4.

63 48 0
                                    

Rasa lelah menyelimuti dirinya. Matanya menolak untuk terbuka, masih ingin untuk terus tertutup. Badannya masih merasakan nyaman di sana. Tak heran, gadis itu baru saja terlelap pukul enam tadi.

Sepulang dari pantai, ia langsung mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan hari ini. Ia lupa jika batas akhir pengumpulan adalah hari ini, dan berakhir dengan umpatan-umpatan selama menyelesaikannya.

Setidaknya, kali ini sosok tembus pandang yang bernama Janendra itu mau membantunya.

"Kenapa kamu baru membantuku sekarang?"

"Kamu tidak pernah mendengarkanku!"

Kegiatan mengerjakan tugas yang diselingi oleh debat kecil mereka berakhir pada pukul lima dini hari. Bukannya langsung menuju alam mimpi, gadis itu lebih memilih untuk menonton drama yang mengalihkan fokus Janendra.

"Zee~" panggilnya pada makhluk berbulu yang biasa menemaninya tidur. Tangannya meraba ke area yang dapat dijangkau oleh tangannya.

Kosong.

Dengan segera ia membuka matanya, mencari kucingnya berada. Saat matanya telah menemukan posisi kucingnya, ia tersenyum. Kucing itu tengah terduduk manis di pangkuan seseorang. Mereka berdua tengah asyik memfokuskan mata mereka pada layar gadget di depannya.

"S-siapa kamu?"

"Apa maksudmu? Aku Janendra?" Sosok itu menjawabnya dengan bingung. "Mengapa tiap minggu kau harus menanyakan hal yang sama?"

Ia mengenalnya. Suara milik sosok itu memang suara Janendra.

"Tunggu. Kamu dapat melihat wajahku?" Dengan senyum yang lebar, sosok itu melayangkan pertanyaannya.

Felicia hanya dapat menganggukkan kepalanya. Ia masih tidak dapat mempercayai matanya saat ini. Ia berpikir, Janendra setidaknya sudah berumur 30 tahun jika ia manusia. Namun, sosok di depannya jauh terlihat lebih muda. Mungkin, mereka hanya berbeda beberapa tahun.

"Zee, ayo!" Ia mencoba mengalihkan pikirannya. Diliriknya jam yang bertengger di dinding kamarnya, sidah pukul sebelas siang. Kucingnya pasti kelaparan menunggunya.

Setidaknya ia beruntung jadwal kelasnya hanya ada sore nanti. Jadi, ia masih memiliki waktu bersantai.

***

"Kosongkan jadwalmu besok."

Sendok yang mengangkut makanan itu berhenti tepat saat ia baru saja akan melaksanakan tugasnya.

"Temani Mama pergi ke rumah sakit. Kamu tidak mungkin punya jadwal kelas saat akhir pekan, bukan?" lanjut Ibunya.

"Tapi tugasku-"

"Minta bantuan Adrian malam ini." Sang Ibu yang sudah menyelesaikan makannya lalu pergi tanpa mengizinkan kata lain keluar dari mulut anaknya.

Di meja makan, Felicia menundukkan kepalanya. Ia memang tidak memiliki jadwal apapun besok, tapi saat sang Ibu menyebut kata rumah sakit, otaknya dengan cepat mengulang ingatan satu tahun silam. Ingatan saat melihat tubuh kakaknya berselimut darah. Ingatan saat tubuh kuat yang biasa melindunginya, menjadi sangat lemah. Ingatan saat ia tak sempat mengatakan bahwa ia bersyukur memiliki kakak sepertinya.

Felicia lalu bangkit, pergi meninggalkan makanan yang belum sempat masuk ke perutnya.

Kakinya melangkah melewati kamarnya. Kakinya memilih menuju kamar kakaknya yang berada tepat setelah kamarnya. Kamar yang dulu terang, kini kehilangan cahayanya.

Saat saklar lampu ia nyalakan, matanya dengan segera mengedarkan pandangan ke isi ruangan itu.

Gitar yang biasa digunakan oleh sang kakak, tampak berdiri dengan rapi di pojok kamarnya. Sebuah foto yang terpajang rapi di atas meja belajar sang kakak turut menarik perhatiannya. Foto kakaknya yang tengah berpose bersama teman-temannya.

Satu wajah di foto itu sangat tidak asing. Lelaki yang berada tepat di sebelah kakaknya.

"Ini kamu?" lirihnya sembari menunjukkan bingkai foto itu pada sosok di sebelahnya.

Janendra pun memberikan reaksi yang tak jauh berbeda dengan Felicia. Sepertinya ini salah satu alasan mengapa nama Praga sangat tidak asing baginya.

"Bulan berapa kejadian itu?"

"Mei."

***

Kepalanya masih ia tundukkan. Masker yang sengaja masih ia pakai walau mendapat tatapan marah sang Ibu masih belum dapat menghalau bau yang menariknya pad ingatan satu tahun lalu. Ia sangat ingin bertanya tujuan mereka datang kemari, namun rasanya untuk membuka mulut ia tak sanggup.

"Kamu mungkin tidak tahu, tapi setiap bulan Mama selalu kemari." ujar sang Ibu dengan terus melangkahkan kakinya.

Felicia berpikir mungkin tujuannya adalah ruang dokter yang biasa didatangi oleh keluarganya. Namun, saat melihat sekeliling, lorong ini seperti mengantarkan mereka pada ruang rawat inap.

Langkah kaki sang Ibu berhenti tepat di ruang ICU. Di depan sana, tampak sosok yang tengah terbaring. Selang oksigen tampak menutup sebagian wajahnya. Detak jantungnya dipantau dengan monitor.

"Dia Janendra. Dia duduk di kursi penumpang mobil kakakmu saat kecelakaan itu terjadi." Penjelasan yang cukup tiba-tiba itu membuatnya pusing.

"Dari yang Mama dengar, saat itu Janendra berencana untuk menemuimu. Karena itu ia turut dalam kecelakaan tunggal."

"Belakangan ini, ayah dari Janendra terus mengatakan bahwa putranya beberapa kali memberikan respon."

Saat sang Ibu menjelaskan, sosok tembus pandang Janendra tampak menghampiri tubuhnya yang tengah berbaring. Gadis itu memperhatikan sosok itu. Raut wajahnya tidak dapat ia baca.

Janendra, adalah manusia.

===

Into : You will continue its Journey!

How about this chapter?
Don't forget to vote + comment + save it if you like this story mwehehe
see you again!

Into : You [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang