16.

31 23 0
                                    

Sesal. Kesal. Namun Felicia hanya mampu menundukkan kepalanya, saat lelaki di hadapannya justru tengah asyik menertawakan ceritanya. Tangannya sudah mengepal, rasanya jika ia tidak menahan diri, mungkin lawan bicaranya itu akan asyik menahan sakit.

"Aku angkat tangan jika Ayana bangun." Suara tawa lelaki itu begitu keras. Felicia bahkan sampai berulang kali menepuk-nepuk pelan gadis kecil yang masih berusia enam tahun itu untuk membuatnya kembali tertidur.

"Kamu angkat tangan pun Ayana hanya ingin tidur bersamamu." Adrian mengeluarkan lidahnya, menggoda gadis di depannya. "Lalu, kamu hanya berjalan pergi begitu saja?"

Felicia hanya mengangguk. Malu. Jika dipikir lagi, tindakannya untuk berlalu begitu saja justru membuatnya nampak aneh. Mengingat lelaki itu hanya bertemu beberapa kali saja dengannya.

"Janendra memang sempat menyukai Nadia. Namun, kurasa ia sudah mundur?" Lelaki yang tadi tengah duduk di lantai itu berdiri. Tangannya bergerak mengangkat Ayana yang sedari tadi terlelap dalam pelukan Felicia. "Sebentar, biar aku membawanya ke kamar."

Felicia pikir Adrian sengaja melakukannya agar ia dapat dengan leluasa kembali menertawakan tindakan bodohnya.

Ia bingung. Haruskah ia merasa cemburu melihat lelaki yang dulu lebih sering bersamanya, kini justru duduk berdua di dalam cafe dengan gadis lain? Namun, rasanya ia pun tidak memiliki hak untuk melarang lelaki itu, bukan?

"Jika aku tidak salah, Praga sempat mengatakan akan mengenalkan Janendra dengan seorang gadis." Adrian kembali. Kali ini ia membawa dua gelas teh hangat.

"Kak..." panggilnya. Ia masih ragu, tapi rasanya ia butuh teman untuk cerita saat ini. Masih berdoa semoga tetangganya ini tidak akan melaporkannya pada sang ibu ataupun membawanya ke rumah sakit jiwa.

"Aku ingin menceritakan sesuatu, tapi berjanjilah untuk menutup mulutmu!" Adrian yang sudah duduk di sofa sebelah gadis itu sedikit memajukan badannya. Rasa penasaran tumbuh sangat cepat pada dirinya saat ini. "Cerita yang sangat-sangat di luar nalar." lanjut Felicia.

"Apa kakak percaya pada roh?"

***

Pandangan matanya masih terfokus pada adik tingkatnya yang kini asyik dengan buku di hadapannya. Setelah mendengar cerita Felicia semalam, ia masih tidak percaya. Lagipula, gadis itu pun tidak memiliki bukti apapun jika ceritanya itu benar.

"Ya, kurasa gadis itu tengah berbohong." pikirnya. "Namun bohong sama sekali bukan sifatnya." Semuanya terlalu membingungkan untuknya.

"Dra, apa kamu pernah jadi roh?" Janendra yang ditanya secara blak-blakan oleh seniornya tentu saja kelabakan. Rasanya Adrian menyalurkan rasa bingungnya pada juniornya.

"Apa tugasmu begitu sulit hingga kamu menjadi gila?" celetukan dari Janendra mengundang gelak tawa dari Jeffano.

"Ayo lanjutkan bagianmu! Waktu pengumpulannya sebentar lagi." Tian yang sedari tadi berkutat pada laptop akhirnya angkat bicara. Ia harus menengahinya karena jika tidak, mungkin sampai esok pun mereka masih akan terduduk di dalam perpustakaan itu.

"Kenapa mendadak membahas topik itu?" Janendra masih melanjutkan pertanyaannya. Ia sebenarnya tidak turut dalam tugas kelompok mereka. Ia hanya terlalu malas untuk pulang saat ini.

Adrian hanya menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin Tian menegurnya lagi. Sahabatnya itu terlalu menyeramkan jika berurusan dengan tugas. Lagipula, ia sudah berjanji tidak akan menceritakan itu pada siapapun.

Di luar perpustakaan, Felicia tengah duduk di bangku taman. Di sebelahnya, seekor anak kucing tengah asyik menikmati makanan yang diberikan oleh Felicia. Sebagai ganti telah menjadi objek garis-garisnya hari ini.

Anak kucing dengan warna hitam itu tampak sangat asyik memakan santap siangnya. Membuat Felicia begitu ingin memeluknya. Badannya sangat kurus. Ia sangat ingin membawanya pulang. Namun, ia khawatir Zee tidak dapat menerima teman baru di rumah.

"Aku akan membawakanmu makanan lagi, besok." Tangannya bergerak mengelus kepala berbulu itu setelah menyelesaikan gambarnya.

"Apa kamu memiliki teman baru?" Felicia menoleh ke arah sumber suara. Tak jauh darinya, Janendra berdiri dengan tas ransel di pundaknya. "Ah, aku ingin pulang namun melihatmu di sini."

Bosan karena ketiga seniornya sangat fokus pada kesibukan masing-masing, Janendra memilih untuk pergi dari sana. Siapa sangka, ia justru melihat sosok yang ia kenal tengah asyik berbincang dengan seekor makhluk berbulu.

"Ah! Apa kamu mau memeliharanya? Kurasa dia sendirian!"

===

Into : You will come again tomorrow!

Into : You [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang