20.

31 23 0
                                    

Helaan nafasnya terdengar berat. Sesal masih terus memenuhi pikirannya selama dua tahun ini. Ingin rasanya bercerita. Namun takut terus menahannya.

Menjadi anak bungsu perempuan dari keluarga Prayoga mungkin merupakan impian bagi kebanyakan orang. Salah satu keluarga yang menggeluti bisnis bidang properti.

Benci. Jika ia diberi kesempatan untuk memilih, tentu ia tidak akan berada pada kehidupan ini. Selalu mendapat tuntutan demi nama baik keluarga. Namun ia tahu, nama baik itu hanyalah topeng yang keluarganya miliki.

Sedari kecil, ia dan kakaknya selalu mendapat suntikan kalimat kebencian dari orang tuanya. Tidak hanya tertuju pada mereka, namun yang lainnya, pun pada saudara yang menurutnya sangat baik.

Mengambil jurusan di bidang bisnis adalah keputusan dari orang tuanya. Namun ia bersyukur. Setidaknya, ia dapat bertemu dengan orang-orang baik yang kini berteman dengannya. Mereka yang tidak pernah menanyakan perihal latar belakang. Mereka yang tidak pernah menanyakan perihal orang tua. Mereka yang tidak pernah menanyakan tentang keluarganya.

Walaupun ia menganggap teman, namun ia selalu menutup rapat rahasianya. Ia selalu memikirkan apa yang dapat ia bagi untuk cerita dan tidak. Ia masih takut tentang pandangan teman-temannya.

Rasanya, hanya buku inilah yang dapat menjaga rapat-rapat semua rahasianya. Semua ceritanya.

***

"Janendra!" Nadia melambaikan tangannya saat netranya menemukan sosok yang ia cari. Semenjak lelaki itu keluar dari rumah sakit, gadis itu selalu terlihat di dekatnya. Bohong rasanya jika gadis itu tidak mengetahui perihal perasaan yang dulu disimpan oleh Janendra untuknya. Ia jelas tahu. Janendra yang sangat lembut dan perhatian, terlebih dengan perempuan yang ia sukai. Namun tentu, ia pun merasakan kelembutan dan perhatian yang dulu untuknya, kini sudah singgah ke lain hati.

"Jeffano sedang sibuk dengan tugas kelompoknya, ayo temani aku makan!" Tangan itu dengan santainya melingkar di lengan Janendra. Menariknya ke arah parkiran.

Seperti biasa, Janendra hanya dapat mengikuti ke arah mana gadis itu menariknya. Toh, waktu makan siang pun sudah tiba dan perutnya sudah cukup lapar saat ini.

Dari kejauhan, lagi-lagi sepasang mata coklat itu hanya mampu memperhatikan. Si empunya tidak mampu untuk bergerak menghampiri. Langkah kakinya lalu beralih. Menolak rasa ingin tahu. Takut keingintahuannya akan berujung kecewa.

Beruntung notifikasi dari ponselnya membuatnya punya tempat yang dituju. Perpustakaan.

Adrian mengiriminya pesan.

Ia pikir tetangganya sekaligus kakak tingkatnya itu akan mengalihkan dari pikirannya tentang Janendra. Nyatanya, ia justru dibuat terus mendengarkan cerita mereka tentang Nadia. Ya, memang bukan Janendra yang menjadi topik, namun nama gadis itu cukup membuat memorinya memutar semua perlakuan lembut Janendra pada Nadia.

"Kak, aku pulang saja." celetukan dari Felicia membuat Tian, Jeffano juga Adrian menoleh ke arahnya. Wajah merengut gadis itu membuat mereka menahan tawanya. Rasanya, Jeffano dan Tian baru melihat betapa ekspresifnya gadis itu. Berbeda dengan Adrian yang berulang kali menggoda gadis itu.

"Sebentar lagi, aku janji nanti kubelikan es krim saat pulang." bujuk Adrian. Lelaki itu sudah berjanji pada Giana untuk mengantar anak gadisnya pulang.

Setelah kepergian Praga, rasanya Adrian yang menjadi pengganti sosok kakaknya.

"Ah, besok hari jadi kalian, bukan?" tanya Adrian pada Jeffano. Yang ditanya hanya mampu menggaruk tengkuk belakangnya. Malu.

"Jadi, akan kemana kamu dan Nadia?" Mata Felicia sedikit membelalak mendengar pertanyaan dari Tian.

"Kak Jeffano dan Kak Nadia...berpacaran?" Pertanyaan itu mengundang gelak tawa dari Adrian dan Tian. Sedangkan Jeffano hanya menganggukkan kepalanya malu, menjawab pertanyaan gadis itu. Tawa Adrian semakin lama semakin menyebalkan di telinga Felicia.

"Kak Adrian kenapa tidak mengatakannya?"

***

Nadia menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Beruntung keadaan jalan cukup sepi. Sudah ada beberapa orang yang berdiri di sebelah gerobak batagor, menanti pesanannya selesai.

Janendra menawarkan untuk turun dari mobil dan memesan. Ia merasa tidak enak jika membiarkan seorang perempuan memesankan makanannya. Lagi pula, gadis itu sudah menyetir untuknya.

Janendra kembali dengan dua piring di tangannya. "Dra, apa kamu menyukai gadis itu?" Pertanyaan tiba-tiba itu keluar saat Janendra baru saja menutup kembali pintu mobil.

"Siapa?"

"Kamu tentu tahu siapa objeknya kali ini." Mata itu memandang lekat Janendra. Menuntut si empunya untuk menjawab.

===

Into : You will come again tomorrow!

Into : You [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang