9.

50 36 4
                                    

Satu tahun yang lalu...

Kepalanya tertunduk. Langkah kaki yang berlalu lalang di depannya bagai semut kecil, tak dihiraukannya. Suara bising sirine ambulans bahkan tak mampu lagi didengarnya. Matanya terfokus pada satu kotak putih di sebelahnya.

Seorang perawat menaruhnya pada kursi kosong di sebelahnya. Dia mengatakan bahwa kotak itu ditemukan dalam genggaman korban.

Air mata tak lagi turun. Namun sayu pada matanya masih dapat terlihat. Sepertinya, cahaya matanya turut pergi bersama sang kakak hari itu.

Ponselnya yang berdering ia abaikan. Lagipula, rasanya untuk mengambil ponsel yang berada dalam tas bahu saja ia tak sanggup. Lemas.

Ia masih berdoa. Ia masih berharap. Semoga semua ini mimpi.

Kecelakaan itu, tangan kaku kakaknya, serta kotak di depannya. Ia berharap semua adalah bagian mimpi buruknya.

Praga dan Felicia memang sudah bersama sejak mereka kecil. Diangkatnya Praga menjadi keluarga Brahmantya menambah kedekatan mereka, bahkan teman-teman Felicia iri dibuatnya. Kasih sayang Praga memang luar biasa, terlebih saat gadis itu kehilangan sosok yang dipanggilnya Papa.

Praga yang juga masih kecil, lebih sering untuk bangun lebih pagi. Ia memilih untuk membantu Giana di dapur. Karenanya, saat Felicia kehilangan sosok Papa dan Mama karena kesibukan mereka, Praga sangat siap mengisi kekosongan itu.

Namun, saat Praga justru pergi. Siapa yang akan mengisinya?

"Kak, kalau nanti aku memperkenalkanmu dengan pacarku, apa kamu akan jahat pada mereka?"

Felicia yang masih duduk di bangku SMA bertanya. Ia sering mendapati kakaknya yang menatap garang pada teman-teman lelakinya di sekolah.

"Hmm, kalau mereka lelaki yang baik, tentu tidak. Mereka harus mendapat izin bersertifikat dari kakak jika ingin mendekatimu!"

Ia merasa tubuh lemahnya direngkuh. Pundaknya mulai basah. Harum.

"Maaf Mama baru datang." lirih dari sang ibu membuat air matanya turun kembali. Berulang kali ia mencubiti hingga memukul dirinya, mencoba bangun dari mimpi buruk ini. Tangan sang Ibu yang tadi merengkuhnya dengan cepat menahan kedua tangannya. Giana pun sama seperti putrinya. Mereka sama-sama kehilangan sosok Praga.

"Mama minta maaf, tapi tolong tunggu disini." sosok sang Ibu lalu pergi, menghilang dari pandangannya. Ia kembali sendiri di sana. Terduduk pada kursi di koridor rumah sakit. Kembali menundukkan kepalanya. Kembali menjatuhkan air pada sepatunya.

"Kalau aku menyusulmu, apa kamu akan marah, kak?"

***

Hari ketiga sejak kecelakaan. Felicia memilih berdiam di kamarnya. Jendelanya tertutup. Mencegah sang mentari menyapa dengan cahaya hangatnya. Lampu kamarnya pun ia biarkan padam. Ketukan dari sang Ibu benar-benar diabaikannya.

Ia menolaknya. Ia menolak mengakui sosok kakak itu telah pergi.

Padahal kakaknya berjanji akan memperkenalkannya dengan teman-temannya. Kakaknya juga berjanji akan mengajaknya pergi ke taman bermain lagi. Kakaknya berjanji, akan selalu ada untuknya.

Kakaknya, tidak pernah berbohong.

Kakinya lalu berjalan menuju meja belajarnya, mengeluarkan kotak putih dari dalam tasnya. Untuk pertama kalinya, ia memberanikan diri membuka kotak itu.

Sebuah kalung dengan bandul kucing dan bulan. Cantik. Tapi ia tidak tersenyum. Gadis itu justru menangis. Untuk kesekian kalinya, gadis itu mengatakan ia ingin kakaknya kembali.

"Kamu tidak perlu memberiku hadiah, cukup kamu kembali saja." bisiknya sambil terus menggenggam kalung itu.

Rasanya kosong. Mengingat bagaimana harimu biasa dimulai dengan melihat orang yang sangat kau sayang, namun kemudian orang itu pergi. Tanpa bisa kau lihat lagi wujudnya.

Rasanya sakit. Saat orang yang selalu merengkuhmu dalam pelukannya saat kau pikir dunia kejam, namun kini orang itu pergi dan pundakmu harus terbiasa dengan kekosongan.

***

Giana duduk di ruang kerjanya. Setelah berulang kali mengantarkan makanan yang berakhir tidak tersentuh oleh putrinya, ia memilih meminta bantuan asisten rumah tangga. Ia sebelumnya tidak pernah mempekerjakan orang lain selain supirnya untuk mengurus rumah. Namun melihat kondisi sang putri, rasanya ia butuh bantuan, belum lagi ia harus tetap profesional terhadap tanggung jawabnya yang lain.

Dering ponsel yang menandakan panggilan masuk langsung ia terima, tanpa melihat siapa peneleponnya.

Matanya membelalak. Rasa tidak percaya mengeruak. Tangannya bergerak menutup mulutnya. Bagaimana mungkin anak sebaik Praga memiliki musuh?

Lemas. Untung saja ia tengah terduduk saat panggilan itu datang. Badannya masih bergetar.

Maaf baru mengungkapkan kepada Ibu. Namun, apakah korban memiliki musuh?

Penyebab kecelakaan adalah karena rem dari mobil yang digunakan blong, sehingga Praga harus membanting stir untuk menghindari kendaraan lain. Namun mobil itu hilang kendali dan menabrak pohon.

Beruntung temannya dapat keluar sebelum mobil menabrak pohon. Namun karena benturan di kepala yang cukup kuat, korban masih dalam keadaan koma.

===

Into : You will continue its Journey!

Hey hey! gimana chapter yang ini?
mind to share ur opinion?
jangan lupa tinggalin vote + comment if you like it!
Into : You will come again tomorrow!!
Have a nice day ahead, everyone!

Into : You [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang