya, selebihnya selalu air dari awan yang selalu muncul mengisi hari.
Senyum dengan cepat tampil di wajahnya saat putrinya membuka pintu mobilnya. Setelah memasukkan beberapa barang ke kursi belakang, akhirnya Felicia duduk di kursi penumpang. Pak Anton yang biasa menjadi supir pribadi sang ibu nampak tidak hadir sejak pagi.
"Hanya kita berdua, Ma?" tanyanya ragu. Jujur saja, gadis itu takut jika sang ibu membawanya pergi untuk urusan bisnis lagi.
"Ya, hari ini jadwalnya kita kencan!" Seruan dari sang Ibu sungguh terdengar asing. Rasa senang sebenarnya turut hadir mengisi hati sang gadis. Walaupun memang rasa khawatirlah yang menguasai.
"Kalau boleh, bisa aku yang memilih tempatnya?" lirih Felicia. Mendengar itu, tentu rasa kecewa sedikit muncul.
"Baiklah, tunjukkan jalannya, nona."
***
Layar besar di hadapannya sudah menunjukkan nama-nama yang berperan baik di depan maupun di belakang layar. Namun tangannya masih senantiasa menutup sang mata, seolah takut jika ia melepaskan tangannya, maka pemandangan seram akan kembali menghantuinya.
"Kenapa kamu pilih film ini?" Janendra yang terduduk di anak tangga selama film berlangsung turut menyaksikan Giana yang nampak ketakutan sepanjang film.
"Mama tadi setuju, dan aku memang sudah cukup penasaran dengan film ini." bisiknya.
"Kamu bicara dengan siapa?" Giana akhirnya memberanikan diri membuka matanya. Bisik-bisik dari sang anak membuatnya semakin takut. Di ruangan itu memang masih ada beberapa orang yang belum keluar, ada yang masih membereskan barang-barangnya, ada pula yang menunggu hingga antrian panjang menuju pintu keluar mereda. Namun, di sekitar mereka sudah kosong. Orang-orang yang belum keluar pun jaraknya cukup jauh, akan sulit untuk berkomunikasi seperti biasa, apalagi untuk berbisik.
"Aku, bicara dengan diri sendiri. Lagipula benar, Mama sendiri yang menyetujuinya saat aku memilih film ini." elakan dari Felicia tentu tidak langsung ditelan oleh Giana. "Ayo, kali ini giliran Mama." lanjut Felicia lalu bangkit dari duduknya. Berjalan menuju pintu keluar.
Hari itu mereka habiskan dengan mencoba beberapa pakaian dan sepatu yang menarik perhatian mereka. Berjalan masuk dari satu toko ke toko lain. Lalu membeli beberapa makanan yang kebanyakan merupakan ajakan dari Felicia. Giana tentu tidak menolak. Kapan lagi ia dapat menghabiskan harinya melihat sosok Giana yang dulu? Sempat ia berpikir, mungkin pemandangan seperti ini yang Praga lihat setiap hari sehingga anak laki-lakinya sangat menyayangi adiknya.
Giana tanpa sadar menarik putrinya dalam pelukannya. Mencoba memberitahu rasa sayangnya.
"Mama tidak apa?" Gadis itu bertanya-tanya. Hari ini sang ibu memang tidak seperti biasanya.
"Kalau terlalu berat, tolong beritahu Mama."
===
Into : You will continue its Journey!
KAMU SEDANG MEMBACA
Into : You [Proses Terbit]
Romance[BELUM DIEDIT] Felicia yang baru saja kehilangan sang kakak dipertemukan dengan sebuah sosok tembus pandang. Sosok yang selalu menemaninya ke mana pun ia pergi. Takut tentu ia rasakan saat awal kemunculannya. Namun perlahan, siapa sangka jika ia aka...