26.

27 20 0
                                    

Pikirannya sangat berisik saat ini. Setelah membaca tiap lembar dari buku yang diberikan Nadia, Kiara dihadapi dengan rasa bimbang. Jika ia menyerahkan semuanya pada Giana, tentu semua rahasia dari keluarga Nadia yang ingin gadis itu tutupi akan terbongkar. Namun jika ia tetap menyimpannya, anaknya adalah salah satu korban. Beruntung anaknya dapat selamat dalam kecelakaan itu, namun sesak saat mengetahui gadis yang sangat dekat dengan anaknya pun turut andil dalam kejadian itu masih sangat terasa. Bagaimana dengan Giana yang harus kehilangan anaknya?

Janendra memang bukan sasaran utamanya. Namun karena rencana yang mereka buat, anaknya kehilangan satu tahun waktu yang seharusnya dapat ia nikmati.

Kiara kembali menghela nafasnya.

Flash drive yang diberikan oleh Nadia berisi rekaman cctv dimana seseorang telah dengan sengaja menyabotase mobil milik Praga. Terdapat pula file berupa tangkapan layar yang berisi obrolan Nadia dengan sang kakak.

Sedikit ia tahu bahwa saat itu Praga memang berniat mengajak putranya untuk menemui Felicia.

Setelah membulatkan keputusannya, ia lalu meraih ponselnya dan menghubungi Giana. Ia berharap, keputusan yang ia ambil merupaka keputusan yang terbaik, tidak hanya untuk ia dan Janendra, namun semuanya. Termasuk Nadia.

***

Janendra siang ini disibukkan dengan pikirannya sendiri. Semenjak malam ia mengatakan bahwa Praga berniat menjodohkan ia dengan Felicia, gadis itu nampak menghindarinya. Awalnya ia pikir gadis itu tengah sibuk memikirkan ujiannya. Namun, saat gadis itu datang ke rumah Adrian dan tanpa sengaja bertemu dengannya, gadis itu seolah mencari alasan untuk segera pergi dari rumah itu.

Janendra masih ingat betapa salah tingkahnya gadis itu saat ia mengatakan kakaknya menjodohkannya dengan gadis itu.

Dulu, saat Praga mengetahui perasaan Janendra pada Nadia, Praga berniat memperkenalkan lelaki itu dengan adik kesayangannya. Selama mengenal Janendra, Praga tahu bahwa sahabatnya dapat diandalkan. Ia mempercayai Janendra. Terlebih saat ia datang ke kediaman lelaki itu, betapa hangat perlakuan keluarganya. Kehangatan ini yang ia harapkan. Ia tahu, adiknya pun mendambakan kehangatan yang sama.

Saat Praga menunjukkan foto gadis itu, awalnya ia tidak terlalu tertarik. Namun saat sahabatnya mulai menceritakan tentang keseharian gadis itu, ia mulai menaruh perhatian padanya. Jika gadis itu mengirimi Praga video, lelaki itu dengan cepat menunjukkan padanya. Jika Praga sedang tidak berada di dekatnya, maka lelaki itu akan mengirimkannya pada Janendra.

"Jika saja ia tahu kelakuan kakaknya, kurasa malunya akan bertambah." Kekehan lelaki itu keluar membayangan betapa merahnya pipi gadis itu.

Gila. Lelaki itu sudah gila.

"Ah, bolehkah aku iri pada sosok tembus pandang diri sendiri?" bisiknya pada diri sendiri.

Kenyataan bahwa ia hanya dapat mengingat sebagian kenangan saat berada di sebelah Felicia membuatnya iri. Ia ingin mengingat semuanya. Ia ingin merasakannya kembali. Namun dengan wujud manusianya.

"Aku akan menelepon ambulans jika kamu masih tersenyum seperti itu." Ucap Adrian yang datang dengan dua gelas amerikano, pesanannya dan Janendra.

Siang ini Adrian mengajak Janendra untuk membantunya berpikir. Ia rasanya sudah muak dengan perubahan sikap dari Jeffano. Namun saat melihat air wajah Janendra, ia semakin merasa mengajak orang yang salah. Adik tingkatnya pun gila.

"Apa kamu sudah resmi berpacaran dengan Felicia?" Mata Janendra nyaris melompat, terkejut dengan pertanyaan seniornya.

"Maksudnya?"

"Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu kalian saling suka. Felicia sudah menceritakan semuanya padaku."

Janendra meneguk salifanya. "Ce-cerita apa?"

"Ah, aku datang kemari bukan untuk menjadi konsultan kisahmu! Ayo bantu aku, Jeffano saat ini sudah benar-benar kehilangan kewarasannya."

"Kak Jeffano?" Janendra memutar otaknya. "Ah, karena berpisah dengan Nadia?"

Adrian menganggukkan kepalanya.

Janendra berpikir sebentar. Sebenarnya, ia tidak ingin ikut campur dalam permasalahan ini. Menurutnya, yang harus menyelesaikan adalah Nadia dan Jeffano sendiri.

"Aku tentu tidak dapat memaksakan keputusan gadis itu, namun akan mengajak Nadia bicara padaku." Adrian menatap adik tingkatnya itu penuh harap. Ini seperti ia tengah memohon agar kisah cintanya yang dibantu, bukan temannya. "Namun aku tidak dapat menjanjikan apa-apa." lanjut Janendra lagi.

***

Seperti janjinya tadi siang, Janendra kini duduk di dalam kursi penumpang mobil milik Nadia. Setelah mendengar cerita secara lengkap dari mulut Adrian selaku saksi kejadian, Janendra pikir, di sini adalah tempat yang cocok untuk membuat gadis itu sedikit terbuka dengan masalahnya.

Nadia awalnya menolak bertemu dengannya. Janendra paham setelah melihat jejak air mata yang gagal gadis itu tutupi dengan riasan wajahnya. Beberapa hari menghindar, gadis itu nampak lebih kurus dari terakhir mereka bertemu.

"Terima kasih. Aku tahu berat untuk keluar dari rumah saat ini. Terlebih kamu harus memfokuskan pikiranmu untuk menyetir." Janendra menggaruk tengkuk kepalanya. Ia benar-benar merasa tidak enak. Tadinya lelaki itu memang terdengar memaksa saat mengajak gadis itu bertemu.

"Tidak. Aku yang seharusnya meminta maaf." Nadia masih menundukkan kepalanya. Mereka kini berada di parkiran sebuah tempat perbelanjaan. Janendra sengaja mengarahkan mereka ke tempat ini karena ia pikir, ini adalah tempat yang aman. Setidaknya tidak akan membuat kemacetan di jalan.

"Kurasa, kamu belum melihat rekaman cctv juga buku yang kuberikan pada tante Kiara." Gadis itu melanjutkan ucapannya.

Beberapa kali Janendra dapati gadis itu mengatur nafasnya.

"Rekaman cctv? Ah, aku ingin membicarakan tentang kamu dan kak Jeffano. Maaf jika aku terlalu ikut campur urusan kalian."

"Tidak. Sebenarnya, ini berkaitan. Menurutku."

Janendra memandang gadis yang duduk di sebelahnya dengan penuh kebingungan. Apa yang dimaksud adalah rekaman yang sempat dilihat oleh ibunya beberapa hari lalu, pikirnya.

"Aku, juga bertanggung jawab atas kecelakaan yang kamu dan Praga alami dua tahun lalu." Janendra terdiam, membiarkan gadis di sebelahnya melanjutkan ceritanya.

"Aku anak bungsu. Kamu ingat kak Nilam? Kakak tingkat kita yang kini pindah kampus? Dia kakakku." Nadia kembali menarik nafasnya. "Saat itu, ia bertanya aku sedang dimana, dan apakah aku sedang bersama Praga."

"Ia lalu menyuruhku untuk menahan kalian di sana, sampai ia menghubungiku kembali." Nadia mengangkat kepalanya. Ia lalu menghadap ke arah Janendra. Matanya sudah penuh dengan air yang memaksa untuk turun.

"Saat itu aku tidak tahu penyebab kecelakaan yang kalian alami, sampai Kak Nilam menyuruhku untuk datang ke cafe tempat kita bertemu dan meminta rekaman cctv itu untuk dihapus."

"Maaf. Sungguh. Maaf aku tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya." Tangan Nadia bergerak meraih tangan kekar milik Janendra. Menggenggamnya penuh harap.

"Kumohon, biarkan aku yang menceritakannya pada Jeffano. Kumohon biarkan aku mempersiapkan diri. Aku tahu setelah ini, tatapan mata penuh cinta itu akan berubah menjadi kebencian dan kekecewaan." Nadia memohon padanya. Gadis itu menangis.

===

Into : You will come again tomorrow!

Into : You [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang