Senja hari itu cukup gelap. Sinar mentari yang biasa memamerkan indahnya sebagai tanda pamit untuk bergantian dengan rembulan, hari itu memilih bersembunyi. Awan gelap masih nyaman untuk terus menurunkan airnya, mengurangi muatannya. Beruntung Zeus tidak mengizinkan senjatanya untuk bermain di langit hari ini.
Suasana kelam itu rasanya tidak dapat menembus kamar ini. Buktinya Felicia dan Janendra justru asyik dengan kegiatan mereka. Ah, Zee pun ada di sana, menjadi penghibur untuk keduanya.
Walaupun rasanya cukup melelahkan, namun berlarian mengelilingi kamarnya untuk bermain dengan Zee sangat menyenangkan. Telinga sang kucing benar-benar menunjukkan bahwa ia pun turut menikmati waktunya dengan Felicia.
Janendra hanya duduk di pinggir jendela sembari tertawa melihat bagaimana Zee yang terus mengarahkan cakarnya pada mainan yang dipegang oleh Felicia.
Hangat. Tidak seperti keadaan di luar sana.
"Menyerah?" ledeknya saat Felicia menjatuhkan dirinya tepat pada bantalnya.
Gadis itu lebih memilih mengatur nafasnya. Mengabaikan ledekan sosok yang kini tersenyum dengan hangatnya.
"Jadi, kapan kamu akan mulai membuat sketsaku?" Sosok itu dengan cepat melayang menghampiri Felicia. Seolah sudah terbiasa, gadis itu tetap di tempatnya, ia justru memanggil Zee untuk bermain dengan sosok itu.
"Jika aku tidak ada tugas." jawabnya. Gadis itu lalu mengganti posisi tidurnya membelakangi Zee dan juga Janendra. Lelah. Seharian ini ia dibuat kelimpungan dengan penjelasan tentang bisnis sang Ibu.
Ah, sejak pagi, gadis itu dipaksa untuk turut serta dalam rapat bulanan yang biasa dihadiri oleh sang kakak, dulu. Gadis itu sungguh tak habis pikir, bagaimana bisa sang kakak tahan untuk duduk di ruangan itu selama berjam-jam. Ia bahkan sama sekali tidak menangkap apa yang dibicarakan oleh orang-orang berpakaian formal itu.
"Kalau misalnya bisnis Mama tidak ada, apa perhatiannya akan lebih banyak untukku?" pikirnya.
***
Suara berisik air di luar rasanya akan terkalahkan oleh suara berisik dari kamar lelaki ini. Adrian dan teman-temannya tengah asyik memainkan video game. Kali ini giliran Jeffano dan Tian, sedangkan Adrian asyik memanas-manasi Tian yang berada di urutan bawah.
"Kamu terus menabrakkannya pada pembatas jalan!"
"Tidak! Stick game-mu yang sudah rusak!" Tian tidak terima skill bermainnya dipertanyakan. Saat permainan berakhir dan Jeffano menjadi pemenang, Tian justru ingin mengajaknya untuk bertanding ulang. Jadilah Adrian kembali menjadi penonton. Tapi kali ini, Tian mengajak Jeffano untuk bertukar stick game.
"Kalian masih ingat Praga, bukan?"
Keduanya berhenti dengan kegiatannya. Tangan yang tadinya tengah sibuk memilih mobil yang akan digunakan untuk bermain, kini menjatuhkan stick game masing-masing.
"Ingat. Mahasiswa baru yang dengan beraninya izin untuk pulang karena harus menjemput adiknya." Jawaban Jeffano membuat Adrian terkekeh kecil. Ya, benar. Saat mereka tengah mengadakan rapat rutin, Praga justru mengangkat tangannya sembari bertanya kapan rapat itu akan selesai. Lelaki itu juga sudah mengenakan jaketnya kembali, seolah sudah bersiap untuk pergi.
"Kak, maaf. Tapi saya harus izin sekarang. Adik saya sebentar lagi akan pulang."
"Kamu ingat bagaimana sunyinya ruangan saat itu? Sama sekali tidak ada yang menyangka alasan ia berdiri dan mengangkat tangannya justru karena ingin pulang." Timpal Tian.
"Jujur, saat itu aku pikir dia akan menyuarakan sanggahannya atas penjelasan yang dibeberkan oleh Tian." Jeffano terkekeh mengingat wajah sahabatnya kala itu.
"Kalian, juga mengenal Felicia, bukan?" Adrian melanjutkan pertanyaannya.
Tian menghela nafasnya. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini. "Tentu saja. Kamu tahu Yuda? Jika tidak salah, ia bahkan selalu membicarakan tentang gadis itu jika bertemu."
"Yan. Aku masih akan terus berpendapat yang sama. Gadis itu, butuh pertolongan."
"Nadia pernah tanpa sengaja mendapati gadis itu tengah berbicara seorang diri."
***
"Apa masih lama?" Untuk kesekian kalinya, Janendra bertanya hal yang sama. Sudah lebih dari dua puluh menit ia berdiam pada posisi yang kurang nyaman. Sedangkan gadis di depannya masih berkutat pada bukunya.
"Sedikit lagi! Kamu harus tahu bahwa menggambarmu itu sulit." Felicia geram juga. Biasanya ia hanya menggambar dari foto yang ada. Jika tidak salah, baru kali ini ia menggambar dengan objek langsung, terlebih Janendra memiliki sosok yang tembus pandang. Menambah kesulitannya.
"Kamu harus membayarku nanti!" ujarnya lalu menunjukkan hasil yang ditunggu oleh Janendra.
"Terima kasih." lirihnya. Matanya masih memandang goresan goresan itu. Ah, sudah lama, pikirnya."Wajah tampanku masih ada bahkan saat aku bisa melayang!"
===
Into : You will continue its Journey!
Ehehe finally Janendra versi gores2!
How 'bout this one? Hope you like it!
Please leave your comment & vote if you like it! Into : You will come again tomorrow!Have a great day, everyone!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Into : You [Proses Terbit]
Romance[BELUM DIEDIT] Felicia yang baru saja kehilangan sang kakak dipertemukan dengan sebuah sosok tembus pandang. Sosok yang selalu menemaninya ke mana pun ia pergi. Takut tentu ia rasakan saat awal kemunculannya. Namun perlahan, siapa sangka jika ia aka...